Soal rasa. Soal perasaan
laki-laki yang senantiasa bersedih. Perspektif dari sudut pandangnya selalu
akan kuat menghadapi kesedihan itu di tengah-tengah gembar-gembor maskulinitas,
apalagi mengingat puisi tidak selalu menyediakan lahan untuk bercengeng ria,
khususnya untuk laki-laki. Ada daya tersendiri ketika menikmati puisi, cobalah
kita lihat mereka-mereka yang terkadang melankolis
ketika menyanyikan sebuah puisi. Secara lirik, tergolong super sedih, kacau,
tak berontak, hangat dalam emosi dan tentunya romantis mengundang lara (ini
buat yang mempertunjukannya). Bagaimana dengan yang menulisnya? Maksudnya,
laki-laki—dan dimaknai pula oleh kaum sebayanya.
Mengenai
beban. Beban yang dipikul ketika hendak menulis puisi—atau menikmatinya. Saya
teringat salah satu penyair, Rainer Maria Rilke—penyair Austria-Swiss yang
meninggal pada 29 Desember 1926, secara tidak langsung mengatakan bahwa cita
rasa karya seni (dalam hal ini puisi) tidak boleh dibebani oleh apapun selain perasaan
pembuatnya (ia mengatakan itu dalam surat-suratnya kepada Franz Kappus pada
buku Letters to a Young Poet), sebab
jika ada beban, namanya bukan cita rasa lagi.
Bukankah
seni melulu soal rasa?
Minggu
ini, setelah bertemu seorang perempuan bernama Zaa—saya bersedih karena saat
itu kami sedang diperjalanan pulang dari sebuah kegiatan kampus di salah satu
kota kalong. Saya mabuk darat. Dan satu-satunya cara agar ia tidak menguasai
isi perut hingga keluar dengan tidak hormat di hadapan adik-adik dan
teman-teman mahasiswa adalah dengan memulai perbincangan bersamanya dengan
rencana yang amat-amat garing. Hingga pada akhirnya kami dipertemukan dengan
lupa cara melupakan waktu, dan sesekali menyalakan waktu. Kebiasaan saya
menulis puisi kembali terwujud. Meskipun puisi ini tidak murni dari dia—namun kekuatan
sebuah pertemuan masih menyatakan dirinya dengan satu kebiasaan kecil. Ketika puisimu
kembali diterbitkan di kolom yang pernah menerbitkan bentuk lain dari
perasaanmu. Tentu kau akan menganggap bahwa keberhasilan ini ada karena kau
sebelumnya tak ada.
Berikut
dua puisi yang saya tulis ketika menikmati tekanan, sembari bersantai di kedai
kopi langganan.
Awan Luka
Langit dan matahari
pengganti kota dan jalan
Sekejap mata, angin
membangunkan letih rambut.
Harapan terjal dilalui
tanpa sedikit pun bermimpi,
memetik awan, dan
membawanya ke tanah
agar kau tak pernah
bodoh bertanya, hujan dari mana,
agar hujan tak
selamanya berasal dari atas
meyakinkan hatimu yang
gersang
bahwa di atas sana, ada
kehilangan yang terus terulang.
Gunung dan langit,
bertemu karena ia tak pernah ingkar
Kepada awan yang
sebentar lagi menjadi menantu
Bagi tanah dan
pohon-pohon, serta matamu yang kering
saat kita berjalan,
mendaki tidur dan puncak mimpi.
Langit dan matahari
menyuruh kami bersatu, tapi sekali lagi
Angin puncak
membangunkan keragu-raguan yang terkulai,
Di antara bayang-bayang
bertemu dan bersemu.
(2016)
Tubuh
Kota
Bunga layu di malam
pertama
Kau sayu di atas
pangkuan purnama
“Kita akan pulang,”
katamu. Aku pulang ke mana?
Tak ada tujuan yang
menanti kepulanganku
Olehnya itu, kota kau
geser ke pangkuanmu
Kota itu hujan, dan kau
meregang
Perasaanku kalut,
kulitku terselimut kabut tegang
Aku menjadi taman untuk
matamu yang layu,
Kau menjanji teman
untuk kataku yang sayu.
Olehnya itu, kau
pindahkan kota diantara dua (bukit) rongga dadamu.
(2016)