Sejak
selesai membaca karya yang sebelumnya naik daun, saya percaya diri dengan
luapan dan hasil dari letupan-letupan kecil perasaan saya, bahwa buku yang nantinya
ini akan bisa jadi jauh lebih baik, dan punya tempat sendiri di ingatan
pembaca. Khususnya mereka yang menyukai genre history of romance atau mungkin lebih tepatnya realistic fiction dengan balutan budaya serta latar belakang adat
istiadat. Ketika mendapati dan tentu mendengar dengan sengaja beberapa
informasi seputar penyelesaian novel berjudul Pertanyaan Kepada Kenangan ini,
entah membaca beberapa sumber atau mendengarnya langsung dari penulisnya, hal
pertama yang hendak saya sembunyikan adalah perasaan takjub. Bahkan tidak
percaya. Ada apa dengan kepercayaan saya terhadap kemampuan seseorang,
khususnya penulis?
Tentu seperti ini, akan muncul pertanyaan bodoh yang bisa
saja beralasan sebagai asumsi awal saya untuk menilai sebuah karya, terlepas saya
menikmatinya atau tidak. Hal itu bisa jadi adalah bagaimana kemampuan seorang
penulis hebat bercerita dengan lisannya, sebelum tentunya mempertaruhkannya
pada tulisan. Ini penting, tetapi juga kadangkala tidak terlalu menarik untuk
diketahui oleh banyak penikmat sastra di luar sana. Saya meyakini bahwa banyak
pembaca yang sedikit tahu latar belakang penulisnya. Tentu akan muncul hal
seperti ini—bagaimana atau sejauh mana efek dari bacaan itu mampu memberikan
sesuatu, atau minimal mengubah satu pandangan tertentu menjadi pemandangan yang
jauh lebih luas. Dan ini baru minimal!
Pertanyaan
kepada kenangan mengindikasikan satu jawaban yang buram. Selain dirasa berbeda
untuk setiap perasaan yang akan menjawabnya. Mereka akan menyajikan suatu
fenomena tersendiri terhadap pernyataan untuk sebuah ingatan yang patut ia katakan
kenangan. Kedengarannya sudah rumit, bukan?
Hal
pertama yang tentu jelas adalah kerumitan yang luar biasa, utamanya ketika
berada di luar hal yang dianggap bisa. Atau diperhadapkan oleh dua hal yang
memiliki dampak yang bernilai dan terasa sama. Ia yang pernah ada menyisakan
penyesalan, atau ia yang memberi janji tapi melukai lalu mencoba untuk kembali
ada. Rinai Rindu adalah nama salah satu tokoh perempuan yang menjadi objek
’aku’ dalam penceritaan sang narator, serta dua laki-laki yang memiliki
perbedaan yang jauh, tapi terasa dekat menyentuh perasaan Rinai. Apalagi dalam
memperlakukan kenangan—Wanua Maraja dan Lamba Dondi punya cara masing-masing
untuk menegaskan satu jawaban yang sejatinya telah dijawab sendiri oleh Rinai. Sebelum
Rinai menyatakan jawabannya yang betul-betul. Sebagai contohnya mungkin,
refleksi akan tibanya satu pelukan utuh yang sama sekali tak berasalan.
Rindu
tidak hanya menjadi pengungkap atas pertanyaan-pertanyaan keduanya dalam bentuk
yang sebenarnya telah berwujud jawaban. Namun, untuk menjawabnya, ia tentu
harus meyakinkan diri terlebih dahulu dengan mempertimbangkan yang pernah ia
alami sebelumnya, sebelum mengunci sendiri jawabannya, kemudian menyatakannya
langsung kepada kedua laki-laki itu. Saya tentu berharap, seorang Lamba yang
sejatinya menaruh dalam-dalam adat dalam dirinya dengan keyakinan sebagai orang
Toraja yang berbakti mampu membuktikan keyakinannya itu dengan tidak membuat
Rinai berpikir berkali-kali untuk kembali ke pelukannya, hingga pada akhirnya—Wanua
dengan percaya diri menyatakan perasaannya yang sebenarnya. Apakah perasaan itu
adalah wujud lain dari kebahagiaan yang masih balita?
Bagaimana
dengan Wanua Maraja? Setelah menyatakan semuanya. Seorang lelaki bugis yang
memiliki kesan sederhana dan mampu menaruh janji di tempat yang tepat—di dalam
dirinya yang jauh. Buktinya, perasaan itu tidak sempat dilirik oleh Lamba.
Berdasarkan pengamatan saya sebagai pembaca, Lamba ataupun Wanua seraya memiliki
kesamaan tentang ‘keyakinan’ untuk mengatakan dirinya ‘mencintai’ Rinai. Namun
dengan jalan dan niat yang berbeda, tidak dapat jauh dari adat yang melekat
untuk karakter masing-masing. Toraja dan Bugis.
Ada
sebuah pernyataan kepada ingatan. Bahwa kehilangan pernah membuat Rinai
meyakini bahwa manusia sejatinya tidak pernah memiliki apapun, bahkan yang ia
yakini sebagai perasaan. Kenyataan menuntut kita bersetuju dengan keadaan,
bahwa harapan itu ternyata selalu ada di setiap pilihan yang sulit. Selain pilihan
yang lain hanya perlu berakhir sebagai sebuah kenangan yang memerlukan ingatan
untuk meyakininya. Tapi kadangkala, hati dan ingatan selalu tak sejalan.
**
Dengan
ini, saya tidak ingin menulis terlalu jauh dan dalam soal “Pertanyaan Kepada
Kenangan”. Namun justru saya ingin bertanya kepada siapa pun yang sudah membaca
buku ini—atau buku kenangan apapun itu, sebelum saya bertanya kepada bagian
diri saya yang membaca buku salah satu teman ini.
Kenangan
apa yang pantas dipertanyakan?
Jika
punya jawaban, atau apapun itu yang dianggap mewakili perasaan—juga
kenangannya, marilah kita berdiskusi dibalik tulisan ini sebelum ia menegaskan
diri, kemudian meyakinkan pembaca bahwa ia telah berakhir.
(*)
Dimuat di koran Fajar edisi Minggu 02 Oktober 2016