Maukah kau membalas suratku?
Aku tak mengerti membaca kesedihanmu di
seperdua imsak.
Mungkin terlihat payau, jadul dan tidak
kekinian. Senyum yang kuseka sendiri, berdiri dan membentuk kereta kata, hendak
menuju gerbong dadamu dengan lokomotif-lokomotif tua. Aku sendiri dan berharap
atas bayang-bayang kesunyian, apakah kau di sana telah membaca kekhawatiranku
di tahun ini? Penantian menerbangkanku seperti daun yang
jatuh sendirian, ombak yang menggulung bahasa ke dalam pengertian-pengertian
yang curam dipahami karang dan tebing. Penantian meloloskanku dari kepungan
waktu, dari jarum jam yang menipu hari-hari dengan suasana sejuk mata air, kerinduan
yang membaur dalam cawan retak antara cinta dan kegilaan, membuka ruang dan
mengisi kekosonganku, berkali-kali.
Konstruksi kereta masih dalam proses pembangunan, dan tiga bulan
terakhir tersiar bahwa harapanku sejenak berhenti, entah d stasiun milik siapa.
Pembangunan tersendak akibat banyak hal; penggelapan uang di mana-mana,
pembunuhan ide di pojok-pojok kota, perampasan ruang-ruang sunyi, penjagalan
kebahagiaan hingga pengungkungan wajah-wajah manis dengan lesung pipitnya.
Semua hal tercipta jauh dari kebetulan, termasuk usahaku bertamu lewat
kata-kata malam itu. Temaram mencari cahaya dengan gelisah, mencari rahim
ibunya, semesta yang tak membuatnya bertanya-tanya tentang hari depan dan penghakiman.
Pada saat itu, kita tak lagi peduli tata krama, hingga tutur kata. Kita tahu, kita
tak pernah mampu menata apa pun selain hati kita sendiri, diluar itu keinginan,
harapan dan cinta memilih menyendiri.
Kau tak ingin menceburkan cintaku ke dalam pengertian-pengertian
yang disepakati orang lain, bukan? Aku tidak akan membiarkan mereka menghakimi
kita. Rumah dalam diriku tak dibangun dari tumpukan penyesalan atau
kesalah-kesalahan yang sempat kau padamkan, dan aku tahu kau bukan hati yang
lemah yang terlihat dungu untuk dicintai kepalsuan. Berbekal segudang alasan yang
bahkan kau tak pernah ingin merasa kenapa-kenapa.