Rabu, 05 Oktober 2016

Pernyataan Kepada Ingatan



Sejak selesai membaca karya yang sebelumnya naik daun, saya percaya diri dengan luapan dan hasil dari letupan-letupan kecil perasaan saya, bahwa buku yang nantinya ini akan bisa jadi jauh lebih baik, dan punya tempat sendiri di ingatan pembaca. Khususnya mereka yang menyukai genre history of romance atau mungkin lebih tepatnya realistic fiction dengan balutan budaya serta latar belakang adat istiadat. Ketika mendapati dan tentu mendengar dengan sengaja beberapa informasi seputar penyelesaian novel berjudul Pertanyaan Kepada Kenangan ini, entah membaca beberapa sumber atau mendengarnya langsung dari penulisnya, hal pertama yang hendak saya sembunyikan adalah perasaan takjub. Bahkan tidak percaya. Ada apa dengan kepercayaan saya terhadap kemampuan seseorang, khususnya penulis? 
Tentu seperti ini, akan muncul pertanyaan bodoh yang bisa saja beralasan sebagai asumsi awal saya untuk menilai sebuah karya, terlepas saya menikmatinya atau tidak. Hal itu bisa jadi adalah bagaimana kemampuan seorang penulis hebat bercerita dengan lisannya, sebelum tentunya mempertaruhkannya pada tulisan. Ini penting, tetapi juga kadangkala tidak terlalu menarik untuk diketahui oleh banyak penikmat sastra di luar sana. Saya meyakini bahwa banyak pembaca yang sedikit tahu latar belakang penulisnya. Tentu akan muncul hal seperti ini—bagaimana atau sejauh mana efek dari bacaan itu mampu memberikan sesuatu, atau minimal mengubah satu pandangan tertentu menjadi pemandangan yang jauh lebih luas. Dan ini baru minimal!
Pertanyaan kepada kenangan mengindikasikan satu jawaban yang buram. Selain dirasa berbeda untuk setiap perasaan yang akan menjawabnya. Mereka akan menyajikan suatu fenomena tersendiri terhadap pernyataan untuk sebuah ingatan yang patut ia katakan kenangan. Kedengarannya sudah rumit, bukan?
Hal pertama yang tentu jelas adalah kerumitan yang luar biasa, utamanya ketika berada di luar hal yang dianggap bisa. Atau diperhadapkan oleh dua hal yang memiliki dampak yang bernilai dan terasa sama. Ia yang pernah ada menyisakan penyesalan, atau ia yang memberi janji tapi melukai lalu mencoba untuk kembali ada. Rinai Rindu adalah nama salah satu tokoh perempuan yang menjadi objek ’aku’ dalam penceritaan sang narator, serta dua laki-laki yang memiliki perbedaan yang jauh, tapi terasa dekat menyentuh perasaan Rinai. Apalagi dalam memperlakukan kenangan—Wanua Maraja dan Lamba Dondi punya cara masing-masing untuk menegaskan satu jawaban yang sejatinya telah dijawab sendiri oleh Rinai. Sebelum Rinai menyatakan jawabannya yang betul-betul. Sebagai contohnya mungkin, refleksi akan tibanya satu pelukan utuh yang sama sekali tak berasalan.
Rindu tidak hanya menjadi pengungkap atas pertanyaan-pertanyaan keduanya dalam bentuk yang sebenarnya telah berwujud jawaban. Namun, untuk menjawabnya, ia tentu harus meyakinkan diri terlebih dahulu dengan mempertimbangkan yang pernah ia alami sebelumnya, sebelum mengunci sendiri jawabannya, kemudian menyatakannya langsung kepada kedua laki-laki itu. Saya tentu berharap, seorang Lamba yang sejatinya menaruh dalam-dalam adat dalam dirinya dengan keyakinan sebagai orang Toraja yang berbakti mampu membuktikan keyakinannya itu dengan tidak membuat Rinai berpikir berkali-kali untuk kembali ke pelukannya, hingga pada akhirnya—Wanua dengan percaya diri menyatakan perasaannya yang sebenarnya. Apakah perasaan itu adalah wujud lain dari kebahagiaan yang masih balita?
Bagaimana dengan Wanua Maraja? Setelah menyatakan semuanya. Seorang lelaki bugis yang memiliki kesan sederhana dan mampu menaruh janji di tempat yang tepat—di dalam dirinya yang jauh. Buktinya, perasaan itu tidak sempat dilirik oleh Lamba. Berdasarkan pengamatan saya sebagai pembaca, Lamba ataupun Wanua seraya memiliki kesamaan tentang ‘keyakinan’ untuk mengatakan dirinya ‘mencintai’ Rinai. Namun dengan jalan dan niat yang berbeda, tidak dapat jauh dari adat yang melekat untuk karakter masing-masing. Toraja dan Bugis.  
Ada sebuah pernyataan kepada ingatan. Bahwa kehilangan pernah membuat Rinai meyakini bahwa manusia sejatinya tidak pernah memiliki apapun, bahkan yang ia yakini sebagai perasaan. Kenyataan menuntut kita bersetuju dengan keadaan, bahwa harapan itu ternyata selalu ada di setiap pilihan yang sulit. Selain pilihan yang lain hanya perlu berakhir sebagai sebuah kenangan yang memerlukan ingatan untuk meyakininya. Tapi kadangkala, hati dan ingatan selalu tak sejalan.
**
Dengan ini, saya tidak ingin menulis terlalu jauh dan dalam soal “Pertanyaan Kepada Kenangan”. Namun justru saya ingin bertanya kepada siapa pun yang sudah membaca buku ini—atau buku kenangan apapun itu, sebelum saya bertanya kepada bagian diri saya yang membaca buku salah satu teman ini.
Kenangan apa yang pantas dipertanyakan?
Jika punya jawaban, atau apapun itu yang dianggap mewakili perasaan—juga kenangannya, marilah kita berdiskusi dibalik tulisan ini sebelum ia menegaskan diri, kemudian meyakinkan pembaca bahwa ia telah berakhir.

(*)
Dimuat di koran Fajar edisi Minggu 02 Oktober 2016

Share: