Jujur sebuah sukma telah kulepas bersama sang napas,
sekantung senyuman kuikatkan pada batang bambu yang telah menguning. Sudahi,
pelukis yang menulis di atas kehidupannya, di sebuah persimpangan jalan yang
berkelok, tepat sebuah jembatan antara senyum dan air mata.
Di tempat pemberhentian mata, seorang wanita berpayung hangat
berdiri. Menapaki setiap permukaan aspal yang basah, hujan baru saja berakhir.
Kulihat matanya tergenang, belum sempat menutupi wajahnya yang memerah.
Garis-garis pipinya membentuk, seorang gadis dengan segudang masalah yang
menjadi perhatianku di sore itu. Sekilas dengan kegundahan, ia nampak anggun
dan cantik sore itu.
Tiba-tiba saja, perempuan lain datang saat belum usainya
yang pertama. Ia menidurkan sukma yang jatuh dari relungku yang berdusta. Di
dalam samudera terdapat keindahan karang, di atas langit terdapat hamparan
galaksi yang tiada tara, di puncak gunung tersimpan hamparan keindahan lelah
yang memuncak impian. Jiwa dan hatiku berdiri, membuka topi penghalang
matahari, saat bulan datang dengan senyum yang memuncak.
...
Ku jumpai koma dalam titik-titik hujan barusan, memberiku
jalinan pemberhentian yang sementara saja. Aku tak menemukan tanda lagi saat
wanita yang sudah tak cantik lagi mempercantik.
Kuberani merindukan siapapun yang menganggap dirinya
pantas, kubuka segala bentuk perhatian sederhana kepada belaian rambut saat
tidak tertutupi adat. Kubiaskan separuh cahaya mataku, kuberikan separuh kepada
mereka yang tak bisa melihat cahaya di wajahnya sendiri. Walau sebuah cermin
menemaninya..
Aku selalu menyebut cantik milik semua lawan jenisku, namun
aku juga selalu bilang, cantik bukan hanya milik wajah yang menyombongkanmu.
...