Mengingat semenjak akan genap di angka ke delapan belas, jelang itu. Saya
terusik dengan beberapa kesibukan di luar kelas, hingga hampir lenyap melupakan
mereka. Sungguh, saya berharap perulangan
ini tak lebih dari Tuhan menciptakan kebahagiaan, atau menggambarkan proses
kesedihan orang-orang. Saya hanya berusaha dan berpikir bagaimana agar tak
mengecewakan-Mu, meskipun saya meyakini lebih dalam akan hadirnya kepergian yang
mengakhiri. Saya tak suka dililin-lilinkan, saya tidak menyukai kebahagiaan
di tengah berkurangnya usia, saya sama sekali tidak menyukai ''sesuatu'' di angka yang
menjadi langkah hidup berawal di dunia ini. Saya berkata tak suka
bukan berarti membeci. Tapi, dunialah yang memaksaku menghargai semua itu,
yang terjadi pada saat ''suka'' bertubrukan dengan realitas yang mungkin akan terjadi.
Ada banyak cita-cita singkat yang kurencanakan sebelum itu,
ada banyak hal yang ingin saya lakukan dan ada banyak sesuatu-kebiasaan yang
mesti kutinggalkan; menulis lebih banyak dan giat lagi, ikut berbagai
event-event yang menjadi kesukaan, menulis untuk rakyat, belajar menjadi pemimpin yang sederhana, menulis dan menerbitkan buku (solo
maupun antologi, entah berbentuk cerpen, puisi, esai dll).
Semua itu sedikit demi sedikit kulalui dan kujalani, sadar
maupun tak sadar. Tahun ini adalah tahunku menuju angka ke sembilan belas, dan
targetku adalah menulis dua buku (Novel dan Kumpulan Cerpen). Semoga dapat
terealisasikan. Sekarang proses penerbitan Novel pertamaku telah berjalan;
semoga dapat memuaskan dahaga menulisku. Sebuah perayaan kecil ditengah sebuah
kekurangan, itulah ungkapan yang tepat buatku di tahun ini (sebuah kalimat aku
pinjam dari temanku).
Bahwa ia meyakini bahwa ''Ulang Tahun adalah kehilangan
yang dirayakan" tulisnya di akun blog pribadinya. Ia, saya sangat sepakat
dengan kalimatnya itu. Tapi, saya pribadi menyebutnya ulang Tahun semakin mendekatkan ingatan untuk mengingat hidup-mati. Tak ada yang mencintaimu setulus kematian-Aslan Abidin. Sebab, dari sini mengingatkan masa-masa
yang telah dan belum di ketahui 'mengapa' sampai-sampai onggok ini hidup di
dunia, dan dari situlah akan kembali mengingatkan (ditengah-tengah hidup yang
serba melupakan) bahwa mati itu adalah tembok pemisa.
Dari situ, saya dapat
belajar arti dari sesuatu walau kadang benar ataupun salah; namanya Ince
Khaerunnisa Kusuma A. Muin, seorang perempuan yang sama sekali tidak pernah
terpikirkansaya selalu
buta dengan perempuan. Namun, waktu selama itu menjadi titik-temu bahwa tidak
ada yang salah selama jika itu pilihan kita. Saya menulis namanya bukan
karena perayaan ini untuknya, sebab saya tak ingin menyembunyikan kejujuran lewat bahagia itu sendiri.
Kawan-kawanku, terima kasih atas
ingatannya (walau terkadang lupa pada masa lalu itu). Hari ini, telah menjelang
usiaku yang ke sembilan belas. Saya ingin merayakannya dengan sebuah puisi, namun
saya menunggu untuk menuliskannya tepat di malam pergantian itu; Saya menanti perpisahan kepada kalian.