Jumat, 05 Agustus 2016

Membaca Anak dalam Tubuh

“sebab pembaca yang tumbuh, pembaca yang dewasa, merupakan pembaca yang memelihara roh anak-anak di dalam kepalanya. Roh rasa ingin tahu.” 

Dalam kalimat pembuka di atas, jelas bahwa kemampuan setiap manusia dalam mengolah kalimat dalam buku yang sama akan sulit menemukan kesamaan dalam satu komentar tentang hasil dati bacaan mereka. Karena di dalam tubuh manusia, terdapat 'anak' yang tidak selaras dengan manusia yang lain. Atau anak yang tidak pernah sama denga yang lain, ibarat sidik jari. Maksudnya, sifat rasa ingin tahu setiap manusia itu dibuat sama dengan perbedaam yang berbeda.

Kalimat terakhir dari salah satu esai tentang pertumbuhan selera membaca manusia. Dalam esai yang berjudul “apakah bacaan kita tumbuh?” menjelaskan secara sederhana bahwa apa yang kita baca ketika masih sekolah dasar akan berbeda dengan  yang kita baca saat sudah berumah tangga atau berkeluarga. Pada kalimat ini menjelaskan tentang sebuah kewajaran. Atau kebiasaan yang sangat biasa. Sedikit pun tak punya bantahan jika berbicara mengenai kebiasaan. Tapi apakah bacaan kita akan tetap tumbuh dengan menyelaraskan diri dengan usia kita?

Berbicara keselarasan berarti membincangkan kondisi intelektualitas seseorang dengan menganalisa antara usia dan pengalaman. Apakah dengan usia yang semakin tinggi mutlak memiliki pengalaman yang banyak pula. Kita pikir tidak? usia tidak mutlak menggambarkan wawasan dan pengetahuan seseorang lebih dibanding apa yang ia perlihatkan sehari-hari. Ia hanya sukar membohongi diri, maksud saya usia. Pengalaman justru yang lebih vital. Ia bisa menjadi salah satu alasan ketidaksesuaian antara pertumbuhan usia dan perkembangan pola pikir. Salah satu caranya tentu dengan banyak membaca buku. Sangat sederhana bukan?

Saya punya mimpi yang simpel. Dengan melibatkan penyesalan dari dalam diri, saya ingin melihat anak sekolah dasar telah diperhadapkan dengan tetraloginya Pramoedya. Atau penulis-penulis seperti Paulo Freire dengan politik pendidikannya, hingga kekerasan budaya pasca 1965 nya Wijaya Herlambang. Mengapa saya sampai berpikir sejauh itu. Terlepas dari situasi kepustakaan dan perbukuan Indonesia ketika saya masih sekolah dasar yang jika saya ceritakan amatlah kasihan—maka yang paling mendasari saya yakni tak jarang, beberapa mahasiswa yang notabennya berada pada rentang usia 19 hingga 25 tahun justru mendeklarasikan dirinya sebagai pembaca buku yang sejatinya bukan untuk mereka. Analoginya seperti saya ingin menulis novel dan menerbitkannya di penerbit-penerbit buku LKS dan soal-soal untuk UN. Sederhanya seperti ini, target sebuah penerbit dalam membidik pembaca justru melenceng. Dampaknya? Pertumbuhan bacaan yang semestinya bisa lebih subur dibanding yang ada dalam menyelesaikan buku-buku dengan kesesuaian antara pola pikir, hidup dan tentunya usia justru tidak tumbuh. Hanya dengan satu kata; melenceng. Seperti bola yang membentur mistar, sang penjaga gawang dan penendang akan merasakan satu hal yang hampir sama. Tetapi terasa sangat berbeda bagi kita, penonton. Penjaga gawang berharap agar bola itu tidak masuk ke gawang. Sebaliknya, penendang penuh harap bola itu masuk. Dari kejadian ini, kita bisa memetik kesimpulan bahwa ketidaksesuaian antara kemampuan, harapan dan menerima kenyataan akan berakibat berbahaya bagi yang terlibat di tiga rasa itu.

Dunia dewasa adalah alam yang liar. Saya meyakini bahwa tak ada orang yang bisa menyusun grafis pertumbuhan mana yang mesti dibaca oleh manusia remaja dan mana yang patut dibaca oleh mereka yang telah dewasa. Kita sadar semua ini persoalan selera, dan setiap orang mampu dengan mudah menemukan kesesuaian dirinya dengan buku-buku yang ada.

Mari berkenalan dengan salah satu teman, namanya Marias. Ia bernama lengkap Javier Marias. Seorang penyuka buku-buku klasik ketimbang kontemporer. Baginya, ia meyakini dirinya dengan penuh percaya bahwa pertumbuhan bacaannya berasal dari dirinya sendiri. Tak ada yang mampu membuat penyamarataan, seperti mana yang terlebih dahulu dibaca. Kafkah atau Marquez, atau Chekov dengan Dostoyevsky? Mm atau Umberto Uco?


Menjadi dewasa saya pikir tidak hanya semata berlabel usia. Lebih dari itu, kualitas bacaan bisa membangun kata “menjadi” berubah “bertindak”. Menjadi dewasa, saya rasa tak hanya ditentukan oleh bacaan apa yang kita pegang. Akan tetapi, kemampuan kita untuk memilih diri dan menentukan ke arah mana ingin kita berkembang. Jika kita tahu ke mana arah itu, secara tidak sadar kita bisa dengan lihai menentukan tahapan-tahapan perkembangan yang seperti apa cocok untuk dirinya. Yang artinya, begitu seseorang memasuki masa dewasa, ia pasti tahu apa yang seharusnya dibaca. Dengan cara seperti itu, manusia bisa terus menjadi anak-anak dan remaja tanpa cemas berhenti dibacan milik mereka. 

(*)
Pernah dimuat di kolom Opini http://estetikapers.com/opini/opini1.html
Share: