Minggu, 18 September 2016

Bangunkanlah aku dari tidur panjang bernama hidup



"Kau bisa pulang dengan satu kaki dan dua kata. Aku bisa apa dengan tubuh yang bisu dan mulut yang buta"

Saat itu saya pulang dengan janji tak akan lama kembali. Sejenak pergi dari kumpulan huruf-huruf yang jarang dibaca oleh makna, dan kata-kata yang sebentar lagi akan punah. Perpustakaan kota sebentar lagi lenyap oleh yang buta kepedulian, toko buku tak lagi memikirkan kepala siapa yang datang berkunjung dan membeli gengsinya, kedai kopi tak lagi bangga dengan kesederhanan pahit manisnya perkara. Tempat-tempat itu sebentar lagi berubah bui yang mengurung kepergian insan dengan jeruji-jerusi penyesalannya yang kokoh. Kembang api dan ingatan-ingatan masa kecil menyulut diri di hadapan rumah beserta pohon-pohonnya yang sudah tumbang ditebang amarah. Angin datang dan pergi begitu saja, seperti orang baik melukai kebaikannya sendiri ketika diambang kebahagiaan. Sebentar lagi, kita takkan bisa menikmati satu kisah hingga usai. Alur-alur hanya melompat-lompat seirama jarum jam yang patah. Seiring waktu, manusia-manusia dituntut instan dan cepat untuk menyelesaikan semuanya. Termasuk perkara pulang, bertemu, hilang dan merasa rindu.


Ketika kita kembali, kata-kata telah hampir lenyap—bahkan punah. Ketika kau kembali, seolah tak ada lagi kepergian. Tetapi setelah seolah dilenyapkan oleh kenyataan, aku salah mengisyaratkan dengan jari dan air mata. Suatu hari, kau pernah menanyakan kapan waktu lebih baik dari sekedar mengikuti caranya bermain. Yang pernah ia anggap lenyap muncul dengan bahasa-bahasa bisu, dengan nada yang lusuh dan janji-janji asu. Aku menjawab bahwa pernahkah kah menghargai bangunmu, seringkah kau menjawab panggilan alam dirimu dengan tidak ragu-ragu, atau beranikah kita tak saling mengharap untuk memudarkan kata bernada kerap. Yang pernah ada kita, terpisahlah aku dan kau—janji saya tetap seperti saat kau tertidur. Bangunkanlah aku dari tidur panjang bernama hidup.
Share: