Sumber : @fbydhmsdrm_ *IG |
; f
Terlalu
sedikit manusia mampu menentukan satu tempat diantara dua ruang kaca bernama
cinta & kagum. Keduanya sangat kasihan melihat kepayahan manusia—hampir
sama ketika menyatakan satu perasaan yang sama kepada dua manusia yang bernasib
sama. Dewasalah!
Kau
bukan dewa yang salah.
Mungkin sejauh ini, saya masih
pura-pura tidak tahu arah untuk berjalan menjauh. Apalagi mendekatkan diri
dengan mengubah dirimu menjadi tujuan yang baru. Atau melampaui hasrat menggali
arti dibalik senyumanmu yang padat itu. Di lembah pipimu yang hijau, sebuah
danau kecil seperti lesung pipit—aku ingin menjadi pendaki yang selalu gagal
menjangkau puncak, dan memilih menghempaskan tubuh ke danau yang dangkal itu.
Aku ingin tenggelam jauh ke dalam dirimu.
Tak ada perjalanan yang
benar-benar tiba sebelum salah satu dari kita berani meninggalkan atau
ditinggalkan. Sudah lumayan lama aku tidak menulis surat rahasia pengungkap
perasaan oleh ulah usia, dari isi kepala hati seorang manusia. Mungkin saja
yang kau baca bukanlah isi yang sebenarnya. Atau bukanlah maksud yang
seharusnya. Jangan percaya kepada kata-kata yang mudah kau pahami, yang tak
sulit kau terima—percayalah demi Tuhan yang tak konyol, percayalah pada apapun
yang membuatmu ragu demi meyakininya.
Ketika pertemuan itu terjadi, aku
meyakini bahwa semesta untuk kesekian kalinya acuh pada denyut nadi di tangan
kananku. Ketika pembuka dari satu pertemuan adalah apa yang menjadi masalahmu
ketika itu, aku meragukan bahwa Tuhan sengaja membuatmu kelihatan cantik,
sekaligus manis berbaur wajah panik ketika sore itu kau mencetak puluhan pucuk
surat undangan. Semakin kau berderu, perlahan demi perlahan nafasku memburu. Entah
pemburu macam apa. Aku dengan lemahnya melepas pertahanan diri yang selama ini
melekat pada tubuhku untuk membuatnya nampak kuat dan tegar. Akumu yang tanpa malu-malu,
justru menerbangkan masa lalu yang terus melayang-melayang seperti layangan
dengan benang ingatan yang terus saja merajut satu peristiwa yang telah ikhlas
kulepas bersama angin. Mengapa ketiadaan melatihku setiap saat sebagai penipu
yang cukup pintar membodohi dirinya sendiri?
Namamu diawali huruf yang sama
diakhir kata dari dirinya sendiri. Satu-satunya huruf yang sulit kuucap dengan
spontan. Satu-satunya huruf yang sukar kubedakan dengan bunyi beberapa saudara
seperjuangannya. Satu-satunya huruf yang membuatku minder belajar bahasa. Aku
tidak heran mengapa matakuliah fonologiku bernilai C. Melihatmu seperti kembali
ke masa silam, ia mampu menyulam dirinya sendiri tanpa kau menelatenkan diri memasukkan
benang ke lubang jarum yang sangat sempit. Seperti mengembalikan cara bertutur
anak kecil yang tak mendapat jajan es krim. Aku menuduh diri bahwa inilah
hukuman yang pantas untuk sebuah pertemuan tanpa perkenalan. Dan dilanjutkan
dengan saling mempelajari diri tanpa harus berbagi apa yang membuat kita berada
di balik tirai yang sama. Sampai di sini, saya masih ingin melanjutkan sore
dengan membiarkan mesin pencetak kertas itu tak berjalan baik, agar supaya pertemuan
ini tidak berjalan dengan benar-benar baik. Bukankah kebaikan diciptakan agar
kejahatan bisa mengubah diri? Seperti kerangkeng atau keranda yang hanya
menghantar tubuh tanpa keyakinan ke liang kepercayaan. Aku meragu.
Aku percaya bahwa setelah tulisan
ini kau baca, buku yang sempat aku berikan baru-baru ini tidak hanya sebatas
hadiah agar kau bisa rajin membaca. Atau mencari informasi seputar kebiasaan
buruk yang sering menggerayangi sosok sepertiku. Ketika berada di kedai kopi,
aku lupa bahwa ingatanku tentang dirimu seperti buku puisi lama yang terlipat.
Kulihat tepi cangkir kopiku, dan kuingat kau. Dengan keterbatasanku yang sama
dengan dinding kejaiman, saya menulis ini agar kau mengerti—perasaan bisa
terasa lebih lucu dari sekadar candaan, dan dapat begitu serius dari sebatas
jatuh cinta. Percayalah!
Makassar—2016