Senin, 23 Mei 2016

OH, “O” (Writing Challenge MIWF 2016)



Walau sempat memiliki masalah dengan salah satu dosen Universitas Brawijaya terkait penulisan skenario film “Surat dari Praha”, M. Irfan Ramly dalam diskusinya sore tadi di beranda gedung utara Fort Rotterdam tentang bagaimana menulis skenario film terlihat santai dan seru berbagi pengalaman kepada kami dan mungkin saja cineas-cineas muda Makassar yang lain. Mengawali pagi dengan berpura-pura melupakan hal penting yang terjadi kampus saya, bahwa di jam pagi yang seharusnya saya telah duduk manis di salah satu kursi aula Prof. Mattulada, justru dilaksanakan sebuah diskusi mendadak perihal sastra dan membaca oleh dua penyair (jujur) Indonesia andalan saya; Joko Pinurbo (Jokpin) dan Hasan Aspahani (HAH). 

Kegiatan yang tercipta berkat relasi-relasi yang terbangun tanpa buruh dan pekerja-pekerja—berkat salah satu kebaikan dosen saya yang sadar akan gersangnya pengetahuan sastra Indonesia di kampus, Aslan Abidin—mahasiswa di Fakultas Bahasa dan Sastra UNM akhirnya bisa mendapat kesempatan bertemu, bertukar atau bertegur sapa dan cerita dari manusia-manusia dibalik buku-buku; Surat Kopi, Baju Bulang dan Bulu Matamu, Padang Ilalang serta buku biografi Chairil Anwar dan kumpulan sajak Luka Mata. Keduanya menyambut baik ajakan yang sebenarnya lebih mirip kuliah umum itu, aku Aslan Abidin di pertemuan kami pasca memoderatori Workshop; The Essential Things in Poetry. Jujur, selama hampir tiga tahun saya berkuliah di kampus yang notabennya berbasis bahasa dan idealnya berbudaya serta ber’sastra’—pada kenyataannya justru kebanyakan dari kami (mahasiswa) di sana, sangat kurang dan kering pengetahuan akan tokoh-tokoh sastra dalam negeri sendiri. Kebanyakan hanya terjebak pada wilayah sastra kolonialis milik Pram sendiri, dan penulis-penulis mancanegara yang kadang merasa tak punya Negara. 

Saya tidak mengatakan mereka semua jelek dan tidak cocok di Indonesia. Tetapi saya selalu teringat kata-kata spontan saya ketika di kelas Sejarah Sastra Inggris—selalu saja begitu, tak heran kebanyakan dari kita begitu, kita selalu memfokuskan mata, pikiran dan perasaan terhadap hal-hal yang jauh dari kita, padahal hal-hal yang teramat dekat dengan kita tak juga kalah dengan yang jauh. Ya, selalu begitu, beberapa orang-orang memang selalu sangat gampang menebar pengakuan. Entah tumbuh di lahan yang tepat atau gersang. Sama dengan membunuh atau mencabut nyawa orang lain yang akhir-akhir ini sedang menyeruak ke permukaan laut yang jernih—kita selalu saja seperti itu. Sadar ataupun tidak, pengakuan yang mengatasnamakan suka kepada puisi, novel ataupun cerpen pada akhirnya akan bernilai tidak sama sekali, ketika kesalahan dalam menyukai menyeruak di akhir percakapan. Kadang kita menemukan dialog seperti ini “Eh, kemarin saya membaca Raden Mandasia, puisinya sangat bagus! Kamu harus baca” Anggap saja saya belum membaca bukunya. dan “Wah, kalau itu saya sudah baca lama sekali dan suka! Puisinya tak kalah dengan AADC nya M. Aan Mansyur” (Sama-sama tersenyum dengan kesalahan yang sama)

Saya tiba-tiba mengingat teori the death of the author. Salah satu teori penting dalam kesusastraan dunia yang dikeluarkan oleh Roland Barthes. Saya tidak akan berbicara banyak soal itu, karena kasihan dengan kebiasaan para pembaca atau penyuka yang kadang tak budiman. Tahu tetapi tidak mengenal siapa dibaliknya. Minimal nama, pun hal-hal lain diluar itu, terselah Budiman sajalah. Saya selalu sensitif di wilayah ini—ekstrinsik. Dan saya meyakini, banyak pembaca yang tidak menyadari dan bahkan yakin sadar dengan hal ini. Misalnya, ketika mendengar sajak “Jarak itu sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan” atau “kau mata, aku air matamu” hingga “Di bawah alismu hujan berteduh. Di merah matamu senja berlabuh.” Saya yakin, ditelinga sangat akrab. Tetapi tunggu dulu, siapakah dibalik itu?
Setelah menyimak beberapa pengalaman dari M. Irfan Ramli, saya bersama salah satu anggota pecandu buku bergegas menuju gedung Chapel di pusat Fort Rotterdam. Niat saya satu. Memperbaiki kesialan sehari sebelumnya. Teriakan balas dendam. Peluncuran novel “O” baru akan dilaksanakan sekitar tiga puluh menit lebih lagi! 

Eka datang. Tak banyak yang menyadarinya, bahkan menurut saya ini lucu, nyeleneh. Salah satu peserta di samping kanan saya bercakap dengan sedikit berbisik. “Itu Eka? Iya kah? Ah bukan kapang..” Bahkan, salah satu diantaranya bertanya langsung kepada saya. Saya hanya menjawab “Iya!”, tetapi mereka tak percaya. Tak hanya dua orang itu, bahkan hampir semua orang. Saya hanya duduk santai. Saya bukan pembaca karya-karya Eka Kurniawan, tetapi saya mengaguminya. Dan saya tahu orang itu benar-benar Eka Kurniawan! 

Book launch “O” dimulai dengan hikmat. Sedikit pengantar dari moderator berbaju mirip julukan kampus saya. Saya sangat menyimak apa yang mas Eka ceritakan. Mulai dari proses kreatif ia menulis “tangan” kan beberapa novelnya (belum punya komputer), riset dengan banyak membaca dan diskusi serta pengalaman-pengalaman menulisnya di awal sebelum dan pasca lulus kuliah. Seru dan menarik!, berbagai kursi kosong terisi dengan kepala-kepala yang mungkin saja dipenuhi pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang novel-novelnya, khususnya “O”. Ada sekitar sepuluh lebih pertanyaan yang dijawab oleh Eka Kurniawan, dan saya yakin masih banyak lagi. Proses diskusi berjalan dengan santai dan ringan, tanpa kopi sayangnya—hingga diakhir kami pun berpisah dengan dua kali jepretan sebagai tanda pertemuan kami yang pertama. Semoga yang lain akan menyusul. Terima kasih mas Eka Kurniawan!   


(*)
Catatan Hari Ke 3 Makassar International Writers Festival (MIWF 2016)
Share:

Related Posts: