Walau
sempat memiliki masalah dengan salah satu dosen Universitas Brawijaya terkait
penulisan skenario film “Surat dari Praha”, M. Irfan Ramly dalam diskusinya
sore tadi di beranda gedung utara Fort Rotterdam tentang bagaimana menulis
skenario film terlihat santai dan seru berbagi pengalaman kepada kami dan
mungkin saja cineas-cineas muda Makassar yang lain. Mengawali pagi dengan berpura-pura
melupakan hal penting yang terjadi kampus saya, bahwa di jam pagi yang
seharusnya saya telah duduk manis di salah satu kursi aula Prof. Mattulada,
justru dilaksanakan sebuah diskusi mendadak perihal sastra dan membaca oleh dua
penyair (jujur) Indonesia andalan saya; Joko Pinurbo (Jokpin) dan Hasan
Aspahani (HAH).
Kegiatan
yang tercipta berkat relasi-relasi yang terbangun tanpa buruh dan
pekerja-pekerja—berkat salah satu kebaikan dosen saya yang sadar akan
gersangnya pengetahuan sastra Indonesia di kampus, Aslan Abidin—mahasiswa di
Fakultas Bahasa dan Sastra UNM akhirnya bisa mendapat kesempatan bertemu, bertukar
atau bertegur sapa dan cerita dari manusia-manusia dibalik buku-buku; Surat
Kopi, Baju Bulang dan Bulu Matamu, Padang Ilalang serta buku biografi Chairil
Anwar dan kumpulan sajak Luka Mata. Keduanya menyambut baik ajakan yang
sebenarnya lebih mirip kuliah umum itu, aku Aslan Abidin di pertemuan kami
pasca memoderatori Workshop; The
Essential Things in Poetry. Jujur, selama hampir tiga tahun saya berkuliah
di kampus yang notabennya berbasis bahasa dan idealnya berbudaya serta
ber’sastra’—pada kenyataannya justru kebanyakan dari kami (mahasiswa) di sana,
sangat kurang dan kering pengetahuan akan tokoh-tokoh sastra dalam negeri
sendiri. Kebanyakan hanya terjebak pada wilayah sastra kolonialis milik Pram
sendiri, dan penulis-penulis mancanegara yang kadang merasa tak punya Negara.
Saya
tidak mengatakan mereka semua jelek dan tidak cocok di Indonesia. Tetapi saya
selalu teringat kata-kata spontan saya ketika di kelas Sejarah Sastra
Inggris—selalu saja begitu, tak heran kebanyakan dari kita begitu, kita selalu
memfokuskan mata, pikiran dan perasaan terhadap hal-hal yang jauh dari kita,
padahal hal-hal yang teramat dekat dengan kita tak juga kalah dengan yang jauh.
Ya, selalu begitu, beberapa orang-orang memang selalu sangat gampang menebar
pengakuan. Entah tumbuh di lahan yang tepat atau gersang. Sama dengan membunuh
atau mencabut nyawa orang lain yang akhir-akhir ini sedang menyeruak ke
permukaan laut yang jernih—kita selalu saja seperti itu. Sadar ataupun tidak,
pengakuan yang mengatasnamakan suka kepada puisi, novel ataupun cerpen pada
akhirnya akan bernilai tidak sama sekali, ketika kesalahan dalam menyukai
menyeruak di akhir percakapan. Kadang kita menemukan dialog seperti ini “Eh,
kemarin saya membaca Raden Mandasia, puisinya sangat bagus! Kamu harus baca”
Anggap saja saya belum membaca bukunya. dan “Wah, kalau itu saya sudah baca
lama sekali dan suka! Puisinya tak kalah dengan AADC nya M. Aan Mansyur”
(Sama-sama tersenyum dengan kesalahan yang sama)
Saya
tiba-tiba mengingat teori the death of
the author. Salah satu teori penting dalam kesusastraan dunia yang
dikeluarkan oleh Roland Barthes. Saya tidak akan berbicara banyak soal itu,
karena kasihan dengan kebiasaan para pembaca atau penyuka yang kadang tak
budiman. Tahu tetapi tidak mengenal siapa dibaliknya. Minimal nama, pun hal-hal
lain diluar itu, terselah Budiman sajalah. Saya selalu sensitif di wilayah
ini—ekstrinsik. Dan saya meyakini, banyak pembaca yang tidak menyadari dan
bahkan yakin sadar dengan hal ini. Misalnya, ketika mendengar sajak “Jarak itu
sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan”
atau “kau mata, aku air matamu” hingga “Di bawah alismu hujan berteduh. Di
merah matamu senja berlabuh.” Saya yakin, ditelinga sangat akrab. Tetapi tunggu
dulu, siapakah dibalik itu?
Setelah
menyimak beberapa pengalaman dari M. Irfan Ramli, saya bersama salah satu
anggota pecandu buku bergegas menuju gedung Chapel di pusat Fort Rotterdam.
Niat saya satu. Memperbaiki kesialan sehari sebelumnya. Teriakan balas dendam.
Peluncuran novel “O” baru akan dilaksanakan sekitar tiga puluh menit lebih lagi!
Eka
datang. Tak banyak yang menyadarinya, bahkan menurut saya ini lucu, nyeleneh. Salah satu peserta di samping
kanan saya bercakap dengan sedikit berbisik. “Itu Eka? Iya kah? Ah bukan
kapang..” Bahkan, salah satu diantaranya bertanya langsung kepada saya. Saya
hanya menjawab “Iya!”, tetapi mereka tak percaya. Tak hanya dua orang itu,
bahkan hampir semua orang. Saya hanya duduk santai. Saya bukan pembaca
karya-karya Eka Kurniawan, tetapi saya mengaguminya. Dan saya tahu orang itu
benar-benar Eka Kurniawan!
Book launch “O”
dimulai dengan hikmat. Sedikit pengantar dari moderator berbaju mirip julukan
kampus saya. Saya sangat menyimak apa yang mas Eka ceritakan. Mulai dari proses
kreatif ia menulis “tangan” kan beberapa novelnya (belum punya komputer), riset
dengan banyak membaca dan diskusi serta pengalaman-pengalaman menulisnya di
awal sebelum dan pasca lulus kuliah. Seru dan menarik!, berbagai kursi kosong
terisi dengan kepala-kepala yang mungkin saja dipenuhi pertanyaan-pertanyaan
mendalam tentang novel-novelnya, khususnya “O”. Ada sekitar sepuluh lebih
pertanyaan yang dijawab oleh Eka Kurniawan, dan saya yakin masih banyak lagi.
Proses diskusi berjalan dengan santai dan ringan, tanpa kopi sayangnya—hingga
diakhir kami pun berpisah dengan dua kali jepretan sebagai tanda pertemuan kami
yang pertama. Semoga yang lain akan menyusul. Terima kasih mas Eka
Kurniawan!
(*)
Catatan Hari Ke 3 Makassar International Writers Festival (MIWF 2016)