Pagi ini saya lelah ketika terbangun. Suasana malamnya kampus membuat saya kembali mengulangi kesalahan yang sama, yang terus kami lakukan. Menginap tanpa melakukan hal-hal produktif selain berdiskusi tentang pengalaman. Terbangun dengan lelah karena pagi tadi, sudah banyak mahasiswa yang datang –kemudian kami khawatir menjadi mahasiswa yang diberi label terlalu rajin. Karena itu menyalahi aturan dan tentu saja membuat pekerjaan kami semalaman—mencoret-coret tembok (kelas, toilet bahkan lantai) hingga melukai diri kami dengan pujian-pujian seperti ganteng, cakep, rupawan hingga tikus got. Apa yang terjadi semalam itu bukan tanpa rel dan lokomotif semata, melainkan si monyet “O” yang berteriak-teriak di kepala saya untuk hari esok dan seterusnya.
Adalah peraih Man Booker Prize, Eka Kurniawan
yang membuat bangunnya kami (saya) terasa lelah. Saya langsung saja menaiki
motor yang terparkir tepat di depan pintu kelas mahasiswa Sastra, di koridor
berwarna putih dan ungu. Pulang kemudian bersiap-siap menuju ke salah satu
kampus yang letaknya tak begitu jauh dengan rumah kontrakan kawan saya, yang
juga sebagai penulis Rain and Tears. Tak perlu risau dengan jarak. Kita hanya
perlu berbangga dengan pagi yang seperti bukan pagi. Saya memastikan akan
terlambat beberapa jam, pasti. Tentu, untuk merasakan pahitnya terlambat—saya
menelpon salah satu teman yang begitu menyukai karya-karya Eka, bahkan
jurnal-jurnalnya.
“Sudah di Unhas?
Seminarnya sudah mulai?”
“Tidak bro!”
“Ah? Tidak mau mendengar Eka Berbicara?”
“Hahaha..Eka Kurniawan besok bro!”
“—“
Sialan! saya lelah. Lupa bahwa di tas, saya memiliki jadwal
pelaksanaan MIWF 2016 lengkap! Sangat lengkap malah. Dan betul, seminar yang
dilaksanakan di Aula Prof. Mattulada belum dia, tetapi mereka. Japanese
Society Through Literature! Sialan..padahal, sebelum mandi—saya telah
menulis di salah satu akun sosial dengan kalimat sederhana; “Eka Kurniawan di
Fakultas Ilmu Budaya, Unhas”. Yang kemudian banyak respon dari teman-teman
saya, yang sebenarnya membuat saya malu dengan jawabannya. Apa yang membuat
hari ini seperti itu tidak lain karena saya bukan penggemar karya-karya Eka
Kurniawan. Satu pun karya dari beliau belum pernah ada yang saya baca. Tetapi,
saya juga merasa aneh—catatan-catatan di blog pribadinya hampir pasti menjadi
bacaan pokok saya untuk mempelajari lebih jauh tentang sastra Indonesia hingga
saat ini. Selain dari pada ia (Eka Kurniawan) secara tidak langsung menulis
dengan gaya salah satu tokoh sastra idola saya, “Realisme Magis”nya Gabriel
Marquez.
Dengan sangat menyesal yang terbawa dan sedikit tak percaya
diri, saya menuju kampus UNM Gunung Sari, untuk mendengarkan uraian beberapa
perempuan-perempuan yang menurut saya tak biasa. Dengan latar belakang dan
Negara yang berbeda-beda. Apalagi semalam, ketika mendengar persembahan dari
salah satunya. Seorang perempuan berkulit hitam tak berambut dari negeri
seberang, Deborah Emmanuel—saya dan beberapa teman serta dosen merasa bangga
dan takjub! Melupakan penyesalan tadi pagi. Persembahan Puisi di perayaan
pembukaan MIWF yang begitu mempesona. Saya menangkap sebuah situasi sosial yang
rumit, benturan dan orang tua yang meninggalkan buah hatinya.
Stories of Identities,
sebuah seminar yang menyajikan pengalaman sebagai kekuatan dan semangat luar
biasa. Semangat ASEAN bersatu dalam satu ruangan yang sederhana. Kampanye hidup
sehat dan berpengaruh terhadap lingkungan sosial. Melawan kegetiran-kegetiran
yang mengatasnamakan gender dan kelamin. Padahal di mata air mata, ia tak
mengenal keduanya. Pengalaman mereka selama menjadi seniman, dengan penggambaran-penggambaran
yang nyata, situasi-situasi yang seringkali menjadi problem masa kini—mereka
terlihat antusias membagi itu kepada kami. Walaupun beberapa statement yang
dilepaskan kadangkala membuat kami mengerutkan dahi dan saling menatap dengan
teman sekursi satu sama lain, Tetapi saya tidak! Kebetulan, saya duduk sendiri.
Ditemani Sinriliq dari salah satu kawan yang memilih duduk di depan,
meninggalkan pusakanya bersama orang yang ia tak tahu siapa.
Sore yang panas. Bersama orang yang berbeda di hari
pertama—saya menemukan sekaligus merasakan banyak hal ketika berdiri di taman
rasa. Saya menyadari bahwa saya melewatkan peluncuran buku terbaru Daeng Maman
yang begitu lelah selalu saya ikuti setiap perkembangannya. Dan jujur, saya
selalu teringat dengan ilustratornya, Kak Asti Husain. Seorang perempuan alumni
Trisaksi yang sempat menjadi saksi peristiwa 98, yang sempat menjadi teman
ngobrol di salah satu café sekitaran kampus, tahun lalu. Pertemuan kami berkat
penulis RE: itu. Akibatnya, perpisahan kami juga dari penulis tak berambut itu
juga— saya melupakan waktu untuk berbincang lebih banyak darinya. Tapi, saya
yakin perasaan saat itu hanya sebatas perang melawan rasa, tak lebih. Ada
memoar yang selalu membuat saya lemah ketika mendengar puisi dari orang-orang
itu.
Betul sekali, hari-hari tak selalu seperti hari kemarin.
Hari ini terasa panas tetapi sejuk ketika masuk lebih jauh. Menikmati malam
hari ini dengan pertujukan musik folk dari sepasang kekasih yang tak asing.
Saya percaya, dan tentu saja—semoga dia (Kekasih) selalu sadar bahwa saya tak
perlu lagi mengkhawatirkan atau apapun itu yang membuatnya gelisah. Ia tahu,
pentingnya jarak memang hanya satu ketika situasi hati dalam keadaan kondusif.
Membuat cinta itu bergerak dan bernafas sendiri.
(*)
Catatan Hari -2 Makassar International Writers Festival
(MIWF 2016) --Fort Rotterdam 18-21 Mei 2016