Senin, 14 November 2016

Pembuangan Perasaan

“Puisi sudah seperti kapal. Tidak kah kau mengerti bahwa berenang jauh berbeda dengan menyelam, dan kau memaksaku melakukan keduanya. Puisi adalah laut yang kupilih”.


Saat ini saya sudah cukup sadar tentang batas. Angin membatasi ingin dan dan dingin. Debar membatasi butuh dan ingin. Kepercayaan membatasi agama pilihan orang tua dan diam-diam yang kita percayai. Diam membatasi marah dan benci. Perasaan membatasi kita apa adanya dan tak punya apa-apa. Separuh dari kita punya satu batas yang menjelaskan seluruhnya. Sedikit banyaknya sudah diambang peringatan-peringatan kecil dari dimensi hidup yang kian membesar, diingatkan oleh macam-macam rasa sakit dari segala pilihan-resiko diam, hingga dipaksa menyelam ke samudera yang tak mengakui lautnya. Arti pantai, laut begitupun samuderanya mengajari saya banyak hal. Terkait melibatkan diri saya dalam berbagai macam filosofi hidup yang sudah ada. Salah satunya, ketika sore itu saya berdiri dan sendiri di pinggir pantai, Dato Majene Sulawesi Barat—untuk pertama kalinya saya seperti melihat diri saya yang jauh, di masa yang lalu, seperti melihat diri kita jauh dari daratan, terombang-ambing, sendiri mencari jati dan diri yang terpisah ruang dan waktu yang berasosiasi menjadi kesalahpahaman kata-kata.

Dua hari menjelajahi dua kota di provinsi paling bungsu.—Kota Polewali Mandar dan Majene, Sulawesi Barat. Alasan utamanya satu, karena kemuakan di kota tempat saya menulis catatan ini. Meskipun banyak sekali kesibukan, saya selalu berusaha menyempatkan waktu untuk satu waktu yang tak pernah sempat di mata orang-orang sibuk. Banyak kata-kata dengan bayangannya berbicara kepada saya, bahwa kau masih cukup muda melakukan banyak hal. Ya, saya masih cukup muda melakukan sedikitnya tiga hal sederhana; membaca banyak jenis buku-buku, menulis bukan kepada siapa siapa dan menciptakan jalan sunyi menuju pusat keramaian yang tidak dibuat-buat.

Sejak saya kelas 5 SD (Tahun 2005), tiga kabupaten (Majene, Mamuju dan Polewali-Mamasa) resmi terpisah dari provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Mungkin lebih tepatnya memisahkan diri dengan beberapa alasan dan teramat disengaja. Salah satu dari alasan itu seperti jarak yang terlampau jauh dengan Ibu kota Sulsel, yakni Makassar. Makassar menjadi pusat pemerintahan, dan mungkin saja eks wilayah Sulsel itu merasa cukup banyak tidak mendapati perhatian yang serius. Maka dari itu, untuk jangka waktu cukup lama, daerah ini sempat menjadi salah satu tempat yang paling terisolir atau seperti terlupakan di Sulsel. Perhatian adalah hal yang sederhana dari kepekaan. Jika peka saja tak terbuka, maka habislah yang selama ini berharap padamu.

Tuntutan memisahkan diri dari Sulsel sebenarnya sudah menggema sebelum Indonesia merdeka. Era reformasi dan disahkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 masyarakat wilayah eks Afdelling Mandar ini, kemudian menggelorakan kembali perjuangan dari tiga kabupaten di atas untuk menjadi provinsi. Saya tak begitu larut setelah membaca sejarah mereka memisahkan diri dari Sulsel. Dan tahu alasan-alasan pengikat bulatnya tekad untuk berpisah berpisah. Karena apapun yang bersatu, seiring waktu dapat saja berjauhan, berpisah atau apapun namanya yang mengindikasikan kehilangan. Tentu saja, tak ada jarak yang tidak menyisakan apapun selain duka, lara ataupun nestapa.    

Ini kali pertama saya ke tanah mandar. Olehnya kesempatan ini tak akan berniat kusia-siakan begitu saja. Ya, kau tahu—meski kenyataan di tempat saya kuliah, teman-teman dari tanah itu sudah sempat menjadi teman saya. Tentunya berkunjung langsung adalah menyambangi kenyataan yang sebenarnya. Selama kurang dari sepuluh jam waktu kami habiskan menempuh perjalanan yang dimulai pukul setengah dua dini hari. Atas dasar lelah, kami memutuskan mengistirahatkan kelelahan di tanah Lasinrang. Rumah salah satu teman yang berada di bagian depan mobil. Jika boleh terlampau jujur di catatan ini, sebenarnya kami tak begitu merencanakan matang-matang hal apa saja yang akan kami lakukan setelah tiba di sana—selain hanya ingin menjenguk kerinduan beberapa teman yang tengah melaksanakan pengabdiannya, rencana sederhannya yakni merancang satu kejutan kecil buat salah satu teman atas hari ulangtahunnya. Ya, hanya itu di kepala saya malam itu. Saya lebih banyak menghabiskan waktu tidur di dalam mobil sewaan, dan tak lagi melakukan apa-apa—selain sesekali membaca kekecewaan yang lima jam sebelumnya masuk di ponsel saya. Ya! Kau tak datang di acara yang untuk saya itu penting. Di perjalanan menuju tempat eks terisolir ini, saya menegaskan diri ingin terisolasi dan tak ingin bertemu dengan kau. Seraya menyadari diri bahwa mengikuti kemauanmu ternyata perasaan yang salah tanpa memikirkan hal yang selama ini kubenarkan sendiri. Kau benar atas perasaanmu sendiri, dan saya salah menafsirkan perasaanku sendiri. Kita memang bertemu ketika di kepala saya gelisah menentukan judul puisi malam itu. Kupilih namamu sebagai judulnya. Tapi sepertinya kau tak pernah memilihku sekali dan sedikitpun sebagaimana akhir puisi yang kusadari. Terima kasih!

Satu hal yang pasti bahwa kenyataan dan sejarah tanah mandar ikut mengalir di dada saya. Menghambat beberapa arus-arus kecil perasaan saya tentang harapan besar agar kau datang malam itu. Saya berencana pergi untuk waktu yang tidak pernah kau kenali di kepalamu. Tapi karena alasan yang lain, dua hari menjadi waktu cukup membuang perasaan di tempatnya. Membuang kegelisahanku yang selama ini tenang di samuderanya. Saya seperti berdiri dan melihat kau. Kau seperti pantai Dato, berombak dengan jelas, menampar dan menjilat pantai dengan bahagia—namun sedikitpun angin tak berhembus di sana. Ya, kau seperti itu! Saya mencintaimu seperti angin dan pantai yang sulit dinyatakan ombak.

Membuang senyummu jauh-jauh dengan sauh yang sekali tersenyum lalu pergi entah dengan apa. Provinsi ini berasosiasi menjadi tempat pembuangan keyakinan, atas dasar ia pernah berada dalam keadaan sulit, memisahkan diri—untuk kemudian terisolasi menjadi diri yang baru. Saya pun ingin pulang dengan perasaan lain.  


Share: