Jika
dari tahun ke tahun, Makassar International Writers Festival (MIWF) tidak punya
semacam identitas khusus yang sengaja ia kenakan untuk satu atau dua musim yang
segera akan berlalu, maka tak heran—The Body Shop tak akan mempertemukan
mereka. Mungkin saja, Body Shop akan memilih berbaring, menikmati berbagai
macam fasilitas lengkap untuk satu kepuasan yang tak pernah membuatnya
betul-betul puas. Untunglah, ia (MIWF) selalu menyadari itu—tahun-tahun yang
berlalu itu bukan hanya sebagai musim yang memaksanya mengenakan berbagai macam
pernak-pernik yang mungkin saja, tak pernah membuatnya nyaman. Akan tetapi,
ketidaknyaman itulah yang mampu menjadi salah satu pusaka yang menciptakan satu
kesan sekaligus pesan; yakni konsistensi. Ada
hal yang saya tangkap dari pagelaran festival tahun ini, hal yang tak
sepatutnya sengaja untuk melarikan dirinya atas nama toleransi sembari menutup mata
dalam-dalam, menjadi kian tak masuk akal. Tak mudah sesuatu yang dirintis oleh
orang dalam melihat Makassar dari luar hingga mencapai tahun ke enam ini.
Apalagi, sangat jelas bahwa setiap tahunnya selalu dibumbui satu kampanye untuk
sebuah masalah klasik dalam banyak parameter. Yang saya maksud itu yakni
perempuan selalu identik dengan ketinggalannya atas dominasi laki-laki yang
kuat. Sebuah
nama yakni Colliq Pujie hadir menelusuri terowongan-terowongan gelap itu. Ada
sebuah harga diri yang ingin diperlihatkan secara transparan dan jelas. Salah
satu upaya bisa dilihat dari jumlah volunteer
yang lebih mengedepankan perempuan. Jika tak percaya, coba hitunglah
sendiri sembari bertanya kepada Bunda Lily Yulianty Farid. Ada sebuah stereotype yang hendak dimiringkan, yang
selama ini beredar. Dalam setiap fase, anggap saja MIWF yang tahun ini
menginjak akhir sekolah dasar, mereka memiliki sebuah kekuatan dan power,
fluktuasi yang tak kenal kompromi. Tak jarang, beberapa alasan yang di mata
kebanyakan orang akan membantingnya menjadi makhluk lemah tentu menjadi
terbalik 180 derajat tanpa Celsius. Secara
sadar, Body Shop punya visi yang cocok dengan nama besar MIWF tahun ini. Dalam
kaitannya mengikis patriarki perempuan. Sama-sama ingin selalu menyuburkan self-esteem perempuan dalam setiap masa.
Jika MIWF ibarat perempuan, dan waktu 6 tahun ini adalah fasenya—maka tak perlu
ragu lagi untuk meminangnya menjadi pendamping hidup, atau minimal kekasih
paruh waktu yang selalu berusaha menemani kita.
(*)
Catatan Hari -1 Makassar International Writers Festival (MIWF 2016) --Fort Rotterdam 18-21 Mei 2016