Senin, 27 Juni 2016

Kereta Surat


Maukah kau membalas suratku?
Aku tak mengerti membaca kesedihanmu di seperdua imsak.

Mungkin terlihat payau, jadul dan tidak kekinian. Senyum yang kuseka sendiri, berdiri dan membentuk kereta kata, hendak menuju gerbong dadamu dengan lokomotif-lokomotif tua. Aku sendiri dan berharap atas bayang-bayang kesunyian, apakah kau di sana telah membaca kekhawatiranku di tahun ini? Penantian menerbangkanku seperti daun yang jatuh sendirian, ombak yang menggulung bahasa ke dalam pengertian-pengertian yang curam dipahami karang dan tebing. Penantian meloloskanku dari kepungan waktu, dari jarum jam yang menipu hari-hari dengan suasana sejuk mata air, kerinduan yang membaur dalam cawan retak antara cinta dan kegilaan, membuka ruang dan mengisi kekosonganku, berkali-kali.

Konstruksi kereta masih dalam proses pembangunan, dan tiga bulan terakhir tersiar bahwa harapanku sejenak berhenti, entah d stasiun milik siapa. Pembangunan tersendak akibat banyak hal; penggelapan uang di mana-mana, pembunuhan ide di pojok-pojok kota, perampasan ruang-ruang sunyi, penjagalan kebahagiaan hingga pengungkungan wajah-wajah manis dengan lesung pipitnya. Semua hal tercipta jauh dari kebetulan, termasuk usahaku bertamu lewat kata-kata malam itu. Temaram mencari cahaya dengan gelisah, mencari rahim ibunya, semesta yang tak membuatnya bertanya-tanya tentang hari depan dan penghakiman. Pada saat itu, kita tak lagi peduli tata krama, hingga tutur kata. Kita tahu, kita tak pernah mampu menata apa pun selain hati kita sendiri, diluar itu keinginan, harapan dan cinta memilih menyendiri. 

Kau tak ingin menceburkan cintaku ke dalam pengertian-pengertian yang disepakati orang lain, bukan? Aku tidak akan membiarkan mereka menghakimi kita. Rumah dalam diriku tak dibangun dari tumpukan penyesalan atau kesalah-kesalahan yang sempat kau padamkan, dan aku tahu kau bukan hati yang lemah yang terlihat dungu untuk dicintai kepalsuan. Berbekal segudang alasan yang bahkan kau tak pernah ingin merasa kenapa-kenapa.

Share: