Selasa, 25 Oktober 2016

Surat untuk Gadis bertubuh Kecil

Sumber : @fbydhmsdrm_ *IG
; f

Terlalu sedikit manusia mampu menentukan satu tempat diantara dua ruang kaca bernama cinta & kagum. Keduanya sangat kasihan melihat kepayahan manusia—hampir sama ketika menyatakan satu perasaan yang sama kepada dua manusia yang bernasib sama. Dewasalah!

Kau bukan dewa yang salah.

Mungkin sejauh ini, saya masih pura-pura tidak tahu arah untuk berjalan menjauh. Apalagi mendekatkan diri dengan mengubah dirimu menjadi tujuan yang baru. Atau melampaui hasrat menggali arti dibalik senyumanmu yang padat itu. Di lembah pipimu yang hijau, sebuah danau kecil seperti lesung pipit—aku ingin menjadi pendaki yang selalu gagal menjangkau puncak, dan memilih menghempaskan tubuh ke danau yang dangkal itu. Aku ingin tenggelam jauh ke dalam dirimu.

Tak ada perjalanan yang benar-benar tiba sebelum salah satu dari kita berani meninggalkan atau ditinggalkan. Sudah lumayan lama aku tidak menulis surat rahasia pengungkap perasaan oleh ulah usia, dari isi kepala hati seorang manusia. Mungkin saja yang kau baca bukanlah isi yang sebenarnya. Atau bukanlah maksud yang seharusnya. Jangan percaya kepada kata-kata yang mudah kau pahami, yang tak sulit kau terima—percayalah demi Tuhan yang tak konyol, percayalah pada apapun yang membuatmu ragu demi meyakininya.

Ketika pertemuan itu terjadi, aku meyakini bahwa semesta untuk kesekian kalinya acuh pada denyut nadi di tangan kananku. Ketika pembuka dari satu pertemuan adalah apa yang menjadi masalahmu ketika itu, aku meragukan bahwa Tuhan sengaja membuatmu kelihatan cantik, sekaligus manis berbaur wajah panik ketika sore itu kau mencetak puluhan pucuk surat undangan. Semakin kau berderu, perlahan demi perlahan nafasku memburu. Entah pemburu macam apa. Aku dengan lemahnya melepas pertahanan diri yang selama ini melekat pada tubuhku untuk membuatnya nampak kuat dan tegar. Akumu yang tanpa malu-malu, justru menerbangkan masa lalu yang terus melayang-melayang seperti layangan dengan benang ingatan yang terus saja merajut satu peristiwa yang telah ikhlas kulepas bersama angin. Mengapa ketiadaan melatihku setiap saat sebagai penipu yang cukup pintar membodohi dirinya sendiri?

Namamu diawali huruf yang sama diakhir kata dari dirinya sendiri. Satu-satunya huruf yang sulit kuucap dengan spontan. Satu-satunya huruf yang sukar kubedakan dengan bunyi beberapa saudara seperjuangannya. Satu-satunya huruf yang membuatku minder belajar bahasa. Aku tidak heran mengapa matakuliah fonologiku bernilai C. Melihatmu seperti kembali ke masa silam, ia mampu menyulam dirinya sendiri tanpa kau menelatenkan diri memasukkan benang ke lubang jarum yang sangat sempit. Seperti mengembalikan cara bertutur anak kecil yang tak mendapat jajan es krim. Aku menuduh diri bahwa inilah hukuman yang pantas untuk sebuah pertemuan tanpa perkenalan. Dan dilanjutkan dengan saling mempelajari diri tanpa harus berbagi apa yang membuat kita berada di balik tirai yang sama. Sampai di sini, saya masih ingin melanjutkan sore dengan membiarkan mesin pencetak kertas itu tak berjalan baik, agar supaya pertemuan ini tidak berjalan dengan benar-benar baik. Bukankah kebaikan diciptakan agar kejahatan bisa mengubah diri? Seperti kerangkeng atau keranda yang hanya menghantar tubuh tanpa keyakinan ke liang kepercayaan. Aku meragu.

Aku percaya bahwa setelah tulisan ini kau baca, buku yang sempat aku berikan baru-baru ini tidak hanya sebatas hadiah agar kau bisa rajin membaca. Atau mencari informasi seputar kebiasaan buruk yang sering menggerayangi sosok sepertiku. Ketika berada di kedai kopi, aku lupa bahwa ingatanku tentang dirimu seperti buku puisi lama yang terlipat. Kulihat tepi cangkir kopiku, dan kuingat kau. Dengan keterbatasanku yang sama dengan dinding kejaiman, saya menulis ini agar kau mengerti—perasaan bisa terasa lebih lucu dari sekadar candaan, dan dapat begitu serius dari sebatas jatuh cinta. Percayalah!


Makassar—2016                                                    
Share: