Minggu, 26 April 2015

Menjelang Perayaan Sebuah Kekurangan

Mengingat semenjak akan genap di angka ke delapan belas, jelang itu. Saya terusik dengan beberapa kesibukan di luar kelas, hingga hampir lenyap melupakan mereka. Sungguh, saya berharap perulangan ini tak lebih dari Tuhan menciptakan kebahagiaan, atau menggambarkan proses kesedihan orang-orang. Saya hanya berusaha dan berpikir bagaimana agar tak mengecewakan-Mu, meskipun saya meyakini lebih dalam akan hadirnya kepergian yang mengakhiri. Saya tak suka dililin-lilinkan, saya tidak menyukai kebahagiaan di tengah berkurangnya usia, saya sama sekali tidak menyukai ''sesuatu'' di angka yang menjadi langkah hidup berawal di dunia ini. Saya berkata tak suka bukan berarti membeci. Tapi, dunialah yang memaksaku menghargai semua itu, yang terjadi pada saat ''suka'' bertubrukan dengan realitas yang mungkin akan terjadi. 

Ada banyak cita-cita singkat yang kurencanakan sebelum itu, ada banyak hal yang ingin saya lakukan dan ada banyak sesuatu-kebiasaan yang mesti kutinggalkan; menulis lebih banyak dan giat lagi, ikut berbagai event-event yang menjadi kesukaan, menulis untuk rakyat, belajar menjadi pemimpin yang sederhana, menulis dan menerbitkan buku (solo maupun antologi, entah berbentuk cerpen, puisi, esai dll).

Semua itu sedikit demi sedikit kulalui dan kujalani, sadar maupun tak sadar. Tahun ini adalah tahunku menuju angka ke sembilan belas, dan targetku adalah menulis dua buku (Novel dan Kumpulan Cerpen). Semoga dapat terealisasikan. Sekarang proses penerbitan Novel pertamaku telah berjalan; semoga dapat memuaskan dahaga menulisku. Sebuah perayaan kecil ditengah sebuah kekurangan, itulah ungkapan yang tepat buatku di tahun ini (sebuah kalimat aku pinjam dari temanku). 

Bahwa ia meyakini bahwa ''Ulang Tahun adalah kehilangan yang dirayakan" tulisnya di akun blog pribadinya. Ia, saya sangat sepakat dengan kalimatnya itu. Tapi, saya pribadi menyebutnya ulang Tahun semakin mendekatkan ingatan untuk mengingat hidup-mati. Tak ada yang mencintaimu setulus kematian-Aslan Abidin. Sebab, dari sini mengingatkan masa-masa yang telah dan belum di ketahui 'mengapa' sampai-sampai onggok ini hidup di dunia, dan dari situlah akan kembali mengingatkan (ditengah-tengah hidup yang serba melupakan) bahwa mati itu adalah tembok pemisa. 

Dari situ, saya dapat belajar arti dari sesuatu walau kadang benar ataupun salah; namanya Ince Khaerunnisa Kusuma A. Muin, seorang perempuan yang sama sekali tidak pernah terpikirkansaya selalu buta dengan perempuan. Namun, waktu selama itu menjadi titik-temu bahwa tidak ada yang salah selama jika itu pilihan kita. Saya menulis namanya bukan karena perayaan ini untuknya, sebab saya tak ingin menyembunyikan kejujuran lewat bahagia itu sendiri. 

Kawan-kawanku, terima kasih atas ingatannya (walau terkadang lupa pada masa lalu itu). Hari ini, telah menjelang usiaku yang ke sembilan belas. Saya ingin merayakannya dengan sebuah puisi, namun saya menunggu untuk menuliskannya tepat di malam pergantian itu; Saya menanti perpisahan kepada kalian.

Share: