![]() |
| Sumber : Google.com |
Sejak
selesai membaca karya yang sebelumnya naik daun, saya percaya diri dengan
luapan dan hasil dari letupan-letupan kecil perasaan saya, bahwa buku yang
nantinya ini akan bisa jadi jauh lebih baik, dan punya tempat sendiri di
ingatan pembaca. Khususnya mereka yang menyukai genre history of romance atau mungkin lebih tepatnya realistic fiction dengan balutan budaya serta latar belakang adat
istiadat. Ketika mendapati dan tentu mendengar dengan sengaja beberapa informasi
seputar penyelesaian novel berjudul Pertanyaan Kepada Kenangan ini, entah
membaca beberapa sumber atau mendengarnya langsung dari penulisnya, hal pertama
yang hendak saya sembunyikan adalah perasaan takjub. Bahkan tidak percaya. Ada
apa dengan kepercayaan saya terhadap kemampuan seseorang, khususnya penulis? Tentu
seperti ini, akan muncul pertanyaan bodoh yang bisa saja beralasan sebagai
asumsi awal saya untuk menilai sebuah karya, terlepas saya menikmatinya atau
tidak. Hal itu bisa jadi adalah bagaimana kemampuan seorang penulis hebat
bercerita dengan lisannya, sebelum tentunya mempertaruhkannya pada tulisan. Ini
penting, tetapi juga kadangkala tidak terlalu menarik untuk diketahui oleh
banyak penikmat sastra di luar sana. Saya meyakini bahwa banyak pembaca yang
sedikit tahu latar belakang penulisnya. Tentu akan muncul hal seperti ini—bagaimana
atau sejauh mana efek dari bacaan itu mampu memberikan sesuatu, atau minimal
mengubah satu pandangan tertentu menjadi pemandangan yang jauh lebih luas. Dan ini
baru minimal!
Pertanyaan
kepada kenangan mengindikasikan satu jawaban yang buram. Selain dirasa berbeda
untuk setiap perasaan yang akan menjawabnya. Mereka akan menyajikan suatu
fenomena tersendiri terhadap pernyataan untuk sebuah ingatan yang patut ia katakan
kenangan. Kedengarannya sudah rumit, bukan? Hal
pertama yang tentu jelas adalah kerumitan yang luar biasa, utamanya ketika
berada di luar hal yang dianggap bisa. Atau diperhadapkan oleh dua hal yang
memiliki dampak yang bernilai dan terasa sama. Ia yang pernah ada menyisakan
penyesalan, atau ia yang memberi janji tapi melukai lalu mencoba untuk kembali
ada. Rinai Rindu adalah nama salah satu tokoh perempuan yang menjadi objek ’aku’
dalam penceritaan sang narator, serta dua laki-laki yang memiliki perbedaan yang
jauh, tapi terasa dekat menyentuh perasaan Rinai. Apalagi dalam memperlakukan
kenangan—Wanua Maraja dan Lamba Dondi punya cara masing-masing untuk menegaskan
satu jawaban yang sejatinya telah dijawab sendiri oleh Rinai. Sebelum Rinai
menyatakan jawabannya yang betul-betul. Sebagai contohnya mungkin, refleksi
akan tibanya satu pelukan utuh yang sama sekali tak berasalan.
Rindu
tidak hanya menjadi pengungkap atas pertanyaan-pertanyaan keduanya dalam bentuk
yang sebenarnya telah berwujud jawaban. Namun, untuk menjawabnya, ia tentu
harus meyakinkan diri terlebih dahulu dengan mempertimbangkan yang pernah ia
alami sebelumnya, sebelum mengunci sendiri jawabannya, kemudian menyatakannya
langsung kepada kedua laki-laki itu. Saya tentu berharap, seorang Lamba yang
sejatinya menaruh dalam-dalam adat dalam dirinya dengan keyakinan sebagai orang
Toraja yang berbakti mampu membuktikan keyakinannya itu dengan tidak membuat
Rinai berpikir berkali-kali untuk kembali ke pelukannya, hingga pada akhirnya—Wanua
dengan percaya diri menyatakan perasaannya yang sebenarnya. Apakah perasaan itu
adalah wujud lain dari kebahagiaan yang masih balita?
Bagaimana
dengan Wanua Maraja? Setelah menyatakan semuanya. Seorang lelaki bugis yang
memiliki kesan sederhana dan mampu menaruh janji di tempat yang tepat—di dalam
dirinya yang jauh. Buktinya, perasaan itu tidak sempat dilirik oleh Lamba.
Berdasarkan pengamatan saya sebagai pembaca, Lamba ataupun Wanua seraya
memiliki kesamaan tentang ‘keyakinan’ untuk mengatakan dirinya ‘mencintai’
Rinai. Namun dengan jalan dan niat yang berbeda, tidak dapat jauh dari adat
yang melekat untuk karakter masing-masing. Toraja dan Bugis. Ada
sebuah pernyataan kepada ingatan. Bahwa kehilangan pernah membuat Rinai
meyakini bahwa manusia sejatinya tidak pernah memiliki apapun, bahkan yang ia
yakini sebagai perasaan. Kenyataan menuntut kita bersetuju dengan keadaan,
bahwa harapan itu ternyata selalu ada di setiap pilihan yang sulit. Selain
pilihan yang lain hanya perlu berakhir sebagai sebuah kenangan yang memerlukan
ingatan untuk meyakininya. Tapi kadangkala, hati dan ingatan selalu tak
sejalan.
**
Dengan
ini, saya tidak ingin menulis terlalu jauh dan dalam soal “Pertanyaan Kepada
Kenangan”. Namun justru saya ingin bertanya kepada siapa pun yang sudah membaca
buku ini—atau buku kenangan apapun itu, sebelum saya bertanya kepada bagian
diri saya yang membaca buku salah satu teman ini. Kenangan
apa yang pantas dipertanyakan? Jika
punya jawaban, apapun itu yang dianggap mewakili perasaan—juga kenangannya,
marilah kita berdiskusi dibalik tulisan ini sebelum ia menegaskan diri,
kemudian meyakinkan pembaca bahwa ia telah berakhir.
