Sabtu, 22 Oktober 2016

Ke mana Malam-mu akan Berlabuh?


Ke mana lagi dirimu kau bawa jika keranjang yang kau gandeng itu tak cukup lagi memuat serpihan diri, jiwa dan perasaanmu. Pilihan yang paling mungkin yakni membuangnya jauh-jauh. Atau mungkin kau habiskan dengan memakannya bulat-bulat. Saya tidak yakin bahwa tulisan ini mampu menjawab pertanyaan untuk dirinya sendiri, hanya saja—saya yakin bahwa malam hari di akhir pekan telah menjadi perkara banyak banyak orang. Ke mana malam akan kau bawa? Tak cukup jika hanya berdiam bersama kesendirian? Keluarlah dari kepenatan! Ke mana inginnya malam, jika bukan untuk menghabisi dirinya sendiri. Dijemput fajar?

Hari ini ternyata hari sabtu. Dan malam yang nantinya akan begitu buruk. Saya belum menyadarinya semenjak terbangun dari tidur bodoh di lobi sebuah gedung berlantai dua depan kampus. Tepat di lobi lantai satu, tidur selojoran bersama macam-macam alat, properti dan perlengkapan yang terlibat dalam kegiatan yang kami garap baru-baru ini. Jumat malam, kami baru saja menunaikan Malam Rindu Sastra bersama kawan-kawan, adik-adik, kakak-kakak & para alumni mahasiswa sastra. Kegiatannya lumayan mengundang decak dan kebanggaan tersendiri di mata dan hati kami. Meskipun tak luput dari berbagai derai masalah-masalah anak kecil. Sudah tidak menjadi rahasia umum lagi, di akhir kegiatan yang melibatkan tenaga, pikiran dan perasaan—akan menyisakan beberapa jejak luka beserta masalah yang tampak. Persoalannya adalah ke mana malam itu kita bawa? Mengapa kita tak berjumpa di malam yang sama? Kenapa harus bertemu dan berkenalan dengan orang yang lain hanya persoalan sebatang paku berkarat?

Segmentasi akibat kelelahan saya ternyata salah. Sabtu malam ini, saya punya kesempatan bertemu dan ngobrol bersama penulis buku Garis Waktu & Konspirasi Alam Semesta di sebuah kedai pojok di jalan Adhyaksa, kota Makassar. Pertemuan kami malam ini telah lama direncakan jauh-jauh hari. Pertanyaan sederhana yang sering muncul “Ke mana malammu akan berlabuh?” terjawab tuntas. Malam saya malam ini akan bersandar di sebuah kedai kopi sederhana bernama kedai pojok (karena tempatnya terletak di pojok jalan), bertemu dan berbicara banyak hal persoalan buku, sastra dan dunia kesunyian lainnya.

Lalu, ke mana malam-mu yang lain akan kau bawa? Bisakah aku menjadi malam, meski pagi dan mataharinya selalu bersikap jahat merenggutku. Ah sudahlah dan Akhir kata, “kalian sepupuan yang ke berapa?”

Share: