Khusus di Indonesia, telah banyak bermunculan berbagai
komunitas-komunitas yang sifatnya ingin mewujudkan masyarakat menjadi cerdas,
kreatif, berbangsa dan bernegara. Namun, dalam pelaksanaanya, masih saja
menemukan banyak sekali kendala-kendala interen yang seharusnya tidak perlu.
Mungkin, untuk dua poin terakhir—biarlah itu menjadi pekerjaan rumah pemerinta.
Komunitas-komunitas yang menggandeng sesuatu yang bernama kreatifitas. Karena
apalah yang baru di abad ini selain kreasi dan inovasi. Dalam setiap
pelaksanaannya, tentu selalu akan tersirat yang memang sederhana; mengusahakan
agar sila ketiga dapat terwujud dengan nyata.
Salah satu ajang yang menurut saya sederhana, tetapi memiliki
daya, upaya dan dampak yang cukup nyata dan tampak. Asean Literary Festival
(AFL) merupakan ajang tahunan yang diselenggarakan oleh Muara Fondation (Rumah
Muara). ASEAN Literary Festival adalah acara sastra dan budaya
di mana semua negara ASEAN dapat berbagi dalam bentuk diskusi, pertunjukan dan
dialog-dialog kreatif dengan sistem kekeluargaan dan kekerabatan sebagai sesama
Negara Asean yang memiliki kepentingan sastra
budaya, dan sering
dipengaruhi oleh pengalaman kolonial. Festival ini menjadi acara sastra pertama yang mempunyai fokus
terutama pada kualitas karya sastra kawasan ASEAN. Dengan membangun
jembatan antara orang sastra dan masyarakat umum, AFL bertujuan
untuk mempromosikan budaya, seni dan karya sastra yang tidak hanya di
wilayah tertentu
saja, tetapi untuk khalayak global yang lebih luas. Festival
ini menyajikan penyair, novelis, dramawan, kritikus, akademisi dan seniman ASEAN yang
melakukan berbagai
macam kegiatan sederhana, seperti berbagi dan mendiskusikan
peran sastra dalam budaya tertentu dengan budaya lain yang
akan membantu negara-negara anggota untuk menumbuhkan sikap masyarakat
yang adil, mendorong hak asasi manusia dan tentunya demokrasi.
Untuk pelaksananya sendiri, yakni komunitas Rumah Muara digagas
oleh seorang pengarang Indonesia kelahiran Magetan, Jawa Timur Indonesia, Okky
Madasari. Ia pernah memenangkan sebuah penghargaan sastra yang
paling dirayakan dan utama di Indonesia, yakni penghargaan Sastra Khatulistiwa,
pada 2012 untuk novel ketiganya, Maryam. Pada usia 28 tahun, ia menjadi
orang termuda yang memenangkan penghargaan prestisius tersebut. Rumah Muara
menjadi wadah yang mempertemukan berbagai kreativitas dan ide memiliki tujuan
besar untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan, dan kepedulian
semua orang pada ketidakadilan disekitarnya.
Tahun ini merupakan kali ketiga AFL dilaksanakan. Mengusung tema “The
Story Of Now”, yang dengan sengaja dipilih dengan alasan
sederhana—berdasarkan apa yang terjadi di sekitar masyarakat saat ini. Kegiatan
ini berlangsung selama 4 hari, mulai dari tanggal 5 s/d 8 Mei 2016 berpusat di
Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Untuk pembukaan sendiri begitu spesial, karena
salah satu penerima Nobel Perdamaian, José Ramos-Horta memberikan ceramah yang
tentu disesuaikan dengan tema festival, yakni dengan topik kebebasan dalam
perdamaian. Ia juga menyampaikan beberapa penggalan kisah dan upaya perdamaian
yang dilakukannya serta bagaimana mengatasi konflik dan kekerasan yang saat ini
sering terjadi.
“Sastra milik semua orang. Bukan hanya milik orang-orang yang
berada di pusat-pusat kebudayaan, intelektual-intelektual,
maupun orang-orang terpelajar.” Kesadaran inilah yang membuat Okky
Madasari mengabdi dalam membentuk dan menggagas komunitas serta kegiatan ini.
Kegiatan ini juga tak lepas dari sorot pemerintah kota sebagai wujud apresiasi
nyatanya, selain didukung oleh beberapa lembaga-lembaga luar Indonesia seperti
Embassy of the Republic of Singapore, Embassy of the People Republic of China
In The Republic of Indonesia, Japan Pondation serta beberapa yang lain,
kegiatan ini juga sepenuhnya dirahmati oleh Kementerian Luar Negeri RI,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, serta Lontar Pondation. Tak heran, animo
penikmat sastra dan pemerhati budaya selalu menyempatkan waktu dan tenaganya
untuk sekedar menikmati akhir pecan atau menyukseskan kegiatan dengan turut
serta menjadi volunteer yang budiman. Tak hanya berdampak dari sisi politik, pariwisata dan
budaya—tentunya kegiatan ini selalu berupaya menyajikan hal yang baru. Walau
dalam pelaksanaannya sendiri, Rumah Muara sebagai pelaksana tak terlalu
merisaukan hal-hal yang sifatnya profit. Karena kembali lagi kepada tujuan
awalnya, yakni percaya bahwa medium sastra adalah ruang sadar yang tak pernah
menghianati kesadarannya sendiri, yaitu budaya. Berbeda dengan kita, manusia.
“Seharusnya kita membawa sastra itu semakin dikenal pada banyak
orang, bukan hanya kelompok kecil yang itu-itu saja. Contoh kecilnya kita lihat
masyarakat disekitar kita, tetangga kita, apakah mereka tahu apa itu sastra?
Apakah mereka membaca sastra? Tentu tidak banyak yang mengenal sastra. Maka
dari itu, Rumah Muara bersama Asean Literary Festival berpikir perlu adanya
upaya untuk mendekatkan sastra pada masyarakat luas dan melakukan kegiatan
bersama mereka.” tutur Okky Maddasari kepada Inspirator Freak.
Okky percaya bahwa dalam pendidikan, seni dan sastra memiliki daya
magis, serta merupakan sarana paling ampuh dalam membentuk karakter manusia.
Meski sederhana, misalnya melalui puisi, sastra bisa mempengaruhi jiwa
dan pemikiran orang. Oleh karena itu, Rumah Muara sebagai wadah yang
mempertemukan berbagai kreativitas dan ide memiliki tujuan besar untuk
menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan, dan kepedulian semua orang pada
ketidakadilan disekitarnya. Dengan program lain, yaitu Sastra Masuk Kampung. Ingin tahu seperti apa? Saya akan menuliskan beberapa hal
tentangnya lagi jika kau menyukainya dan, setelah membaca tulisan ini dengan
hikmat lalu tanpa melupakan waktu beribadah.