Senin, 18 Juli 2016

Apa yang membuatmu percaya?


Diantara letak dua matamu terletak keragu-raguan. Ia sering terbit menemanimu menyambut pagi. Kedua bibirku menjadi yakin dan meyakinimu seketika ia menyambutmu dengan kecupan. Ada kenyataan yang seperti dongeng dalam cerita Ibu sewaktu aku masih kecil. Dunia ini pada akhirnya akan berakhir dengan kepercayaan; hidup adalah perjalanan menuju kembali. Segala yang ada pada mulanya terbit dari ketiadaan. Atau keadaan yang sama sekali belum kau sadari. Apa yang membuatmu percaya pada laki-laki yang kau cintai?

Apa kau meragukannya? Jika kalimat sederhananya kau mempercayainya. Banyak dari manusia pergi lalu tak lagi pernah ingin kembali. Apapun yang ia temukan. Kau akan mengerti ketika percaya bahwa tak ada gunanya mendengar penjelasan dari laki-laki ketika berada di belakangmu, dengan alasan ingin mendekap tubuhmu dari posisinya berbicara. Kita akan terus-menerus berjumpa dengan pertanyaan serupa kepercayaan. Misalnya kematian. Dari mana asal mereka yang hidup? Setelah mati, kenapa mereka akan hidup? 

Kematian adalah sebuah pertemuan tak sengaja antara yang ada dan tiada. Perkara yang seringkali sulit diterima tapi selalu kita rayakan dengan cara yang berbeda. Jika belum yakin, kehidupan asalnya dari kepercayaan orang-orang mati. Tak perlu lagi mengatakan banyak hal tentang mereka, bukan. Kebanyakan makhluk seperti kita seringkali menggambarkan kematian dengan sempurna, sehingga lupa jika kehidupan ini sebenarnya adalah kompetisi yang tak pernah dimenangkan oleh siapapun. Kita seperti saja pelukis yang kelihatan jenius, tetapi sangat bodoh. Sangat lihai menggambar diri seseorang, dan tak pernah tahu cara melukiskan diri sendiri kehadapan orang banyak. 

"Di mana ada kehidupan, di situ pasti ada kematian. Di mana ada kenyataan, di situ pasti tak ada kebohongan. Dan di mana ada kepercayaan, di situ pasti ada keragu-raguan. Mati itu mudah; hiduplah yang sulit. Percaya itu sangat gampang. Keraguan-raguan justru merumitkan banyak hal. Semakin berat kehidupan yang dihadapi, semakin kuat keinginan untuk bertahan. Dan semakin besar ketakutan untuk mati, semakin besar pula perjuangan untuk terus hidup."

Setiap hari, saya selalu sadar menemukan orang-orang sangat pandai membunuh. Entah itu membunuh keyakinannya sendiri, ataupun mengurung pendapat orang lain dalam kerangkeng hierarki sosial. Buntutnya akan menimpa orang yang justru kita sayang, tanpa kita pertimbangkan matang-matang. Kemudian, untuk mengikis itu—manusia dengan kecerdasannya menciptakan tuhan dalam kepalanya. Tempat mereka berlindung dari ancaman dan ketakutan. Tempat mereka hidup dalam keyakinan yang membuat diri mereka tumpah. Disusunlah kitab suci sebagai pedoman yang mengatur manusia mulai dari cara masuk hingga keluar rumah. Dikaranglah doa agar bisa dijadikan munajat sebagai usaha menghindari ketakutan secara perlahan-lahan.

Sungguh kepercayaan akan terus bergulir hingga menemukan titik di mana ia muncul. Pertanyaan yang hanya untuk membuatmu yakin dengan jawaban sejatinya tak perlu kau jawab dengan kalimat yang penuh pemanis. Semut hanya akan menyukai manisnya, lalu meninggalkan sisanya. Aku akan kembali, dan bertanya dengan pertanyaan ini lagi. Kenapa kau percaya bahwa aku akan kembali untuk kau yakini?
Share:

Related Posts: