*** |
Tidurlah
sebab ceritaku sedang ingin berdongeng. Ia ingin menemanimu di tengah-tengah
bantal, guling dan selimutmu yang nyaman. Doa-doa tidur kau lantunkan lewat
penjuru hujan yang terus berburu kehangatan. Ia lelah, kemudian beralih menuju
pipi dan juga matamu. Aku ingin menjadi biduk, dan kepadamu yang pernah
membuatku ingin kukirimkan surat lewat doa-doa orang tiada. Apa yang selama ini
kita lakukan adalah hal yang tak pernah dapat diartikan kehilangan. Apa yang
akhirnya membuat kita merasa demikian adalah sesuatu yang sering kita sisipkan
di tengah-tengah kebahagiaan. Tak ada pemilik yang benar-benar mengerti cara
memiliki, bahkan perasaannya sendiri pun. Jauh sebelum keringat berlabuh, di
kulitmu yang beraroma garam dan pelabuhan—angin melukai pantainya sendiri. Jangkar
kau reda, menghantam karang yang sembunyi jauh di kedalaman dirimu. Jauh sebelumnya,
seperti pertemuan yang membuatku menulis surat (puisi) ini, aku ingin
kehilangan kau yang lain sekali lagi. Bacalah suratku ini, walau seperti anak
kecil yang tengah mengeja kata menjadi kalimat. Apa yang tertulis adalah lupa
yang selama ini kureda, kita yang sejauh serta selama ini menjeda. Seperti
badai di tengah-tengah keramaian yang jahat—kita masing-masing pencuri dan
pencopet yang berlari menghindari amukan orang-orang baik.
Makassar
2016