Ke
mana lagi dirimu kau bawa jika keranjang yang kau gandeng itu tak cukup lagi
memuat serpihan diri, jiwa dan perasaanmu. Pilihan yang paling mungkin yakni
membuangnya jauh-jauh. Atau mungkin kau habiskan dengan memakannya bulat-bulat.
Saya tidak yakin bahwa tulisan ini mampu menjawab pertanyaan untuk dirinya
sendiri, hanya saja—saya yakin bahwa malam hari di akhir pekan telah menjadi
perkara banyak banyak orang. Ke mana malam akan kau bawa? Tak cukup jika hanya
berdiam bersama kesendirian? Keluarlah dari kepenatan! Ke mana inginnya malam,
jika bukan untuk menghabisi dirinya sendiri. Dijemput fajar?
Hari
ini ternyata hari sabtu. Dan malam yang nantinya akan begitu buruk. Saya belum
menyadarinya semenjak terbangun dari tidur bodoh di lobi sebuah gedung berlantai
dua depan kampus. Tepat di lobi lantai satu, tidur selojoran bersama
macam-macam alat, properti dan perlengkapan yang terlibat dalam kegiatan yang
kami garap baru-baru ini. Jumat malam, kami baru saja menunaikan Malam Rindu
Sastra bersama kawan-kawan, adik-adik, kakak-kakak & para alumni mahasiswa
sastra. Kegiatannya lumayan mengundang decak dan kebanggaan tersendiri di mata
dan hati kami. Meskipun tak luput dari berbagai derai masalah-masalah anak
kecil. Sudah tidak menjadi rahasia umum lagi, di akhir kegiatan yang melibatkan
tenaga, pikiran dan perasaan—akan menyisakan beberapa jejak luka beserta
masalah yang tampak. Persoalannya adalah ke mana malam itu kita bawa? Mengapa
kita tak berjumpa di malam yang sama? Kenapa harus bertemu dan berkenalan dengan
orang yang lain hanya persoalan sebatang paku berkarat?
Segmentasi
akibat kelelahan saya ternyata salah. Sabtu malam ini, saya punya kesempatan
bertemu dan ngobrol bersama penulis buku Garis Waktu & Konspirasi Alam
Semesta di sebuah kedai pojok di jalan Adhyaksa, kota Makassar. Pertemuan kami
malam ini telah lama direncakan jauh-jauh hari. Pertanyaan sederhana yang
sering muncul “Ke mana malammu akan berlabuh?” terjawab tuntas. Malam saya malam
ini akan bersandar di sebuah kedai kopi sederhana bernama kedai pojok (karena
tempatnya terletak di pojok jalan), bertemu dan berbicara banyak hal persoalan
buku, sastra dan dunia kesunyian lainnya.
Lalu,
ke mana malam-mu yang lain akan kau bawa? Bisakah aku menjadi malam, meski pagi
dan mataharinya selalu bersikap jahat merenggutku. Ah sudahlah dan Akhir
kata, “kalian sepupuan yang ke berapa?”