Seolah manusia-manusia dipersulit
oleh dua hal yang sangat mudah ia kenali, tetapi seringkala rumit untuk
diterima; musim dan cuaca yang berasosiasi menjadi labirin penebar kesesatan,
hingga berujung kau hilang ditelannya dari situasi yang terjadi di luar
dirinya. Saya lalu kembali mengingat penggalan puisi; punggung menjauhkan kita, seperti cuaca gagal dibaca musim—mengajarkan aku
cara kehilangan yang menyakiti dengan perasaan-perasaan memiliki. Tak
ubahnya seperti perasaan dan memilki, apakah kita percaya situasi; musim
beserta cuaca dari luar tubuh lebih jahat, rumit serta sukar kau kendalikan
dibanding jika kedua hal itu berasal dari kedalaman dirimu sendiri. Percayalah,
berakhir pekan yang sesuai tak segampang meminum susu buatan pacar di sore hari.
Kau akan tidak percaya ia akan mencampur susu itu dengan susu yang berasal dari
susunya yang di dada itu.
Pastikan dirimu tersesat, yakinlah
bahwa kau betul-betul menginginkan kesesatan itu. Di setiap kesempatan, di
manapun tempat yang akan saya sambangi—komputer jinjing selalu tidak pernah
saya lupakan mendiami tas ransel saya. Termasuk beberapa buku-buku sastra yang
tergolong tipis. Mereka lebih penting dari apapun, termasuk kau atau
perlengkapan mandi yang ruwet sekali itu. Tak heran jika English Camp kali ini,
‘hanya’ sikat gigi dan pasta yang menjadi perlengkapan mandi saya. Dan komputer
jinjing biasanya saya bawa ke mana-mana, kali ini saya biarkan menghangatkan
diri di kamar kontrakan.
Termasuk ketika di akhir pekan
ini, seperti yang saya katakan tadi—memilih akhir pekan tak segampang menekan
tubuh mantanmu setelah menenggak minuman keras. Saya diperhadapkan dengan tiga
bahkan empat agenda yang ke semuanya punya kesamaan dan perbedaan yang cukup
romantis untuk saya. Persamaannya adalah semuanya sangat saya nantikan. Intinya
penting bagi saya, paling tidak dapat membuat akhir pekan saya lebih lelah dan
penuh warna lagi. Perbedaannya adalah, mungkin semua agenda itu punya ceritanya
masing-masing.
Menjelang tahun berakhir,
kegiatan English Camp atau kemah bahasa Inggris kembali dilaksanakan oleh
teman-teman di kampus. Harapannya cukup sederhana kenapa kegiatan seperti ini
dilaksanakan semenjak dua tahun lalu. Saya menulis di akun instagram saya
begini; ..wadah ajaib yang menyatukan
semua kalangan ‘Englisher’ yang seringkala terhalang oleh keadaan kampus dengan
segala tetekbengeknya. Ya! Menurut saya seperti itu. Boleh kau menambahkan
atau menguranginya jika saya salah dan kau berkenan. atau jika kau pernah mendengar
kalimat-kalimat seperti; Increase your
speaking ability atau closer to
nature through English, itu juga tidak salah. Jadi jangan menjadi manusia
yang suka menyalahkan siapa-siapa, atau bahkan apa apa. Sekali lagi, itu hanya
kemasan. Sebagai bungkusan, tentu kita perlu menyadari diri bahwa kemasanlah
yang lebih penting dan punya nilai jual dibanding isi. English Camp punya
ceritanya sendiri, ia tak pernah peduli apa yang akan terjadi sebelum atau sesudah
kau menjadi salah satu peramai di dalamnya terhadap kemampuan berbahasa
Inggrismu. Tak perlu terhenyak, kenapa juga saya menulis catatan tangan ini.
Saya puas dengan alasannya yang tersirat mengapa kegiatan ini kembali
dilaksanakan. Maka tak heran, ditemani cuaca yang dingin di malam hari, beserta
api unggun hangat berukuran besar di depan tenda adik-adik saya di sastra
Inggris—dikelilingi para peramai yang bersenang-senang bersama, di malam yang mempertemukan
kita, saya selalu terjerembab dalam keadaan yang aneh, saya bertemu dan
bercerita banyak hal kepada adik-adik saya yang sejatinya tak pernah saya
pedulikan ketika berada di dalam kampus. Inilah kebaikan alam yang ia berikan
padamu, dik.
Kita seperti menempuh jalan yang
sama ketika salah satu diantara kita, dulu pernah membenci kesepian,
kesendirian, dan bahkan kesesatan. Selain karena ingin melihat langsung
adik-adik saya berkompetisi di tengah-tengah alam beserta musimnya yang talekang—saya memenuhi panggilan hati
dan pesan yang bernada ancaman anak kecil jika saya tak juga datang di hutan
pinus itu. “Apa yang kau bawa? Kenapa kau tidak membawa ransel seperti
biasanya?”, saya tidak berencana atau berniat membawa apapun yang memaksa
kepala dan perasaan saya memikirkannya lebih jauh dan serius. Saya hanya membawa
rindu, di dalamnya ada perasaan yang benar-benar ingin memastikan keadaanmu
baik-baik saja. Apalagi beberapa hari sebelumnya, kau mendadak terserang demam,
demam yang kujawab atas kelelahanmu mempersiapkan segala kebutuhan dapur dan
perut orang-orang di sana. Mendengarnya, iya—saya salut. Kau kuat, dik.
Saban hari, di malam yang begitu
dingin—saya belum bertemu, dan saya kembali terserang insomnia bersaput
dinginnya alam dan malam. Apalagi memastikan keadaanmu dengan harapan yang
baik-baik saja. Seorang teman mengabari bahwa ia telah bertemu denganmu. Saya
senang mendengarnya. Dingin yang berlalu, di kejauhan yang cukup dijangkau
mataku, saya melihatmu. Saya memastikan bahwa kaos yang dititipkan kepadamu
bisa saya dapatkan. Mengingat bahwa saya hanya membawa satu, kaos yang melekat
di badanku. Kita bertemu. Terlibat beberapa kata, dan saling menikam mata. Sesekali
saling memeluk melalui hawa dingin Ternyata kau baik-baik saja. Kau tersenyum,
dan pergi ditelan langkah kakimu sendiri. Saya legah.
Sedikitpun, saya tidak berniat
ingin mengganggu tanggungjawabmu. Semoga perempuan ini mengerti. Kau menempuh
jalan memutar yang jauh, hanya untuk memastikan dirimu tersesat. Perasaan
kadang seperti itu. Dan kita entah seperti pinus-pinus itu, atau bahkan
kabut-kabut yang di sana—kita perlu tersesat, untuk memastikan bahwa kita
betul-betul saling merasakan.
Bissoloro,
Gowa 2016