![]() |
Buku kedua
dari penyair kelahiran Solo ini sebenarnya telah tandas saya baca beberapa
bulan lalu. Buku tipis yang hampir saya bawah ke mana-mana, setiap membawa tas.
Terakhir saya membawanya ikut bertamasya di salah satu pantai berpasir putih
terkenal di Sulawesi. Kesempatan bertemu dengan buku ini sebenarnya tak terlalu
layak untuk saya catat pada catatan ini. Alumni fakultas ekonomi Universitas
Dipoenegoro ini faktanya lebih menyukai dan memilih mendekatkan dirinya ke
dalam pusaran buku-buku sastra (dibanding buku-buku ekonomi), termasuk puisi.
“puisi merupakan medium paling cair untuk mengungkap sesuatu” katanya
Sebelumnya,
bukumpulan puisi “Pelesir Mimpi” menjadi karya yang membawanya meraih nominasi
Khatulistiwa Award (kusalah sastra khatulistiwa). Dan masih banyak lagi,
beberapa puisinya bisa dengan mudah ditemukan di beberapa tempat, seperti
Koran, majalah, antologi serta ketika jari-jari kalian mengetik namanya di
mesin pencarian (google) alam semesta. Pertama kali
menemukan wajahnya, “Di Hadapan Rahasia” saya langsung teringat beberapa
catatan singkat salah satu kawan—ia juga menyukai puisi (dan saya yakin ia
menyukai karya-karya Adimas). Isi dompet saya memutuskan menebusnya dengan
harga yang menurutnya mahal. Penjaga kasir di toko buku sedikit heran, dan
tentunya tanpa tanda-tanda memotivasi keraguan saya yang sempat datang, agar mungkin
wajah saya tak seperti kekurangan uang ketika diperhadapkan dengan buku yang
membuat saya mengalah. Saya memilih
tak kalah dengan itu—entah saya tak sempat memenuhi kecenderungan manusia untuk
makan tiga kali sehari.
Jika puisi
adalah lava of imagination bagi
Byron, maka bagi saya sendiri setelah membacanya—kepalaku lumpuh, dan berubah
menjadi yakni lost my imagination. Imaji
yang sedang lapar, menanti sepiring nasi dan beberapa lauk temannya. Efek
karena puasa. Imajinasi seolah pergi begitu saja, entah dengan sayap yang ia
sengaja. Entah ia pergi mencari nasi di mana, di rumah siapa yang hendak
menyatukannya lagi. Adimas sukses membuat pembacanya mencintai dengan
paradoksme perasaan berbeda ketika mencintai seseorang. Ia penyair muda yang
apik. Jika menyimak judul-judulnya dengan baik, maka hal yang biasa diruntuhkan
dengan pemilihan kata yang terasa kental dengan diksional yang tak kenal
kecenderungan, apalagi bendungan yang sengaja dibuat menahan kecenderungan anal
atau alam. Saya pikir, Di Hadapan Rahasia
bisa menjadi salah satu wajah belia perpuisian modern Indonesia. Yang hendak
menemukan pendewasaan di tempat-tempat jauh. Dengan cara-cara yang jauh dari;
seperti anak-anak membakar petasan, minum air es di siang hari dalam kamar
mandi, hingga sabar menanti sahur—lalu tertidur, Adimas tidak hanya sekedar
merangkai kata, lebih dari itu—ia mengjangkau kita. Menyentuh keseluruhan isi
dalam kepala, tubuh dan masa lalu.
Hampir
keseluruhan puisi di dalamnya adalah hasil interpretasi langsung dari beberapa
lukisan. Kepekatan dan hal-hal yang dirasa dalam, membuat Adimas berfikir lebih
keras dalam menentukan judul bukunya. Taswir merupakan judul awal yang
dipilihnya, memang
puisi-puisi di dalamnya terinspirasi dari banyak lukisan dan ingin
mengalihwahanakan lukisan tersebut. Jika dibaca dengan cara yang sama ketika
menyicip kopi yang pekat—rasanya puisi-puisi di buku ini jauh lebih 'pekat'
daripada puisi di karya-karya sebelumnya. Saya juga merasa puisi-puisi di buku
ini seperti menyeret orang ke suatu tempat yang di dalamnya ada sepasang
kekasih yang saling menikam rasa serta dalam suasana yang lain, menebar
lembar-lembar perasaan kosong ke tengah mereka. Seolah ingin menyampaikan
sesuatu tapi tidak cukup ingin menyatakannya dengan jelas. Puisi-puisi di buku
ini pun berjarak, seperti cara manusia menghadapi rahasianya sendiri.
Mencerminkan jarak orang lain di mata rahasia, tak terkecuali di dalam mata
saya.
Satu
hal, jika pembaca mengalah dengan banyak hal di atas—maka mata rahasia enggan
menyimak kau dari jauh dan menutup matanya dalam-dalam. Kebalikannya, jika kita
mengalahkannya, maka akan kau temukan (termasuk saya) rahasia di depan mata
sendiri. Yang sedang sendiri menanti janji-janji untuk tidak menyatakannya
dengan jelas. Atau berefek pada rak bukumu di rumah akan bertambah sempit,
dengan satu tuntutan untuk menyelesaikan buku yang lain semakin deras mengalir
menuju ingatan tentang isi dompet yang telah kosong.
(*)
Terbit di kolom Budaya Fajar Edisi Minggu, 07 Agustus 2016
