Jalan pulang senantiasa
menuntun kita menemukan rumah yang paling sentosa. Satu hal yang menyiasati
saya menulis ini, terlepas saya betul-betul rindu situasi sosial kampung
halaman—rumah, ia tidak pernah mau mengusir penghuninya. Kemudian melekatkannya
sebagai pengelana yang kesepian. Banyak yang dijanjikan atas nama kepulangan,
selain kampung halaman dan keluarga. Kembali bertemu kawan main, berkumpul
dengan orang-orang lama yang akan kembali terasa baru pasca kembali bertemu.
Wajah dan paras, watak hingga perasaan yang baru. Segelintir pengelana akan
rela menunda banyak hal yang benar-benar mengerti esensi kembali kepangkuan
sang rumah Ibu.
Namun, apakah setiap orang dapat merasakan
mudik? Minimal pulang ke kampung halaman dan membuka portal-portal kenangan
masa kecil? Mari sama-sama menemukan jawaban di akhir tulisan ini.
Faktanya
bahwa hanya di Indonesia budaya mudik itu terjadi. Jika tidak seperti itu, maka
kota-kota besar tidak hanya sekedar memuntahkan isinya, ia juga bahkan meludai
kota-kota kecil agar tetap menjadi kota yang kecil dan sepi. Sedikit melakukan
jeda dengan memandikan dirinya atas kebaikan hari raya beserta mudiknya.
Orang-orang kota akan tetap berada di kota karena mudik bagi mereka hanya
serangkaian aktivitas lajur sosial yang tak mesti dijalani. Sederhananya,
aktivitas mudik hanya pesta tanpa perayaan yang sebaiknya diisi dengan berlibur
ke tempat-tempat yang dianggap oleh tubuh dan perasaannya itu perlu. Seperti
berlibur ke rumah nenek di kampung.
Orang-orang
pendatang dari berbagai kampung akan merasa lain. Terlepas dari perasaan
masing-masing manusia pada dasarnya
memang sudah berlainan, momen pulang kampung sudah menjadi bagian dari
perjalan hidup. Entah telah sampai pada liang kesuksesan atau belum. Kita
selayaknya tulisan dengan koma titiknya, bukan robot yang dari lahir telah
terprogram untuk melakukan ini dan itu, hingga pada akhirnya lupa diri. Dan
yang paling menyedihkan, lupa kepada tempatnya berasal. Kita adalah manusia
yang membutuhkan jeda untuk sejenak menikmati, apapu itu—seperti hujan yang
reda di sore yang romantis. Bukankah kehidupan seperti itu—pada akhirnya
manusia akan dipertemukan dengan kepulangannya yang hakiki.
Kemudian
tiba saatnya, harapan itu pecah menjadi beling-beling kenyataan yang kadang
melukai. Saya bisa pulang dengan luka, apakah rumah dapat menyambut itu dengan
suka cita? Ada sesuatu yang hendak dipecahkan. Celengan rindu atau hal-hal
berharga yang sengaja kita tabung selama jarak memisahkan kenyataan kita. Walau
kemudian semua orang tahu, termasuk kau kita akan pergi lagi.
Kau tahu bahwa Seminggu
terakhir, pertanyaan serupa datang dengan bergerombol; mudiknya di mana? kapan
pulang kampung? sampai kapan kau menunggu jawaban yang tidak pasti. Begini, dengan
nada datar, “semua orang punya kampung halaman, setiap orang selalu ingin
pulang, semua bisa memiliki kampung. Tapi, asal kau tahu, tak semua perasaan
bisa merasa pulang”.