Senin, 06 Juni 2016

Pengaruh Adat Toraja Terhadap Tokoh Utama; Sastra Bandingan Two Groups of Books Karya Faisal Oddang

Comparative literature atau dalam bahasa Indonesia, sastra bandingan merupakan salah satu turunan atau bagian-bagian penting dari ilmu sastra. Selain dari pada sejarah, teori serta kritik sastra. Serta, belakangan ini—Sastra bandingan mengalami pasang surut, hingga pada akhirnya di abad ke-19, tepatnya di Perancis—Sastra bandingan mulai mendapat perhatian dari beberapa pemikir-pemikir sastra. Pemikir-pemikir seperti Paul Van-Tieghem, Marius-Francois Guyard, Jean-Marie Carre, Fernand Baldensperger dan masih banyak lagi. Sastra bandingan secara sistematis mengembangkan kecenderungan kaitan antar karya dalam bahasa yang sama atau yang berbeda. Kajian ini tidak lain bertujuan untuk memahami proses penciptaan karya sastra (Proses kreatif) dan perkembangan sastra suatu Negara. Kemudian, pada perkembangan sastra bandingan selanjutnya—juga ikut berkembangan di negeri Paman Sam, yang menginovasi serta mengembangkan beberapa konsep dari aliran-aliran terdahulunya, Perancis (French School/Mazhab), yang berkesan luas dan tentu baru. Maka aliran Amerika disebut juga dengan American School, dibanding French School— yang lebih melonggarkan pemikiran-pemikiran di luar sastra untuk membandingkan karya sastra dengan bidang ilmu yang lain seperti filsafat, sosiologi, agama, budaya dan sebagainya (Tidak hanya unsur instrinsik saja).

Sastra bandingan bukanlah sebuah teori, melainkan hanya sebatas metode. Jadi tak perlu terlalu mengerutkan dahi atau berlagak pusing di depan mantan kekasih untuk memperoleh perhatian baru—sampai-sampai berpura-pura memikirkan terlalu dalam tentangnya, hingga tak menyadarinya dengan kata lupa perihal deadline. Maka bisa saja berakibat fatal terhadap kesejahteraan pikiran dan perasaan bahwa saya memiliki segudang tugas kuliah yang saling berebut diperhatikan seperti kamu yang meminta dengan tidak hormat agar diselesaikan (diakhiri) dengan membuat perasaan saya menjadi jauh lebih terhormat.

Dalam hasil analisis saya tentang materi The Crisis of Comparative Literature yang dibagikan beberapa bulan yang lalu sebagai salah satu referensi belajar—yang sempat saya lupa baca, dengan bantuan Mind Maping yang masih abal-abal—menemukan bahwa Comparative Literature; the study of two entities—two books or writers, two groups of books or writers, or two complete literatures. Saya juga menemukan istilah “Binery Studies”, yakni analisis dua hal (Kembali ke paragrap pertama). Dalam esai ini, saya akan mencoba menulis tentang dua entitas yakni dua karya sastra yang ditulis oleh satu orang—dalam kurun waktu yang bersamaan. Dua novel yang menurut saya jenius, cerdik dan manis. Salah dua novel lokal yang saya baca lebih dari dua kali—selain membuat saya iri dengan cerita dan derita menanggungnya. Saya pribadi sadar banyak hal yang bisa menjadi pengetahuan baru saya untuk mengetahui secara ril salah satu kebudayaan yang masih tetap eksis di sekitar, selain belajar tentang hal-hal magis dari sebuah karya sastra di luar realisme magis milik Marquez. Saya menyadari itu—terima kasih Faisal telah membuat saya iri selagi dengki.

Puya Ke Puya dan Pertanyaan Kepada Kenangan adalah dua karya Faisal yang memilih berlatar belakang Toraja. Jika ingin lebih detail lagi, keduanya secara tidak langsung menyepakati adat Rambu Solo sebagai alasan utama konfliknya. Kalau tidak percaya, silahkan baca dengan hikmat. Novel yang ditulis hampir dalam kurun waktu yang bersamaan!

Puya Ke Puya bercerita persoalan adat Rambu Solo dipertentangkan dengan peristiwa sekaligus pemikiran tokoh Allu Ralla—aktivis mahasiswa. Ia dengan keras menolak tradisi leluhur itu. Alasannya, sungguh tidak fungsional dan menyusahkan keluarga. Terlihat bagaimana kerbau sebagai simbol sakralitas diceritakan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi agar arwah mampu pergi, berjalan ke Puya (Surga). Kalau tidak, si arwah akan “bergentayangan”. Dalam kepercayaan orang Toraja, kematian seseorang harus dirayakan. Upacara yang bernama rambu solo. Orang-orang akan berkerumun mengantar yang meninggal di dalam peti untuk berjalan menuju Puya, alam tempat menemui Tuhan. Namun Rambu Solo bukanlah upacara adat biasa, tak sedikit jumlah uang yang dibutuhkan untuk melaksanakannya, dan hal tersebut menjadi tanggungan keluarga yang ditinggalkan. Dari situlah, konflik utama terlahir secara natural—seiring perkembangan cara berfikir tokoh utama Allu Ralla dalam menyikapi masalah-masalah yang ia hadapi. Khusunya dalam diri keluarganya, Rante. Terlepas dari statusnya sebagai mahasiswa sastra yang begitu kritis. Persoalan-persoalan seperti kapitalisme pun tak lepas dari jerat ideologi dalam novel peraih keempat Sayembara Menulis Novel DKJ 2014 ini.

Beda ‘sedikit’ dengan Pertanyaan Kepada Kenangan. Novel yang tergolong ringan dan banyak orang mengatakannya manis. Pertanyaan Kepada Kenangan menceritakan kisah cinta yang gagal karena adat. Karena Rambu Solo, Rinai (perempuan Jawa) terpaksa diperhadapkan dengan kenyataan yang pahit. Pernikahan yang telah ia janjikan kepada Ibu dan komitmennya, sirna begitu mendengar penolakan langsung—ketika Ibu Lamba (Lelaki Toraja yang begitu dicintainya) tak mengizinkan pernikahan mereka dilangsungkan dengan alasan mendiang Ayah Lamba belum menggelar upacara kedukaan (Rambu Solo). Pantang menggelar upacara kesenangan macam pernikahan sebelum upacara berduka digelar. Dan konfliknya pun menyeruak dengan Rinai yang jauh sebelum mereka akan menikah—Lamba sama sekali tak pernah memberitahunya perihal adat yang ia pegang dan percayai kepada Rinai. Penyesalan yang begitu dalam dari Rinai, lengkap sudah ketika keikhlasannya melepas semuanya (Lamba dan segala perihal tentangnya) telah hampir menemukan tepat—ketika seluruh kenangan itu yang semestinya hanya perlu berakhir sebagai kenangan—justru kembali. Seperti ingin menagih sebuah kegagalan atau mungkin memperbaiki kesalahan.

Secara umum, alasan untuk memilih latar belakang Toraja, saya pikir tidak perlu pergi terlalu jauh untuk menemukan jawabannya. Alasan kuatnya karena kedua novel ini ditulis secara bersamaan. Berdasarkan pengakuan langsung penulis, Pertanyaan Kepada Kenangan ditulis sebagai ruang sunyi yang bisa tetap produktif. Maksudnya, di tengah kesibukan menghimpun beberapa data novel Puya Ke Puya, yang terbit dua bulan lebih dulu—Pertanyaan Kepada Kenangan menjadi ‘ruang istirahat’ dari kepenatan, juga sebagai upaya mengisi ulang tenaga yang terkuras banyak ketika menulis Puya Ke Puya. Faisal ingin menulis kisah yang manis, yang dekat dengan dirinya—dan barangkali, sebuah kisah cinta yang akan terus diingat. Kuat dugaan, karakter yang ia pilih merupakan karakter dari sosok-sosok yang begitu dekat dengan penulis.

Secara umum, kedua novel di atas menyentuh karakteristik-karakteristik budaya. Dalam hal ini, adat Rambu Solo. Akan tetapi, perbedaan mencolok tergambar pada genre atau bentuk penceritaan. Berdasarkan hasil analisa saya setelah membacanya, Puya Ke Puya memiliki kecenderungan yang cukup kental—dan Pertanyaan Kepada Kenangan, bisa dikatakan sebagai ‘sisa’ dari data-data ril dari Puya Ke Puya. Sederhananya, Puya Ke Puya lebih condong menyentuh berbagai macam perspektif jenius, unik dan tak biasa. Sedangkan Pertanyaan Kepada Kenangan—jika secara tema, sangat biasa—tetapi yang membuatnya manis dan luar biasa, caranya bercerita, narasi serta pemilihan point of view yang bagi saya sangat beresiko. Saya rasa, berfikir secara perempuan hanya akan membahayakan laki-laki lain, dibanding yang merasakannya. Jadi, kesimpulannya—kekentalan akan konsep budaya dari keduanya sangatlah berbeda, walau tetap sama-sama ber zat cair.

Untuk pemilihan sudut pandang sendiri—keduanya berkesan jauh berbeda. Puya Ke Puya dengan unik dan jeniusnya memilih berbagai macam gaya. Berbagai simbol hasil dari putusan pengarang menjadi aturan (tidak teratur) dideklarasikan—contoh “*”, “**” hingga “***”. Simbol ini menjadi pembuka “Scene” atau “Paragrap” baru untuk memperjelas pembaca dalam menempatkan diri. Betapa tidak, sudut pandang penceritaan Arwah, Bayi arwah, Dewa, Orangtua hingga aktivis mahasiswa. Saya rasa, untuk poin terakhir—saya tidak heran. Sakralitas dari narasi-narasi yang kuat dan ‘sulit’ tetapi mampu menembus akal rasionalitas para pembaca—termasuk saya. Kecerdasan itu memang tak disadari oleh Faisal, semua itu hanya bentuk ketidakmengertian yang dimiliki hanya untuk membuat pembaca bisa seperti caranya melihat sesuatu. Pemilihan tokoh-tokoh dalam novel pun berkesan realis—mengikuti kenyataan yang ada. Keluarga Ralla tentu sangat beruntung dijadikan ‘icon’ dalam novel ini.

Untuk Pertanyaan Kepada Kenangan sendiri—saya rasa tak ada yang istimewa. Pemilihan “aku” sebagai perempuan (Rinai) bisa jadi cerdas karena konsisten. Konsistensi pengarang dalam bercerita dari sudut pandang perempuan dirasa tidak terlalu luar biasa. Akan tetapi, patut diingat dan digaris bawahi bahwa pemilihan itu bukan tanpa alasan dan tujuan. Kesulitan itu dapat ditemui ketika semuanya berawal dari kepahitan, kekecewaan. Berangkat dari itu, pengarang mencoba mengungkap hal-hal jujur, sulit dan manis ke wilayah sastra romance. Bisa saja, teori feminisme juga berperan serta dalam tokoh Rinai untuk itu, tanpa membuatnya menuntut diri untuk menyerah kepada keadaan. Peran semesta bisa kita sadari jika membacanya secara hikmat. Apakah itu telah direncanakan atau tidak—tetapi saya pikir, teknik bercerita dan pengambilan keputusan tokoh utama menjadi modal pengarang dalam menghadapi maraknya ketidakpercayaan manusia. Tuhan menciptakan penghianat, agar kita tahu bahwa tidak semua hal di dunia ini bisa kita percayai.

Berbicara mengenai latar belakang pengarang sendiri. Apa yang saya tuliskan di paragrap ini merupakan hasil dari percobaan saya dalam mengolerasikan hasil perbincangan dan pembacaan saya tentangnya. Bukan bermaksud membela atau menghina. Terlepas berlatar belakang mahasiswa sastra Indonesia, penulis telah lebih dulu dibekali berbagai jenis makan malam sebelum tidur, seperti; cerita rakyat (legenda) Sulawesi Selatan oleh sang Ayah dan Ibu. Salah satu kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang sulit untuk tertidur. Saya tidak terlalu mengetahui situasi serta kondisi sosial di tempat ia tumbuh. Asumsi saya, memang sejak SMA—beberapa karya seperti cerita pendek dan puisinya telah dimuat di beberapa Koran lokal dan nasional. Kebiasaan-kebiasaan kecil seperti patah hati dan sendiri di perpustakaan sekolah memaksananya masuk ke dunia menulis. Tingginya rasa ingin tahu dan proses dalam menyimak segala hal yang didengar dan lihatnya. Puncaknya, beberapa cerpen dan puisinya masuk ke beberapa buku antologi terbitan nasional, bersama dengan pengarang-pengarang yang telah lebih dulu di kenal pembaca. ‘Numpang’ nama tentu tak membuatnya sekedar menumpang, akan tetapi inilah yang justru menjadi peletuk semangat anak mudanya—yang akhirnya didaulat sebagai emergin writers Sahabat dari Jauh, salah satu program unggulan Makassar International Writers Festival (MIWF) untuk penulis muda yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Hingga sekarang, saya pikir telah banyak orang (penulis, pembaca-pun saya) merasa iri dengan pencapaiannya hingga detik saya menulis ini. Selamat! Sekali lagi, bro!

Konsep Pengaruh Sastra dan Non Sastra

Apapun itu tidak menjadi hal penting lagi. Sepertinya—hal-hal di luar sastra tak lagi mudah untuk di peta-petakan dengan rumus-rumus rumit. Sastra dan Non Sastra memiliki kesan bersisian untuk satu kehidupan yang utuh. Setidaknya bagi sastrawan dan sejarawan. Hubungan timbal balik atau saling mempengaruhi tak pernah lepas dari pengaruh sastra. Karya-karya setiap masa adalah bukti nyata situasi sosial peradaban dan dokumentasi budaya yang memecah-mecah keragu-raguan. Setidaknya bagi saya—membaca karya sastra dengan beberapa alasan kongkrit, termasuk pengaruh dari karya sastra yang lain, tentu sama dengan menikmati ketidaktahuan dalam tempat yang teramat sunyi. Bagi saya.

Jelas bahwa kedua novel di atas tak mampu mengelak terlalu jauh. Ada banyak sekali pengaruh yang membuatnya masing-masing jenius dan manis. Pengaruh seperti lingkungan sosial pengarang yang tak lagi beralasan untuk tidak menulis. Misalnya tinggal di sebuah perpustakaan komunitas. Atau bergaul langsung dengan karya-karya dari pengarang yang sempat membuatnya bermimpi menjadi penulis dan berpengaruh terhadap kesusastraan negeri ini.

Bagaimana dengan Non Sastra?

Saya tak akan berani melangkah terlalu jauh. Belajar sastra, sebelum semuanya meruntuhkan asumsi awal saya—tentu mempelajari hampir seluruh bidang ilmu humaniora yang telah disiapkan Tuhan sebagai yang paling baik di dunia. Ilmu-ilmu sosial seperti yang ada di kepalamu tak pernah luput dari kajian kesusastraan yang sifatnya Non Sastra. Sederhananya, kita bisa bersama-sama menarik satu contoh, yakni budaya. Selalu saja seperti ini—sastra tidak akan mungkin lahir dari kekosongan budaya, sepakat? Tentu saya pribadi mempercayai ini. Sastra dan budaya adalah sekandung walau tak sebadan. Entah seperti apa yang kau bayangkan.

Budaya dan mitos. Keduanya saling bertumpangan, dan kita tak tahu siapa yang berumah—siapa yang berutang. Saling tindih-menindih untuk menekan pengaruh-pengaruh lain yang semestinya muncul dengan transparan. Puya Ke Puya akrab dengan kausalitas budaya Aluk Todolo. Dan Pertanyaan Kepada Kenangan agak malu-malu mengakuinya.

Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung

Pengaruh kreativitas? Pengaruh yang tentu bagi saya yang sepakat dengan kalimat di buku; melampaui batas-batas tempat dan bahasa, ditandai dengan ‘kontak’ yang sebenarnya antara penulis. Ada kata ‘kontak’ di sana—apa gerangan?

Hubungan relasi yang kuat demi kepentingan dan kemajuan sastra. Saya pikir sederhananya seperti itu. Pengaruh kreasi dan inovasi menjadi hal wajib untuk seorang pengarang cerdas dan jenius. (Saya tidak tahu kenapa, kata ‘jenius’ selalu saya katakana untuk menggambarkan rasa takjub kepada seorang penulis). Saling membangun hubungan yang harmonis akan memberikan sebuah kekuatan-kekuatan ‘jujur’ bagi penulis. Sederhananya—jujurlah pada diri sendiri dan pikiran-pikiran, untuk mengubah dan mencerahkan pandangan orang lain. Sebelum menulis ini, saya sedang membuka kemudian membaca beberapa jurnal-jurnal Eka Kurniawan dan puisi-puisi Adimas Immanuel. Sungguh jenius mereka!

Sedangkan untuk pengaruh yang tidak langsung, saya rasa ini merupakan buah dari sebuah kesalahan. Kesalahan dalam meresapkan pengaruh-pengaruh yang seyogyanya langsung. Salah satu tembok besar yang mampu menjadi penghalang kecil dari pengaruh tidak langsung itu yakni tak adanya hubungan langsung antara dua penulis karena hambatan bahasa.

Untuk ocehan di bagian ini, pengaruh antar penulis—terlepas dari karya sastra yang menjadi objek penulisan, itu mutlak. Nama-nama seperti Dorothy Parker, Pablo Neruda, Saut Situmorang (pengakuan penulis) adalah nama-nama yang membuat perasaannya begitu semangat berjuang menemukan dirinya dalam prosa-prosa dari perasaannya. Pengaruh yang bagi saya baik. Dan tentu sebelum saya bersepakat dengan diri sendiri memilih dua karyanya dalam tulisan ini—secara tidak sadar, kemungkinan besar saya terjerembab juga di bagian ini. Entahkah pengaruh itu langsung ataupun tidak langsung. Dan saya pun langsing! Hahaha

Di dalam kedua buku itu sendiri, beberapa tokoh; seperti Marx atau Audioslave “like a stone” masing-masing untuk Puya Ke Puya dan Pertanyaan Kepada Kenangan merupakan pengaruh yang tidak salah yang sempat tersurat dengan disengaja ‘mungkin’ oleh Faisal.

Konsep Penerimaan

Saya tidak akan berterima, ketika National Borders menjadi satu-satunya penentu suatu karya akan sampai kepada pembacanya. Maksud yang lebih sederhana, frase ‘akan sampai’ diganti dengan diterima dengan baik. Serius! Ada banyak sekali konsep bagaimana karya itu bisa diterima dengan layak oleh masyarakat. Termasuk ketika ’calon’ karya yang masih bersifat manuskrip berada dipelukan penyunting (editor). Banyak hal yang mesti ia (baca; karya) lewati sebagai bakal naskah yang mandiri. Mulai dari konstruksi sosial yang sifatnya sensitive, mengekang ataupun membatasi secara demokrasi— mungkin untuk poin terakhir masih menjadi mitos yang utopis, anggap saja pengaruh paham-paham yang dikiri-kirikan oleh oknum-oknum berkepentingan—membuat kebanyakan diantara kita ‘takut’ dan tunduk pada ketidaktahuan.

“Penerimaan dapat ditempuh sebagai langkah untuk menjadi berpengaruh”

Saya beberapa kali terlibat perbincangan santai dengan Faisal, perihal kedua karyanya ini. Khusunya, bagaimana karya tersebut bisa diterima masyarakat. Apalagi hampir kebanyakan orang tahu bahwa hampir seluruh karya-karya prosanya memilih lokalitas Sulawesi Selatan (Budaya Toraja, Bissu, Tolotang dsb) sebagai latar belakang. Dari setting, penokohan, sudut pandang hingga amanat.

Puya ke Puya sangat dewasa membahas Toraja. Seperti orang Toraja asli yang mendongeng saja. Saya tidak percaya—tetapi saya yakin bahwa dari novel ini, saya bisa belajar banyak tentang kebudayaan. Sederhananya, bagaimana kita bisa belajar tentang kebudayaan yang kesannya kaku—menjadi lebih asyik. Akan tetapi, kesannya bahwa budaya adalah kenyataan yang tak mengenal kebohongan. Sesuatu yang sulit dipisahkan dengan kehidupan orang-orang tertentu, dan menjadi ruang nyata menidurkan peradaban untuk dibangun kembali oleh generasi-generasi selanjutnya. Jadi ada semacam konsep yang sukar menempuh perjalanan menuju ke dalam wilayah fiksi—karena tidak ada kebudayaan yang fiksi. Dan secara tidak langsung Puya ke Puya menganut konsep yang sesuai dengan kenyataan, tetapi ia adalah novel fiksi yang berlatar belakang budaya.

Pertanyaan saya tempo waktu; bagaimana sambutan masyarakat tentang novel ini? Khususnya masyarakat Toraja sendiri. Ia menjawab dengan pelan; baik dan diterima. Sampai detik ini, belum ada intervensi ketika menemukan ke-fiksi-an novelmu? Ia pun menjawab; belum ada. Karena sebelum semuanya saya putuskan, saya harus mencari beberapa fakta tentang itu. Yang tentunya riskan untuk memilih plotnya. Termasuk pemilihan sudut pandang dan plot twist diakhir novel. Terima kasih, Faisal!

Bagaimana dengan Pertanyaan Kepada Kenangan?

Saya malu-malu. Begitu pun—mungkin ia (baca; karya). Pertanyaan Kepada Kenangan lebih halus menyinggung masalah Rambu Solo. Dan bisa jadi, selain masalah perasaan—konflik natural (Aluk Todolo) ini bisa jadi pelarian yang adil untuk alur perceritaannya secara keseluruhan. Bisa dilihat ketika Rinai telah sampai kepada titik yang membuat Wanua memiliki jalan lapang untuk membuat perasaannya yang selama ini, berjalan sendiri ke hati Rinai.

Share: