Selasa, 14 Juni 2016

Melawan rahasia, mengalah atau mengalahkannya



Buku kedua dari penyair kelahiran Solo ini sebenarnya telah tandas saya baca beberapa bulan lalu. Buku tipis yang hampir saya bawah ke mana-mana, setiap membawa tas. Terakhir saya membawanya ikut bertamasya di salah satu pantai berpasir putih terkenal di Sulawesi. Kesempatan bertemu dengan buku ini sebenarnya tak terlalu layak untuk saya catat pada catatan ini. Alumni fakultas ekonomi Universitas Dipoenegoro ini faktanya lebih menyukai dan memilih mendekatkan dirinya ke dalam pusaran buku-buku sastra (dibanding buku-buku ekonomi), termasuk puisi. “puisi merupakan medium paling cair untuk mengungkap sesuatu” katanya

Sebelumnya, bukumpulan puisi “Pelesir Mimpi” menjadi karya yang membawanya meraih nominasi Khatulistiwa Award (kusalah sastra khatulistiwa). Dan masih banyak lagi, beberapa puisinya bisa dengan mudah ditemukan di beberapa tempat, seperti Koran, majalah, antologi serta ketika jari-jari kalian mengetik namanya di mesin pencarian (google) alam semesta. Pertama kali menemukan wajahnya, “Di Hadapan Rahasia” saya langsung teringat beberapa catatan singkat salah satu kawan—ia juga menyukai puisi (dan saya yakin ia menyukai karya-karya Adimas). Isi dompet saya memutuskan menebusnya dengan harga yang menurutnya mahal. Penjaga kasir di toko buku sedikit heran, dan tentunya tanpa tanda-tanda memotivasi keraguan saya yang sempat datang, agar mungkin wajah saya tak seperti kekurangan uang ketika diperhadapkan dengan buku yang membuat saya mengalah. Saya memilih tak kalah dengan itu—entah saya tak sempat memenuhi kecenderungan manusia untuk makan tiga kali sehari.

Jika puisi adalah lava of imagination bagi Byron, maka bagi saya sendiri setelah membacanya—kepalaku lumpuh, dan berubah menjadi yakni lost my imagination. Imaji yang sedang lapar, menanti sepiring nasi dan beberapa lauk temannya. Efek karena puasa. Imajinasi seolah pergi begitu saja, entah dengan sayap yang ia sengaja. Entah ia pergi mencari nasi di mana, di rumah siapa yang hendak menyatukannya lagi. Adimas sukses membuat pembacanya mencintai dengan paradoksme perasaan berbeda ketika mencintai seseorang. Ia penyair muda yang apik. Jika menyimak judul-judulnya dengan baik, maka hal yang biasa diruntuhkan dengan pemilihan kata yang terasa kental dengan diksional yang tak kenal kecenderungan, apalagi bendungan yang sengaja dibuat menahan kecenderungan anal atau alam.  Saya pikir, Di Hadapan Rahasia bisa menjadi salah satu wajah belia perpuisian modern Indonesia. Yang hendak menemukan pendewasaan di tempat-tempat jauh. Dengan cara-cara yang jauh dari; seperti anak-anak membakar petasan, minum air es di siang hari dalam kamar mandi, hingga sabar menanti sahur—lalu tertidur, Adimas tidak hanya sekedar merangkai kata, lebih dari itu—ia mengjangkau kita. Menyentuh keseluruhan isi dalam kepala, tubuh dan masa lalu.

Hampir keseluruhan puisi di dalamnya adalah hasil interpretasi langsung dari beberapa lukisan. Kepekatan dan hal-hal yang dirasa dalam, membuat Adimas berfikir lebih keras dalam menentukan judul bukunya. Taswir merupakan judul awal yang dipilihnya, memang puisi-puisi di dalamnya terinspirasi dari banyak lukisan dan ingin mengalihwahanakan lukisan tersebut. Jika dibaca dengan cara yang sama ketika menyicip kopi yang pekat—rasanya puisi-puisi di buku ini jauh lebih 'pekat' daripada puisi di karya-karya sebelumnya. Saya juga merasa puisi-puisi di buku ini seperti menyeret orang ke suatu tempat yang di dalamnya ada sepasang kekasih yang saling menikam rasa serta dalam suasana yang lain, menebar lembar-lembar perasaan kosong ke tengah mereka. Seolah ingin menyampaikan sesuatu tapi tidak cukup ingin menyatakannya dengan jelas. Puisi-puisi di buku ini pun berjarak, seperti cara manusia menghadapi rahasianya sendiri. Mencerminkan jarak orang lain di mata rahasia, tak terkecuali di dalam mata saya.

Satu hal, jika pembaca mengalah dengan banyak hal di atas—maka mata rahasia enggan menyimak kau dari jauh dan menutup matanya dalam-dalam. Kebalikannya, jika kita mengalahkannya, maka akan kau temukan (termasuk saya) rahasia di depan mata sendiri. Yang sedang sendiri menanti janji-janji untuk tidak menyatakannya dengan jelas. Atau berefek pada rak bukumu di rumah akan bertambah sempit, dengan satu tuntutan untuk menyelesaikan buku yang lain semakin deras mengalir menuju ingatan tentang isi dompet yang telah kosong.

(*)
Terbit di kolom Budaya Fajar Edisi Minggu, 07 Agustus 2016
Share: