“Puisi
sudah seperti kapal. Tidak kah kau mengerti bahwa berenang jauh berbeda dengan
menyelam, dan kau memaksaku melakukan keduanya. Puisi adalah laut yang kupilih”.
Saat ini saya sudah cukup sadar
tentang batas. Angin membatasi ingin dan dan dingin. Debar membatasi butuh dan
ingin. Kepercayaan membatasi agama pilihan orang tua dan diam-diam yang kita percayai. Diam membatasi marah dan
benci. Perasaan membatasi kita apa adanya dan tak punya apa-apa. Separuh dari
kita punya satu batas yang menjelaskan seluruhnya. Sedikit banyaknya sudah diambang
peringatan-peringatan kecil dari dimensi hidup yang kian membesar, diingatkan
oleh macam-macam rasa sakit dari segala pilihan-resiko diam, hingga dipaksa
menyelam ke samudera yang tak mengakui lautnya. Arti pantai, laut begitupun
samuderanya mengajari saya banyak hal. Terkait melibatkan diri saya dalam
berbagai macam filosofi hidup yang sudah ada. Salah satunya, ketika sore itu saya
berdiri dan sendiri di pinggir pantai, Dato Majene Sulawesi Barat—untuk pertama
kalinya saya seperti melihat diri saya yang jauh, di masa yang lalu, seperti
melihat diri kita jauh dari daratan, terombang-ambing, sendiri mencari jati dan
diri yang terpisah ruang dan waktu yang berasosiasi menjadi kesalahpahaman
kata-kata.
Dua hari menjelajahi dua kota di
provinsi paling bungsu.—Kota Polewali Mandar dan Majene, Sulawesi Barat. Alasan
utamanya satu, karena kemuakan di kota tempat saya menulis catatan ini. Meskipun
banyak sekali kesibukan, saya selalu berusaha menyempatkan waktu untuk satu
waktu yang tak pernah sempat di mata orang-orang sibuk. Banyak kata-kata dengan
bayangannya berbicara kepada saya, bahwa kau masih cukup muda melakukan banyak
hal. Ya, saya masih cukup muda melakukan sedikitnya tiga hal sederhana; membaca
banyak jenis buku-buku, menulis bukan kepada siapa siapa dan menciptakan jalan
sunyi menuju pusat keramaian yang tidak dibuat-buat.
Sejak saya kelas 5 SD (Tahun
2005), tiga kabupaten (Majene, Mamuju dan Polewali-Mamasa) resmi terpisah dari
provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Mungkin lebih tepatnya memisahkan diri
dengan beberapa alasan dan teramat disengaja. Salah satu dari alasan itu
seperti jarak yang terlampau jauh dengan Ibu kota Sulsel, yakni Makassar. Makassar
menjadi pusat pemerintahan, dan mungkin saja eks wilayah Sulsel itu merasa
cukup banyak tidak mendapati perhatian yang serius. Maka dari itu, untuk jangka
waktu cukup lama, daerah ini sempat menjadi salah satu tempat yang paling
terisolir atau seperti terlupakan di Sulsel. Perhatian adalah hal yang
sederhana dari kepekaan. Jika peka saja tak terbuka, maka habislah yang selama
ini berharap padamu.
Tuntutan memisahkan diri dari
Sulsel sebenarnya sudah menggema sebelum Indonesia merdeka. Era reformasi dan
disahkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 masyarakat wilayah eks Afdelling Mandar ini,
kemudian menggelorakan kembali perjuangan dari tiga kabupaten di atas untuk
menjadi provinsi. Saya tak begitu larut setelah membaca sejarah mereka
memisahkan diri dari Sulsel. Dan tahu alasan-alasan pengikat bulatnya tekad
untuk berpisah berpisah. Karena apapun yang bersatu, seiring waktu dapat saja
berjauhan, berpisah atau apapun namanya yang mengindikasikan kehilangan. Tentu
saja, tak ada jarak yang tidak menyisakan apapun selain duka, lara ataupun
nestapa.
Ini kali pertama saya ke tanah
mandar. Olehnya kesempatan ini tak akan berniat kusia-siakan begitu saja. Ya,
kau tahu—meski kenyataan di tempat saya kuliah, teman-teman dari tanah itu
sudah sempat menjadi teman saya. Tentunya berkunjung langsung adalah
menyambangi kenyataan yang sebenarnya. Selama kurang dari sepuluh jam waktu
kami habiskan menempuh perjalanan yang dimulai pukul setengah dua dini hari. Atas
dasar lelah, kami memutuskan mengistirahatkan kelelahan di tanah Lasinrang. Rumah
salah satu teman yang berada di bagian depan mobil. Jika boleh terlampau jujur
di catatan ini, sebenarnya kami tak begitu merencanakan matang-matang hal apa
saja yang akan kami lakukan setelah tiba di sana—selain hanya ingin menjenguk
kerinduan beberapa teman yang tengah melaksanakan pengabdiannya, rencana
sederhannya yakni merancang satu kejutan kecil buat salah satu teman atas hari
ulangtahunnya. Ya, hanya itu di kepala saya malam itu. Saya lebih banyak
menghabiskan waktu tidur di dalam mobil sewaan, dan tak lagi melakukan apa-apa—selain
sesekali membaca kekecewaan yang lima jam sebelumnya masuk di ponsel saya. Ya! Kau
tak datang di acara yang untuk saya itu penting. Di perjalanan menuju tempat
eks terisolir ini, saya menegaskan diri ingin terisolasi dan tak ingin bertemu
dengan kau. Seraya menyadari diri bahwa mengikuti kemauanmu ternyata perasaan
yang salah tanpa memikirkan hal yang selama ini kubenarkan sendiri. Kau benar
atas perasaanmu sendiri, dan saya salah menafsirkan perasaanku sendiri. Kita
memang bertemu ketika di kepala saya gelisah menentukan judul puisi malam itu.
Kupilih namamu sebagai judulnya. Tapi sepertinya kau tak pernah memilihku
sekali dan sedikitpun sebagaimana akhir puisi yang kusadari. Terima kasih!
Satu hal yang pasti bahwa
kenyataan dan sejarah tanah mandar ikut mengalir di dada saya. Menghambat beberapa
arus-arus kecil perasaan saya tentang harapan besar agar kau datang malam itu. Saya
berencana pergi untuk waktu yang tidak pernah kau kenali di kepalamu. Tapi
karena alasan yang lain, dua hari menjadi waktu cukup membuang perasaan di
tempatnya. Membuang kegelisahanku yang selama ini tenang di samuderanya. Saya
seperti berdiri dan melihat kau. Kau seperti pantai Dato, berombak dengan
jelas, menampar dan menjilat pantai dengan bahagia—namun sedikitpun angin tak
berhembus di sana. Ya, kau seperti itu! Saya mencintaimu seperti angin dan
pantai yang sulit dinyatakan ombak.
Membuang senyummu jauh-jauh
dengan sauh yang sekali tersenyum lalu pergi entah dengan apa. Provinsi ini
berasosiasi menjadi tempat pembuangan keyakinan, atas dasar ia pernah berada
dalam keadaan sulit, memisahkan diri—untuk kemudian terisolasi menjadi diri
yang baru. Saya pun ingin pulang dengan perasaan lain.