Senin, 16 Mei 2016

Ajang Untuk Mengenal Sastra & Kebudayaan Sesama Negara ASEAN


Khusus di Indonesia, telah banyak bermunculan berbagai komunitas-komunitas yang sifatnya ingin mewujudkan masyarakat menjadi cerdas, kreatif, berbangsa dan bernegara. Namun, dalam pelaksanaanya, masih saja menemukan banyak sekali kendala-kendala interen yang seharusnya tidak perlu. Mungkin, untuk dua poin terakhir—biarlah itu menjadi pekerjaan rumah pemerinta. Komunitas-komunitas yang menggandeng sesuatu yang bernama kreatifitas. Karena apalah yang baru di abad ini selain kreasi dan inovasi. Dalam setiap pelaksanaannya, tentu selalu akan tersirat yang memang sederhana; mengusahakan agar sila ketiga dapat terwujud dengan nyata.

Salah satu ajang yang menurut saya sederhana, tetapi memiliki daya, upaya dan dampak yang cukup nyata dan tampak. Asean Literary Festival (AFL) merupakan ajang tahunan yang diselenggarakan oleh Muara Fondation (Rumah Muara).  ASEAN Literary Festival adalah acara sastra dan budaya di mana semua negara ASEAN dapat berbagi dalam bentuk diskusi, pertunjukan dan dialog-dialog kreatif dengan sistem kekeluargaan dan kekerabatan sebagai sesama Negara Asean yang memiliki kepentingan sastra budaya, dan sering dipengaruhi oleh pengalaman kolonial. Festival ini menjadi acara sastra pertama yang mempunyai fokus terutama pada kualitas karya sastra kawasan ASEAN. Dengan membangun jembatan antara orang sastra dan masyarakat umum, AFL bertujuan untuk mempromosikan budaya, seni dan karya sastra yang tidak hanya di wilayah tertentu saja, tetapi untuk khalayak global yang lebih luas. Festival ini menyajikan penyair, novelis, dramawan, kritikus, akademisi dan seniman ASEAN yang melakukan berbagai macam kegiatan sederhana, seperti berbagi dan mendiskusikan peran sastra dalam budaya tertentu dengan budaya lain yang akan membantu negara-negara anggota  untuk menumbuhkan sikap masyarakat yang adil, mendorong hak asasi manusia dan tentunya demokrasi.

Untuk pelaksananya sendiri, yakni komunitas Rumah Muara digagas oleh seorang pengarang Indonesia kelahiran Magetan, Jawa Timur Indonesia, Okky Madasari. Ia  pernah memenangkan sebuah penghargaan sastra yang paling dirayakan dan utama di Indonesia, yakni penghargaan Sastra Khatulistiwa, pada 2012 untuk novel ketiganya, Maryam. Pada usia 28 tahun, ia menjadi orang termuda yang memenangkan penghargaan prestisius tersebut. Rumah Muara menjadi wadah yang mempertemukan berbagai kreativitas dan ide memiliki tujuan besar untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan, dan kepedulian semua orang pada ketidakadilan disekitarnya.

Tahun ini merupakan kali ketiga AFL dilaksanakan. Mengusung tema “The Story Of Now”, yang dengan sengaja dipilih dengan alasan sederhana—berdasarkan apa yang terjadi di sekitar masyarakat saat ini. Kegiatan ini berlangsung selama 4 hari, mulai dari tanggal 5 s/d 8 Mei 2016 berpusat di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Untuk pembukaan sendiri begitu spesial, karena salah satu penerima Nobel Perdamaian, José Ramos-Horta memberikan ceramah yang tentu disesuaikan dengan tema festival, yakni dengan topik kebebasan dalam perdamaian. Ia juga menyampaikan beberapa penggalan kisah dan upaya perdamaian yang dilakukannya serta bagaimana mengatasi konflik dan kekerasan yang saat ini sering terjadi.

“Sastra milik semua orang. Bukan hanya milik orang-orang yang berada di pusat-pusat kebudayaan, intelektual-intelektual, maupun orang-orang terpelajar.” Kesadaran inilah yang membuat Okky Madasari mengabdi dalam membentuk dan menggagas komunitas serta kegiatan ini. Kegiatan ini juga tak lepas dari sorot pemerintah kota sebagai wujud apresiasi nyatanya, selain didukung oleh beberapa lembaga-lembaga luar Indonesia seperti Embassy of the Republic of Singapore, Embassy of the People Republic of China In The Republic of Indonesia, Japan Pondation serta beberapa yang lain, kegiatan ini juga sepenuhnya dirahmati oleh Kementerian Luar Negeri RI, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, serta Lontar Pondation. Tak heran, animo penikmat sastra dan pemerhati budaya selalu menyempatkan waktu dan tenaganya untuk sekedar menikmati akhir pecan atau menyukseskan kegiatan dengan turut serta menjadi volunteer yang budiman. Tak hanya berdampak dari sisi politik, pariwisata dan budaya—tentunya kegiatan ini selalu berupaya menyajikan hal yang baru. Walau dalam pelaksanaannya sendiri, Rumah Muara sebagai pelaksana tak terlalu merisaukan hal-hal yang sifatnya profit. Karena kembali lagi kepada tujuan awalnya, yakni percaya bahwa medium sastra adalah ruang sadar yang tak pernah menghianati kesadarannya sendiri, yaitu budaya. Berbeda dengan kita, manusia.

“Seharusnya kita membawa sastra itu semakin dikenal pada banyak orang, bukan hanya kelompok kecil yang itu-itu saja. Contoh kecilnya kita lihat masyarakat disekitar kita, tetangga kita, apakah mereka tahu apa itu sastra? Apakah mereka membaca sastra? Tentu tidak banyak yang mengenal sastra. Maka dari itu, Rumah Muara bersama Asean Literary Festival berpikir perlu adanya upaya untuk mendekatkan sastra pada masyarakat luas dan melakukan kegiatan bersama mereka.” tutur Okky Maddasari kepada Inspirator Freak.
Okky percaya bahwa dalam pendidikan, seni dan sastra memiliki daya magis, serta merupakan sarana paling ampuh dalam membentuk karakter manusia. Meski  sederhana, misalnya melalui puisi, sastra bisa mempengaruhi jiwa dan pemikiran orang. Oleh karena itu, Rumah Muara sebagai wadah yang mempertemukan berbagai kreativitas dan ide memiliki tujuan besar untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan, dan kepedulian semua orang pada ketidakadilan disekitarnya. Dengan program lain, yaitu Sastra Masuk Kampung. Ingin tahu seperti apa? Saya akan menuliskan beberapa hal tentangnya lagi jika kau menyukainya dan, setelah membaca tulisan ini dengan hikmat lalu tanpa melupakan waktu beribadah.

Share: