"Kau bisa pulang dengan satu kaki dan dua kata. Aku bisa apa dengan tubuh yang bisu dan mulut yang buta"
Saat
itu saya pulang dengan janji tak akan lama kembali. Sejenak pergi dari kumpulan
huruf-huruf yang jarang dibaca oleh makna, dan kata-kata yang sebentar lagi
akan punah. Perpustakaan kota sebentar lagi lenyap oleh yang buta kepedulian,
toko buku tak lagi memikirkan kepala siapa yang datang berkunjung dan membeli
gengsinya, kedai kopi tak lagi bangga dengan kesederhanan pahit manisnya
perkara. Tempat-tempat itu sebentar lagi berubah bui yang mengurung kepergian
insan dengan jeruji-jerusi penyesalannya yang kokoh. Kembang api dan
ingatan-ingatan masa kecil menyulut diri di hadapan rumah beserta pohon-pohonnya
yang sudah tumbang ditebang amarah. Angin datang dan pergi begitu saja, seperti
orang baik melukai kebaikannya sendiri ketika diambang kebahagiaan. Sebentar
lagi, kita takkan bisa menikmati satu kisah hingga usai. Alur-alur hanya
melompat-lompat seirama jarum jam yang patah. Seiring waktu, manusia-manusia
dituntut instan dan cepat untuk menyelesaikan semuanya. Termasuk perkara
pulang, bertemu, hilang dan merasa rindu.
Ketika
kita kembali, kata-kata telah hampir lenyap—bahkan punah. Ketika kau kembali,
seolah tak ada lagi kepergian. Tetapi setelah seolah dilenyapkan oleh
kenyataan, aku salah mengisyaratkan dengan jari dan air mata. Suatu hari, kau
pernah menanyakan kapan waktu lebih baik dari sekedar mengikuti caranya
bermain. Yang pernah ia anggap lenyap muncul dengan bahasa-bahasa bisu, dengan
nada yang lusuh dan janji-janji asu. Aku
menjawab bahwa pernahkah kah menghargai bangunmu, seringkah kau menjawab
panggilan alam dirimu dengan tidak ragu-ragu, atau beranikah kita tak saling
mengharap untuk memudarkan kata bernada kerap. Yang pernah ada kita,
terpisahlah aku dan kau—janji saya tetap seperti saat kau tertidur. Bangunkanlah
aku dari tidur panjang bernama hidup.