Minggu, 30 Oktober 2016

Memastikan dirimu tersesat




Seolah manusia-manusia dipersulit oleh dua hal yang sangat mudah ia kenali, tetapi seringkala rumit untuk diterima; musim dan cuaca yang berasosiasi menjadi labirin penebar kesesatan, hingga berujung kau hilang ditelannya dari situasi yang terjadi di luar dirinya. Saya lalu kembali mengingat penggalan puisi; punggung menjauhkan kita, seperti cuaca gagal dibaca musim—mengajarkan aku cara kehilangan yang menyakiti dengan perasaan-perasaan memiliki. Tak ubahnya seperti perasaan dan memilki, apakah kita percaya situasi; musim beserta cuaca dari luar tubuh lebih jahat, rumit serta sukar kau kendalikan dibanding jika kedua hal itu berasal dari kedalaman dirimu sendiri. Percayalah, berakhir pekan yang sesuai tak segampang meminum susu buatan pacar di sore hari. Kau akan tidak percaya ia akan mencampur susu itu dengan susu yang berasal dari susunya yang di dada itu.  

Pastikan dirimu tersesat, yakinlah bahwa kau betul-betul menginginkan kesesatan itu. Di setiap kesempatan, di manapun tempat yang akan saya sambangi—komputer jinjing selalu tidak pernah saya lupakan mendiami tas ransel saya. Termasuk beberapa buku-buku sastra yang tergolong tipis. Mereka lebih penting dari apapun, termasuk kau atau perlengkapan mandi yang ruwet sekali itu. Tak heran jika English Camp kali ini, ‘hanya’ sikat gigi dan pasta yang menjadi perlengkapan mandi saya. Dan komputer jinjing biasanya saya bawa ke mana-mana, kali ini saya biarkan menghangatkan diri di kamar kontrakan.

Termasuk ketika di akhir pekan ini, seperti yang saya katakan tadi—memilih akhir pekan tak segampang menekan tubuh mantanmu setelah menenggak minuman keras. Saya diperhadapkan dengan tiga bahkan empat agenda yang ke semuanya punya kesamaan dan perbedaan yang cukup romantis untuk saya. Persamaannya adalah semuanya sangat saya nantikan. Intinya penting bagi saya, paling tidak dapat membuat akhir pekan saya lebih lelah dan penuh warna lagi. Perbedaannya adalah, mungkin semua agenda itu punya ceritanya masing-masing.


Menjelang tahun berakhir, kegiatan English Camp atau kemah bahasa Inggris kembali dilaksanakan oleh teman-teman di kampus. Harapannya cukup sederhana kenapa kegiatan seperti ini dilaksanakan semenjak dua tahun lalu. Saya menulis di akun instagram saya begini; ..wadah ajaib yang menyatukan semua kalangan ‘Englisher’ yang seringkala terhalang oleh keadaan kampus dengan segala tetekbengeknya. Ya! Menurut saya seperti itu. Boleh kau menambahkan atau menguranginya jika saya salah dan kau berkenan. atau jika kau pernah mendengar kalimat-kalimat seperti; Increase your speaking ability atau closer to nature through English, itu juga tidak salah. Jadi jangan menjadi manusia yang suka menyalahkan siapa-siapa, atau bahkan apa apa. Sekali lagi, itu hanya kemasan. Sebagai bungkusan, tentu kita perlu menyadari diri bahwa kemasanlah yang lebih penting dan punya nilai jual dibanding isi. English Camp punya ceritanya sendiri, ia tak pernah peduli apa yang akan terjadi sebelum atau sesudah kau menjadi salah satu peramai di dalamnya terhadap kemampuan berbahasa Inggrismu. Tak perlu terhenyak, kenapa juga saya menulis catatan tangan ini. Saya puas dengan alasannya yang tersirat mengapa kegiatan ini kembali dilaksanakan. Maka tak heran, ditemani cuaca yang dingin di malam hari, beserta api unggun hangat berukuran besar di depan tenda adik-adik saya di sastra Inggris—dikelilingi para peramai yang bersenang-senang bersama, di malam yang mempertemukan kita, saya selalu terjerembab dalam keadaan yang aneh, saya bertemu dan bercerita banyak hal kepada adik-adik saya yang sejatinya tak pernah saya pedulikan ketika berada di dalam kampus. Inilah kebaikan alam yang ia berikan padamu, dik.

Kita seperti menempuh jalan yang sama ketika salah satu diantara kita, dulu pernah membenci kesepian, kesendirian, dan bahkan kesesatan. Selain karena ingin melihat langsung adik-adik saya berkompetisi di tengah-tengah alam beserta musimnya yang talekang—saya memenuhi panggilan hati dan pesan yang bernada ancaman anak kecil jika saya tak juga datang di hutan pinus itu. “Apa yang kau bawa? Kenapa kau tidak membawa ransel seperti biasanya?”, saya tidak berencana atau berniat membawa apapun yang memaksa kepala dan perasaan saya memikirkannya lebih jauh dan serius. Saya hanya membawa rindu, di dalamnya ada perasaan yang benar-benar ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja. Apalagi beberapa hari sebelumnya, kau mendadak terserang demam, demam yang kujawab atas kelelahanmu mempersiapkan segala kebutuhan dapur dan perut orang-orang di sana. Mendengarnya, iya—saya salut. Kau kuat, dik.

Saban hari, di malam yang begitu dingin—saya belum bertemu, dan saya kembali terserang insomnia bersaput dinginnya alam dan malam. Apalagi memastikan keadaanmu dengan harapan yang baik-baik saja. Seorang teman mengabari bahwa ia telah bertemu denganmu. Saya senang mendengarnya. Dingin yang berlalu, di kejauhan yang cukup dijangkau mataku, saya melihatmu. Saya memastikan bahwa kaos yang dititipkan kepadamu bisa saya dapatkan. Mengingat bahwa saya hanya membawa satu, kaos yang melekat di badanku. Kita bertemu. Terlibat beberapa kata, dan saling menikam mata. Sesekali saling memeluk melalui hawa dingin Ternyata kau baik-baik saja. Kau tersenyum, dan pergi ditelan langkah kakimu sendiri. Saya legah.

Sedikitpun, saya tidak berniat ingin mengganggu tanggungjawabmu. Semoga perempuan ini mengerti. Kau menempuh jalan memutar yang jauh, hanya untuk memastikan dirimu tersesat. Perasaan kadang seperti itu. Dan kita entah seperti pinus-pinus itu, atau bahkan kabut-kabut yang di sana—kita perlu tersesat, untuk memastikan bahwa kita betul-betul saling merasakan.  



Bissoloro, Gowa 2016
  


Share: