Comparative literature atau dalam bahasa
Indonesia, sastra bandingan merupakan salah satu turunan atau bagian-bagian
penting dari ilmu sastra. Selain dari pada sejarah, teori serta kritik sastra.
Serta, belakangan ini—Sastra bandingan mengalami pasang surut, hingga pada
akhirnya di abad ke-19, tepatnya di Perancis—Sastra bandingan mulai mendapat
perhatian dari beberapa pemikir-pemikir sastra. Pemikir-pemikir seperti Paul
Van-Tieghem, Marius-Francois Guyard, Jean-Marie Carre, Fernand Baldensperger
dan masih banyak lagi. Sastra bandingan secara sistematis mengembangkan
kecenderungan kaitan antar karya dalam bahasa yang sama atau yang berbeda.
Kajian ini tidak lain bertujuan untuk memahami proses penciptaan karya sastra
(Proses kreatif) dan perkembangan sastra suatu Negara. Kemudian, pada
perkembangan sastra bandingan selanjutnya—juga ikut berkembangan di negeri
Paman Sam, yang menginovasi serta mengembangkan beberapa konsep dari
aliran-aliran terdahulunya, Perancis (French School/Mazhab), yang berkesan luas
dan tentu baru. Maka aliran Amerika disebut juga dengan American School,
dibanding French School— yang lebih melonggarkan pemikiran-pemikiran di luar
sastra untuk membandingkan karya sastra dengan bidang ilmu yang lain seperti
filsafat, sosiologi, agama, budaya dan sebagainya (Tidak hanya unsur instrinsik
saja).
Sastra bandingan bukanlah
sebuah teori, melainkan hanya sebatas metode. Jadi tak perlu terlalu
mengerutkan dahi atau berlagak pusing di depan mantan kekasih untuk memperoleh
perhatian baru—sampai-sampai berpura-pura memikirkan terlalu dalam tentangnya,
hingga tak menyadarinya dengan kata lupa perihal deadline. Maka bisa saja
berakibat fatal terhadap kesejahteraan pikiran dan perasaan bahwa saya memiliki
segudang tugas kuliah yang saling berebut diperhatikan seperti kamu yang
meminta dengan tidak hormat agar diselesaikan (diakhiri) dengan membuat
perasaan saya menjadi jauh lebih terhormat.
Dalam hasil analisis saya
tentang materi The Crisis of Comparative Literature yang dibagikan beberapa
bulan yang lalu sebagai salah satu referensi belajar—yang sempat saya lupa
baca, dengan bantuan Mind Maping yang masih abal-abal—menemukan bahwa
Comparative Literature; the study of two entities—two books or writers, two
groups of books or writers, or two complete literatures. Saya juga menemukan
istilah “Binery Studies”, yakni analisis dua hal (Kembali ke paragrap pertama).
Dalam esai ini, saya akan mencoba menulis tentang dua entitas yakni dua karya
sastra yang ditulis oleh satu orang—dalam kurun waktu yang bersamaan. Dua novel
yang menurut saya jenius, cerdik dan manis. Salah dua novel lokal yang saya
baca lebih dari dua kali—selain membuat saya iri dengan cerita dan derita
menanggungnya. Saya pribadi sadar banyak hal yang bisa menjadi pengetahuan baru
saya untuk mengetahui secara ril salah satu kebudayaan yang masih tetap eksis
di sekitar, selain belajar tentang hal-hal magis dari sebuah karya sastra di
luar realisme magis milik Marquez. Saya menyadari itu—terima kasih Faisal telah
membuat saya iri selagi dengki.
Puya Ke Puya dan Pertanyaan
Kepada Kenangan adalah dua karya Faisal yang memilih berlatar belakang Toraja.
Jika ingin lebih detail lagi, keduanya secara tidak langsung menyepakati adat
Rambu Solo sebagai alasan utama konfliknya. Kalau tidak percaya, silahkan baca
dengan hikmat. Novel yang ditulis hampir dalam kurun waktu yang bersamaan!
Puya Ke Puya bercerita
persoalan adat Rambu Solo dipertentangkan dengan peristiwa sekaligus pemikiran
tokoh Allu Ralla—aktivis mahasiswa. Ia dengan keras menolak tradisi leluhur
itu. Alasannya, sungguh tidak fungsional dan menyusahkan keluarga. Terlihat
bagaimana kerbau sebagai simbol sakralitas diceritakan sebagai kewajiban yang
harus dipenuhi agar arwah mampu pergi, berjalan ke Puya (Surga). Kalau tidak,
si arwah akan “bergentayangan”. Dalam kepercayaan orang Toraja, kematian
seseorang harus dirayakan. Upacara yang bernama rambu solo. Orang-orang akan
berkerumun mengantar yang meninggal di dalam peti untuk berjalan menuju Puya,
alam tempat menemui Tuhan. Namun Rambu Solo bukanlah upacara adat biasa, tak
sedikit jumlah uang yang dibutuhkan untuk melaksanakannya, dan hal tersebut
menjadi tanggungan keluarga yang ditinggalkan. Dari situlah, konflik utama
terlahir secara natural—seiring perkembangan cara berfikir tokoh utama Allu
Ralla dalam menyikapi masalah-masalah yang ia hadapi. Khusunya dalam diri
keluarganya, Rante. Terlepas dari statusnya sebagai mahasiswa sastra yang
begitu kritis. Persoalan-persoalan seperti kapitalisme pun tak lepas dari jerat
ideologi dalam novel peraih keempat Sayembara Menulis Novel DKJ 2014 ini.
Beda ‘sedikit’ dengan
Pertanyaan Kepada Kenangan. Novel yang tergolong ringan dan banyak orang
mengatakannya manis. Pertanyaan Kepada Kenangan menceritakan kisah cinta yang
gagal karena adat. Karena Rambu Solo, Rinai (perempuan Jawa) terpaksa
diperhadapkan dengan kenyataan yang pahit. Pernikahan yang telah ia janjikan
kepada Ibu dan komitmennya, sirna begitu mendengar penolakan langsung—ketika
Ibu Lamba (Lelaki Toraja yang begitu dicintainya) tak mengizinkan pernikahan
mereka dilangsungkan dengan alasan mendiang Ayah Lamba belum menggelar upacara
kedukaan (Rambu Solo). Pantang menggelar upacara kesenangan macam pernikahan
sebelum upacara berduka digelar. Dan konfliknya pun menyeruak dengan Rinai yang
jauh sebelum mereka akan menikah—Lamba sama sekali tak pernah memberitahunya
perihal adat yang ia pegang dan percayai kepada Rinai. Penyesalan yang begitu
dalam dari Rinai, lengkap sudah ketika keikhlasannya melepas semuanya (Lamba
dan segala perihal tentangnya) telah hampir menemukan tepat—ketika seluruh
kenangan itu yang semestinya hanya perlu berakhir sebagai kenangan—justru
kembali. Seperti ingin menagih sebuah kegagalan atau mungkin memperbaiki
kesalahan.
Secara umum, alasan untuk
memilih latar belakang Toraja, saya pikir tidak perlu pergi terlalu jauh untuk
menemukan jawabannya. Alasan kuatnya karena kedua novel ini ditulis secara
bersamaan. Berdasarkan pengakuan langsung penulis, Pertanyaan Kepada Kenangan
ditulis sebagai ruang sunyi yang bisa tetap produktif. Maksudnya, di tengah
kesibukan menghimpun beberapa data novel Puya Ke Puya, yang terbit dua bulan
lebih dulu—Pertanyaan Kepada Kenangan menjadi ‘ruang istirahat’ dari kepenatan,
juga sebagai upaya mengisi ulang tenaga yang terkuras banyak ketika menulis
Puya Ke Puya. Faisal ingin menulis kisah yang manis, yang dekat dengan
dirinya—dan barangkali, sebuah kisah cinta yang akan terus diingat. Kuat
dugaan, karakter yang ia pilih merupakan karakter dari sosok-sosok yang begitu
dekat dengan penulis.
Secara umum, kedua novel di
atas menyentuh karakteristik-karakteristik budaya. Dalam hal ini, adat Rambu
Solo. Akan tetapi, perbedaan mencolok tergambar pada genre atau bentuk
penceritaan. Berdasarkan hasil analisa saya setelah membacanya, Puya Ke Puya
memiliki kecenderungan yang cukup kental—dan Pertanyaan Kepada Kenangan, bisa
dikatakan sebagai ‘sisa’ dari data-data ril dari Puya Ke Puya. Sederhananya,
Puya Ke Puya lebih condong menyentuh berbagai macam perspektif jenius, unik dan
tak biasa. Sedangkan Pertanyaan Kepada Kenangan—jika secara tema, sangat
biasa—tetapi yang membuatnya manis dan luar biasa, caranya bercerita, narasi
serta pemilihan point of view yang bagi saya sangat beresiko. Saya rasa,
berfikir secara perempuan hanya akan membahayakan laki-laki lain, dibanding
yang merasakannya. Jadi, kesimpulannya—kekentalan akan konsep budaya dari
keduanya sangatlah berbeda, walau tetap sama-sama ber zat cair.
Untuk pemilihan sudut pandang
sendiri—keduanya berkesan jauh berbeda. Puya Ke Puya dengan unik dan jeniusnya
memilih berbagai macam gaya. Berbagai simbol hasil dari putusan pengarang
menjadi aturan (tidak teratur) dideklarasikan—contoh “*”, “**” hingga “***”.
Simbol ini menjadi pembuka “Scene” atau “Paragrap” baru untuk memperjelas
pembaca dalam menempatkan diri. Betapa tidak, sudut pandang penceritaan Arwah,
Bayi arwah, Dewa, Orangtua hingga aktivis mahasiswa. Saya rasa, untuk poin
terakhir—saya tidak heran. Sakralitas dari narasi-narasi yang kuat dan ‘sulit’
tetapi mampu menembus akal rasionalitas para pembaca—termasuk saya. Kecerdasan
itu memang tak disadari oleh Faisal, semua itu hanya bentuk ketidakmengertian
yang dimiliki hanya untuk membuat pembaca bisa seperti caranya melihat sesuatu.
Pemilihan tokoh-tokoh dalam novel pun berkesan realis—mengikuti kenyataan yang
ada. Keluarga Ralla tentu sangat beruntung dijadikan ‘icon’ dalam novel ini.
Untuk Pertanyaan Kepada
Kenangan sendiri—saya rasa tak ada yang istimewa. Pemilihan “aku” sebagai
perempuan (Rinai) bisa jadi cerdas karena konsisten. Konsistensi pengarang
dalam bercerita dari sudut pandang perempuan dirasa tidak terlalu luar biasa.
Akan tetapi, patut diingat dan digaris bawahi bahwa pemilihan itu bukan tanpa
alasan dan tujuan. Kesulitan itu dapat ditemui ketika semuanya berawal dari
kepahitan, kekecewaan. Berangkat dari itu, pengarang mencoba mengungkap hal-hal
jujur, sulit dan manis ke wilayah sastra romance. Bisa saja, teori feminisme
juga berperan serta dalam tokoh Rinai untuk itu, tanpa membuatnya menuntut diri
untuk menyerah kepada keadaan. Peran semesta bisa kita sadari jika membacanya
secara hikmat. Apakah itu telah direncanakan atau tidak—tetapi saya pikir,
teknik bercerita dan pengambilan keputusan tokoh utama menjadi modal pengarang
dalam menghadapi maraknya ketidakpercayaan manusia. Tuhan menciptakan
penghianat, agar kita tahu bahwa tidak semua hal di dunia ini bisa kita
percayai.
Berbicara mengenai latar
belakang pengarang sendiri. Apa yang saya tuliskan di paragrap ini merupakan
hasil dari percobaan saya dalam mengolerasikan hasil perbincangan dan pembacaan
saya tentangnya. Bukan bermaksud membela atau menghina. Terlepas berlatar
belakang mahasiswa sastra Indonesia, penulis telah lebih dulu dibekali berbagai
jenis makan malam sebelum tidur, seperti; cerita rakyat (legenda) Sulawesi Selatan
oleh sang Ayah dan Ibu. Salah satu kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang
sulit untuk tertidur. Saya tidak terlalu mengetahui situasi serta kondisi
sosial di tempat ia tumbuh. Asumsi saya, memang sejak SMA—beberapa karya
seperti cerita pendek dan puisinya telah dimuat di beberapa Koran lokal dan
nasional. Kebiasaan-kebiasaan kecil seperti patah hati dan sendiri di
perpustakaan sekolah memaksananya masuk ke dunia menulis. Tingginya rasa ingin
tahu dan proses dalam menyimak segala hal yang didengar dan lihatnya.
Puncaknya, beberapa cerpen dan puisinya masuk ke beberapa buku antologi
terbitan nasional, bersama dengan pengarang-pengarang yang telah lebih dulu di
kenal pembaca. ‘Numpang’ nama tentu tak membuatnya sekedar menumpang, akan
tetapi inilah yang justru menjadi peletuk semangat anak mudanya—yang akhirnya
didaulat sebagai emergin writers Sahabat dari Jauh, salah satu program unggulan
Makassar International Writers Festival (MIWF) untuk penulis muda yang masih
duduk di bangku sekolah menengah atas. Hingga sekarang, saya pikir telah banyak
orang (penulis, pembaca-pun saya) merasa iri dengan pencapaiannya hingga detik
saya menulis ini. Selamat! Sekali lagi, bro!
Konsep Pengaruh Sastra dan
Non Sastra
Apapun itu tidak menjadi hal
penting lagi. Sepertinya—hal-hal di luar sastra tak lagi mudah untuk di
peta-petakan dengan rumus-rumus rumit. Sastra dan Non Sastra memiliki kesan
bersisian untuk satu kehidupan yang utuh. Setidaknya bagi sastrawan dan
sejarawan. Hubungan timbal balik atau saling mempengaruhi tak pernah lepas dari
pengaruh sastra. Karya-karya setiap masa adalah bukti nyata situasi sosial
peradaban dan dokumentasi budaya yang memecah-mecah keragu-raguan. Setidaknya
bagi saya—membaca karya sastra dengan beberapa alasan kongkrit, termasuk pengaruh
dari karya sastra yang lain, tentu sama dengan menikmati ketidaktahuan dalam
tempat yang teramat sunyi. Bagi saya.
Jelas bahwa kedua novel di
atas tak mampu mengelak terlalu jauh. Ada banyak sekali pengaruh yang
membuatnya masing-masing jenius dan manis. Pengaruh seperti lingkungan sosial
pengarang yang tak lagi beralasan untuk tidak menulis. Misalnya tinggal di
sebuah perpustakaan komunitas. Atau bergaul langsung dengan karya-karya dari
pengarang yang sempat membuatnya bermimpi menjadi penulis dan berpengaruh
terhadap kesusastraan negeri ini.
Bagaimana dengan Non Sastra?
Saya tak akan berani
melangkah terlalu jauh. Belajar sastra, sebelum semuanya meruntuhkan asumsi
awal saya—tentu mempelajari hampir seluruh bidang ilmu humaniora yang telah
disiapkan Tuhan sebagai yang paling baik di dunia. Ilmu-ilmu sosial seperti
yang ada di kepalamu tak pernah luput dari kajian kesusastraan yang sifatnya
Non Sastra. Sederhananya, kita bisa bersama-sama menarik satu contoh, yakni
budaya. Selalu saja seperti ini—sastra tidak akan mungkin lahir dari kekosongan
budaya, sepakat? Tentu saya pribadi mempercayai ini. Sastra dan budaya adalah
sekandung walau tak sebadan. Entah seperti apa yang kau bayangkan.
Budaya dan mitos. Keduanya
saling bertumpangan, dan kita tak tahu siapa yang berumah—siapa yang berutang.
Saling tindih-menindih untuk menekan pengaruh-pengaruh lain yang semestinya
muncul dengan transparan. Puya Ke Puya akrab dengan kausalitas budaya Aluk
Todolo. Dan Pertanyaan Kepada Kenangan agak malu-malu mengakuinya.
Pengaruh Langsung dan Tidak
Langsung
Pengaruh kreativitas?
Pengaruh yang tentu bagi saya yang sepakat dengan kalimat di buku; melampaui
batas-batas tempat dan bahasa, ditandai dengan ‘kontak’ yang sebenarnya antara
penulis. Ada kata ‘kontak’ di sana—apa gerangan?
Hubungan relasi yang kuat
demi kepentingan dan kemajuan sastra. Saya pikir sederhananya seperti itu.
Pengaruh kreasi dan inovasi menjadi hal wajib untuk seorang pengarang cerdas
dan jenius. (Saya tidak tahu kenapa, kata ‘jenius’ selalu saya katakana untuk
menggambarkan rasa takjub kepada seorang penulis). Saling membangun hubungan
yang harmonis akan memberikan sebuah kekuatan-kekuatan ‘jujur’ bagi penulis.
Sederhananya—jujurlah pada diri sendiri dan pikiran-pikiran, untuk mengubah dan
mencerahkan pandangan orang lain. Sebelum menulis ini, saya sedang membuka kemudian
membaca beberapa jurnal-jurnal Eka Kurniawan dan puisi-puisi Adimas Immanuel.
Sungguh jenius mereka!
Sedangkan untuk pengaruh yang
tidak langsung, saya rasa ini merupakan buah dari sebuah kesalahan. Kesalahan
dalam meresapkan pengaruh-pengaruh yang seyogyanya langsung. Salah satu tembok
besar yang mampu menjadi penghalang kecil dari pengaruh tidak langsung itu
yakni tak adanya hubungan langsung antara dua penulis karena hambatan bahasa.
Untuk ocehan di bagian ini,
pengaruh antar penulis—terlepas dari karya sastra yang menjadi objek penulisan,
itu mutlak. Nama-nama seperti Dorothy Parker, Pablo Neruda, Saut Situmorang
(pengakuan penulis) adalah nama-nama yang membuat perasaannya begitu semangat
berjuang menemukan dirinya dalam prosa-prosa dari perasaannya. Pengaruh yang
bagi saya baik. Dan tentu sebelum saya bersepakat dengan diri sendiri memilih
dua karyanya dalam tulisan ini—secara tidak sadar, kemungkinan besar saya
terjerembab juga di bagian ini. Entahkah pengaruh itu langsung ataupun tidak
langsung. Dan saya pun langsing! Hahaha
Di dalam kedua buku itu
sendiri, beberapa tokoh; seperti Marx atau Audioslave “like a stone”
masing-masing untuk Puya Ke Puya dan Pertanyaan Kepada Kenangan merupakan
pengaruh yang tidak salah yang sempat tersurat dengan disengaja ‘mungkin’ oleh
Faisal.
Konsep Penerimaan
Saya tidak akan berterima,
ketika National Borders menjadi satu-satunya penentu suatu karya akan sampai
kepada pembacanya. Maksud yang lebih sederhana, frase ‘akan sampai’ diganti
dengan diterima dengan baik. Serius! Ada banyak sekali konsep bagaimana karya
itu bisa diterima dengan layak oleh masyarakat. Termasuk ketika ’calon’ karya
yang masih bersifat manuskrip berada dipelukan penyunting (editor). Banyak hal
yang mesti ia (baca; karya) lewati sebagai bakal naskah yang mandiri. Mulai
dari konstruksi sosial yang sifatnya sensitive, mengekang ataupun membatasi
secara demokrasi— mungkin untuk poin terakhir masih menjadi mitos yang utopis,
anggap saja pengaruh paham-paham yang dikiri-kirikan oleh oknum-oknum
berkepentingan—membuat kebanyakan diantara kita ‘takut’ dan tunduk pada
ketidaktahuan.
“Penerimaan dapat ditempuh
sebagai langkah untuk menjadi berpengaruh”
Saya beberapa kali terlibat
perbincangan santai dengan Faisal, perihal kedua karyanya ini. Khusunya,
bagaimana karya tersebut bisa diterima masyarakat. Apalagi hampir kebanyakan
orang tahu bahwa hampir seluruh karya-karya prosanya memilih lokalitas Sulawesi
Selatan (Budaya Toraja, Bissu, Tolotang dsb) sebagai latar belakang. Dari
setting, penokohan, sudut pandang hingga amanat.
Puya ke Puya sangat dewasa
membahas Toraja. Seperti orang Toraja asli yang mendongeng saja. Saya tidak
percaya—tetapi saya yakin bahwa dari novel ini, saya bisa belajar banyak
tentang kebudayaan. Sederhananya, bagaimana kita bisa belajar tentang
kebudayaan yang kesannya kaku—menjadi lebih asyik. Akan tetapi, kesannya bahwa
budaya adalah kenyataan yang tak mengenal kebohongan. Sesuatu yang sulit
dipisahkan dengan kehidupan orang-orang tertentu, dan menjadi ruang nyata
menidurkan peradaban untuk dibangun kembali oleh generasi-generasi selanjutnya.
Jadi ada semacam konsep yang sukar menempuh perjalanan menuju ke dalam wilayah
fiksi—karena tidak ada kebudayaan yang fiksi. Dan secara tidak langsung Puya ke
Puya menganut konsep yang sesuai dengan kenyataan, tetapi ia adalah novel fiksi
yang berlatar belakang budaya.
Pertanyaan saya tempo waktu;
bagaimana sambutan masyarakat tentang novel ini? Khususnya masyarakat Toraja
sendiri. Ia menjawab dengan pelan; baik dan diterima. Sampai detik ini, belum
ada intervensi ketika menemukan ke-fiksi-an novelmu? Ia pun menjawab; belum
ada. Karena sebelum semuanya saya putuskan, saya harus mencari beberapa fakta
tentang itu. Yang tentunya riskan untuk memilih plotnya. Termasuk pemilihan
sudut pandang dan plot twist diakhir novel. Terima kasih, Faisal!
Bagaimana dengan Pertanyaan
Kepada Kenangan?
Saya malu-malu. Begitu
pun—mungkin ia (baca; karya). Pertanyaan Kepada Kenangan lebih halus
menyinggung masalah Rambu Solo. Dan bisa jadi, selain masalah perasaan—konflik
natural (Aluk Todolo) ini bisa jadi pelarian yang adil untuk alur perceritaannya
secara keseluruhan. Bisa dilihat ketika Rinai telah sampai kepada titik yang
membuat Wanua memiliki jalan lapang untuk membuat perasaannya yang selama ini,
berjalan sendiri ke hati Rinai.