![]() |
Tiba-tiba datang, itu membutakan lalu menggelapkan
kesederhanaan yang kutawarkan pada batinmu. Seruan tak sepakatku melanggar
kebiasaanmu, mencaci usahaku, menindik mataku yang perlahan surut dalam
pasangnya cahaya hidup. Dan itu tersisa dalam risalahmu yang kau tulis di
ingatanku, lepas saat engkau rela bersandar di keningku.
**
Ternyata akan gelap, mendung kemudian menangis jelas.
Terdengar jelas, ketika aku berada di bawah gemerlap cahaya sore. Menurutku,
aku benci padanya, ia ikhlas padaku. Kemudian, menggendong lamunanku tepat di
punggungnya yang tak nyaman. Aku melupakan dunia, di sana ada yang sedang
memperhatikan dunia kami, di balik kaca bening batas gemerlap dan dingin.
**
Rambut yang hitam sambil basah, sebuah payung berangkat
mewah untuk melindungi lalu mendatangkan lembar kadang receh. Menunggu tepat di
bawah langit, menanti di pinggir genangan hidup yang sakit. Bibir menggigil
nyatanya, badan memaksa kuat untuk bertahan sambil berdiri. Aku terlihat
sinting memperhatikan mereka, bunga mengeluarkan bau keringat yang ikhlas penuh
perjuangan.
**
Sejengkal rela meninggalkan rupa, entah risih berkecamuk di
dalamnya, sudah padam api, namun tetap saja dingin lalu kembali panas olehnya.
Mereka anak-anak yang salut, memancing perhatian serta tatapan kasihan. Walau
salah, aku berani membenarkan bahwa hujan tak salah, sebab ia menyediakan
sesuap hidup, secangkir rindu pada mata yang berpijar. Pada gadis kecil berpayung itu.
