Diantara
letak dua matamu terletak keragu-raguan. Ia sering terbit menemanimu menyambut
pagi. Kedua bibirku menjadi yakin dan meyakinimu seketika ia menyambutmu dengan
kecupan. Ada kenyataan yang seperti dongeng dalam cerita Ibu sewaktu aku masih
kecil. Dunia ini pada akhirnya akan berakhir dengan kepercayaan; hidup adalah
perjalanan menuju kembali. Segala yang ada pada mulanya terbit dari ketiadaan.
Atau keadaan yang sama sekali belum kau sadari. Apa yang membuatmu percaya pada
laki-laki yang kau cintai?
Apa
kau meragukannya? Jika kalimat sederhananya kau mempercayainya. Banyak dari
manusia pergi lalu tak lagi pernah ingin kembali. Apapun yang ia temukan. Kau
akan mengerti ketika percaya bahwa tak ada gunanya mendengar penjelasan dari
laki-laki ketika berada di belakangmu, dengan alasan ingin mendekap tubuhmu
dari posisinya berbicara. Kita akan terus-menerus berjumpa dengan pertanyaan
serupa kepercayaan. Misalnya kematian. Dari mana asal mereka yang hidup?
Setelah mati, kenapa mereka akan hidup?
Kematian
adalah sebuah pertemuan tak sengaja antara yang ada dan tiada. Perkara yang
seringkali sulit diterima tapi selalu kita rayakan dengan cara yang berbeda.
Jika belum yakin, kehidupan asalnya dari kepercayaan orang-orang mati. Tak
perlu lagi mengatakan banyak hal tentang mereka, bukan. Kebanyakan makhluk
seperti kita seringkali menggambarkan kematian dengan sempurna, sehingga lupa
jika kehidupan ini sebenarnya adalah kompetisi yang tak pernah dimenangkan oleh
siapapun. Kita seperti saja pelukis yang kelihatan jenius, tetapi sangat bodoh.
Sangat lihai menggambar diri seseorang, dan tak pernah tahu cara melukiskan
diri sendiri kehadapan orang banyak.
"Di
mana ada kehidupan, di situ pasti ada kematian. Di mana ada kenyataan, di situ
pasti tak ada kebohongan. Dan di mana ada kepercayaan, di situ pasti ada
keragu-raguan. Mati itu mudah; hiduplah yang sulit. Percaya itu sangat gampang.
Keraguan-raguan justru merumitkan banyak hal. Semakin berat kehidupan yang
dihadapi, semakin kuat keinginan untuk bertahan. Dan semakin besar ketakutan
untuk mati, semakin besar pula perjuangan untuk terus hidup."
Setiap
hari, saya selalu sadar menemukan orang-orang sangat pandai membunuh. Entah itu
membunuh keyakinannya sendiri, ataupun mengurung pendapat orang lain dalam
kerangkeng hierarki sosial. Buntutnya akan menimpa orang yang justru kita
sayang, tanpa kita pertimbangkan matang-matang. Kemudian, untuk mengikis itu—manusia
dengan kecerdasannya menciptakan tuhan dalam kepalanya. Tempat mereka
berlindung dari ancaman dan ketakutan. Tempat mereka hidup dalam keyakinan yang
membuat diri mereka tumpah. Disusunlah kitab suci sebagai pedoman yang mengatur
manusia mulai dari cara masuk hingga keluar rumah. Dikaranglah doa agar bisa dijadikan
munajat sebagai usaha menghindari ketakutan secara perlahan-lahan.
Sungguh
kepercayaan akan terus bergulir hingga menemukan titik di mana ia muncul.
Pertanyaan yang hanya untuk membuatmu yakin dengan jawaban sejatinya tak perlu
kau jawab dengan kalimat yang penuh pemanis. Semut hanya akan menyukai
manisnya, lalu meninggalkan sisanya. Aku
akan kembali, dan bertanya dengan pertanyaan ini lagi. Kenapa kau percaya bahwa
aku akan kembali untuk kau yakini?