Senin, 02 Maret 2015

Gadis Kecil Berpayung Hujan

 



Tiba-tiba datang, itu membutakan lalu menggelapkan kesederhanaan yang kutawarkan pada batinmu. Seruan tak sepakatku melanggar kebiasaanmu, mencaci usahaku, menindik mataku yang perlahan surut dalam pasangnya cahaya hidup. Dan itu tersisa dalam risalahmu yang kau tulis di ingatanku, lepas saat engkau rela bersandar di keningku.

**
Ternyata akan gelap, mendung kemudian menangis jelas. Terdengar jelas, ketika aku berada di bawah gemerlap cahaya sore. Menurutku, aku benci padanya, ia ikhlas padaku. Kemudian, menggendong lamunanku tepat di punggungnya yang tak nyaman. Aku melupakan dunia, di sana ada yang sedang memperhatikan dunia kami, di balik kaca bening batas gemerlap dan dingin.

**
Rambut yang hitam sambil basah, sebuah payung berangkat mewah untuk melindungi lalu mendatangkan lembar kadang receh. Menunggu tepat di bawah langit, menanti di pinggir genangan hidup yang sakit. Bibir menggigil nyatanya, badan memaksa kuat untuk bertahan sambil berdiri. Aku terlihat sinting memperhatikan mereka, bunga mengeluarkan bau keringat yang ikhlas penuh perjuangan.

**
Sejengkal rela meninggalkan rupa, entah risih berkecamuk di dalamnya, sudah padam api, namun tetap saja dingin lalu kembali panas olehnya. Mereka anak-anak yang salut, memancing perhatian serta tatapan kasihan. Walau salah, aku berani membenarkan bahwa hujan tak salah, sebab ia menyediakan sesuap hidup, secangkir rindu pada mata yang berpijar. Pada gadis kecil berpayung itu.

Share: