Minggu, 18 September 2016

Awan Luka dan Tubuh Kota


Soal rasa. Soal perasaan laki-laki yang senantiasa bersedih. Perspektif dari sudut pandangnya selalu akan kuat menghadapi kesedihan itu di tengah-tengah gembar-gembor maskulinitas, apalagi mengingat puisi tidak selalu menyediakan lahan untuk bercengeng ria, khususnya untuk laki-laki. Ada daya tersendiri ketika menikmati puisi, cobalah kita lihat mereka-mereka yang terkadang melankolis ketika menyanyikan sebuah puisi. Secara lirik, tergolong super sedih, kacau, tak berontak, hangat dalam emosi dan tentunya romantis mengundang lara (ini buat yang mempertunjukannya). Bagaimana dengan yang menulisnya? Maksudnya, laki-laki—dan dimaknai pula oleh kaum sebayanya.

Mengenai beban. Beban yang dipikul ketika hendak menulis puisi—atau menikmatinya. Saya teringat salah satu penyair, Rainer Maria Rilke—penyair Austria-Swiss yang meninggal pada 29 Desember 1926, secara tidak langsung mengatakan bahwa cita rasa karya seni (dalam hal ini puisi) tidak boleh dibebani oleh apapun selain perasaan pembuatnya (ia mengatakan itu dalam surat-suratnya kepada Franz Kappus pada buku Letters to a Young Poet), sebab jika ada beban, namanya bukan cita rasa lagi.

Bukankah seni melulu soal rasa?
Minggu ini, setelah bertemu seorang perempuan bernama Zaa—saya bersedih karena saat itu kami sedang diperjalanan pulang dari sebuah kegiatan kampus di salah satu kota kalong. Saya mabuk darat. Dan satu-satunya cara agar ia tidak menguasai isi perut hingga keluar dengan tidak hormat di hadapan adik-adik dan teman-teman mahasiswa adalah dengan memulai perbincangan bersamanya dengan rencana yang amat-amat garing. Hingga pada akhirnya kami dipertemukan dengan lupa cara melupakan waktu, dan sesekali menyalakan waktu. Kebiasaan saya menulis puisi kembali terwujud. Meskipun puisi ini tidak murni dari dia—namun kekuatan sebuah pertemuan masih menyatakan dirinya dengan satu kebiasaan kecil. Ketika puisimu kembali diterbitkan di kolom yang pernah menerbitkan bentuk lain dari perasaanmu. Tentu kau akan menganggap bahwa keberhasilan ini ada karena kau sebelumnya tak ada.

Berikut dua puisi yang saya tulis ketika menikmati tekanan, sembari bersantai di kedai kopi langganan.

Awan Luka
Langit dan matahari pengganti kota dan jalan
Sekejap mata, angin membangunkan letih rambut.
Harapan terjal dilalui tanpa sedikit pun bermimpi,
memetik awan, dan membawanya ke tanah
agar kau tak pernah bodoh bertanya, hujan dari mana,
agar hujan tak selamanya berasal dari atas
meyakinkan hatimu yang gersang
bahwa di atas sana, ada kehilangan yang terus terulang.
Gunung dan langit, bertemu karena ia tak pernah ingkar
Kepada awan yang sebentar lagi menjadi menantu
Bagi tanah dan pohon-pohon, serta matamu yang kering
saat kita berjalan, mendaki tidur dan puncak mimpi.
Langit dan matahari menyuruh kami bersatu, tapi sekali lagi
Angin puncak membangunkan keragu-raguan yang terkulai,
Di antara bayang-bayang bertemu dan bersemu.

(2016)


Tubuh Kota
Bunga layu di malam pertama
Kau sayu di atas pangkuan purnama
“Kita akan pulang,” katamu. Aku pulang ke mana?
Tak ada tujuan yang menanti kepulanganku
Olehnya itu, kota kau geser ke pangkuanmu

Kota itu hujan, dan kau meregang
Perasaanku kalut, kulitku terselimut kabut tegang
Aku menjadi taman untuk matamu yang layu,
Kau menjanji teman untuk kataku yang sayu.
Olehnya itu, kau pindahkan kota diantara dua (bukit) rongga dadamu.

(2016) 
Share: