Jumat, 01 Juli 2016

Perasaan yang tak Merasa Pulang


Jalan pulang senantiasa menuntun kita menemukan rumah yang paling sentosa. Satu hal yang menyiasati saya menulis ini, terlepas saya betul-betul rindu situasi sosial kampung halaman—rumah, ia tidak pernah mau mengusir penghuninya. Kemudian melekatkannya sebagai pengelana yang kesepian. Banyak yang dijanjikan atas nama kepulangan, selain kampung halaman dan keluarga. Kembali bertemu kawan main, berkumpul dengan orang-orang lama yang akan kembali terasa baru pasca kembali bertemu. Wajah dan paras, watak hingga perasaan yang baru. Segelintir pengelana akan rela menunda banyak hal yang benar-benar mengerti esensi kembali kepangkuan sang rumah Ibu. 

Namun, apakah setiap orang dapat merasakan mudik? Minimal pulang ke kampung halaman dan membuka portal-portal kenangan masa kecil? Mari sama-sama menemukan jawaban di akhir tulisan ini. 

Faktanya bahwa hanya di Indonesia budaya mudik itu terjadi. Jika tidak seperti itu, maka kota-kota besar tidak hanya sekedar memuntahkan isinya, ia juga bahkan meludai kota-kota kecil agar tetap menjadi kota yang kecil dan sepi. Sedikit melakukan jeda dengan memandikan dirinya atas kebaikan hari raya beserta mudiknya. Orang-orang kota akan tetap berada di kota karena mudik bagi mereka hanya serangkaian aktivitas lajur sosial yang tak mesti dijalani. Sederhananya, aktivitas mudik hanya pesta tanpa perayaan yang sebaiknya diisi dengan berlibur ke tempat-tempat yang dianggap oleh tubuh dan perasaannya itu perlu. Seperti berlibur ke rumah nenek di kampung. 

Orang-orang pendatang dari berbagai kampung akan merasa lain. Terlepas dari perasaan masing-masing manusia pada dasarnya  memang sudah berlainan, momen pulang kampung sudah menjadi bagian dari perjalan hidup. Entah telah sampai pada liang kesuksesan atau belum. Kita selayaknya tulisan dengan koma titiknya, bukan robot yang dari lahir telah terprogram untuk melakukan ini dan itu, hingga pada akhirnya lupa diri. Dan yang paling menyedihkan, lupa kepada tempatnya berasal. Kita adalah manusia yang membutuhkan jeda untuk sejenak menikmati, apapu itu—seperti hujan yang reda di sore yang romantis. Bukankah kehidupan seperti itu—pada akhirnya manusia akan dipertemukan dengan kepulangannya yang hakiki. 

Kemudian tiba saatnya, harapan itu pecah menjadi beling-beling kenyataan yang kadang melukai. Saya bisa pulang dengan luka, apakah rumah dapat menyambut itu dengan suka cita? Ada sesuatu yang hendak dipecahkan. Celengan rindu atau hal-hal berharga yang sengaja kita tabung selama jarak memisahkan kenyataan kita. Walau kemudian semua orang tahu, termasuk kau kita akan pergi lagi.

Kau tahu bahwa Seminggu terakhir, pertanyaan serupa datang dengan bergerombol; mudiknya di mana? kapan pulang kampung? sampai kapan kau menunggu jawaban yang tidak pasti. Begini, dengan nada datar, “semua orang punya kampung halaman, setiap orang selalu ingin pulang, semua bisa memiliki kampung. Tapi, asal kau tahu, tak semua perasaan bisa merasa pulang”.

Share:

Related Posts: