“sebab
pembaca yang tumbuh, pembaca yang dewasa, merupakan pembaca yang memelihara roh
anak-anak di dalam kepalanya. Roh rasa ingin tahu.”
Dalam
kalimat pembuka di atas, jelas bahwa kemampuan setiap manusia dalam mengolah
kalimat dalam buku yang sama akan sulit menemukan kesamaan dalam satu komentar tentang hasil dati bacaan mereka. Karena di dalam tubuh manusia, terdapat 'anak' yang tidak selaras
dengan manusia yang lain. Atau anak yang tidak pernah sama denga yang lain, ibarat sidik jari. Maksudnya, sifat rasa ingin tahu setiap manusia itu dibuat sama dengan perbedaam yang berbeda.
Kalimat
terakhir dari salah satu esai tentang pertumbuhan selera membaca manusia. Dalam
esai yang berjudul “apakah bacaan kita tumbuh?” menjelaskan secara sederhana
bahwa apa yang kita baca ketika masih sekolah dasar akan berbeda dengan yang kita baca saat sudah berumah tangga atau
berkeluarga. Pada kalimat ini menjelaskan tentang sebuah kewajaran. Atau kebiasaan
yang sangat biasa. Sedikit pun tak punya bantahan jika berbicara mengenai
kebiasaan. Tapi apakah bacaan kita akan tetap tumbuh dengan menyelaraskan diri
dengan usia kita?
Berbicara
keselarasan berarti membincangkan kondisi intelektualitas seseorang dengan menganalisa
antara usia dan pengalaman. Apakah dengan usia yang semakin tinggi mutlak
memiliki pengalaman yang banyak pula. Kita pikir tidak? usia tidak mutlak menggambarkan
wawasan dan pengetahuan seseorang lebih dibanding apa yang ia perlihatkan
sehari-hari. Ia hanya sukar membohongi diri, maksud saya usia. Pengalaman
justru yang lebih vital. Ia bisa menjadi salah satu alasan ketidaksesuaian
antara pertumbuhan usia dan perkembangan pola pikir. Salah satu caranya tentu
dengan banyak membaca buku. Sangat sederhana bukan?
Saya
punya mimpi yang simpel. Dengan melibatkan penyesalan dari dalam diri, saya
ingin melihat anak sekolah dasar telah diperhadapkan dengan tetraloginya
Pramoedya. Atau penulis-penulis seperti Paulo Freire dengan politik
pendidikannya, hingga kekerasan budaya pasca 1965 nya Wijaya Herlambang.
Mengapa saya sampai berpikir sejauh itu. Terlepas dari situasi kepustakaan dan
perbukuan Indonesia ketika saya masih sekolah dasar yang jika saya ceritakan
amatlah kasihan—maka yang paling mendasari saya yakni tak jarang, beberapa
mahasiswa yang notabennya berada pada rentang usia 19 hingga 25 tahun justru
mendeklarasikan dirinya sebagai pembaca buku yang sejatinya bukan untuk mereka.
Analoginya seperti saya ingin menulis novel dan menerbitkannya di
penerbit-penerbit buku LKS dan soal-soal untuk UN. Sederhanya seperti ini,
target sebuah penerbit dalam membidik pembaca justru melenceng. Dampaknya? Pertumbuhan
bacaan yang semestinya bisa lebih subur dibanding yang ada dalam menyelesaikan
buku-buku dengan kesesuaian antara pola pikir, hidup dan tentunya usia justru
tidak tumbuh. Hanya dengan satu kata; melenceng. Seperti bola yang membentur
mistar, sang penjaga gawang dan penendang akan merasakan satu hal yang hampir
sama. Tetapi terasa sangat berbeda bagi kita, penonton. Penjaga gawang berharap
agar bola itu tidak masuk ke gawang. Sebaliknya, penendang penuh harap bola itu
masuk. Dari kejadian ini, kita bisa memetik kesimpulan bahwa ketidaksesuaian
antara kemampuan, harapan dan menerima kenyataan akan berakibat berbahaya bagi
yang terlibat di tiga rasa itu.
Dunia
dewasa adalah alam yang liar. Saya meyakini bahwa tak ada orang yang bisa
menyusun grafis pertumbuhan mana yang mesti dibaca oleh manusia remaja dan mana
yang patut dibaca oleh mereka yang telah dewasa. Kita sadar semua ini persoalan
selera, dan setiap orang mampu dengan mudah menemukan kesesuaian dirinya dengan
buku-buku yang ada.
Mari
berkenalan dengan salah satu teman, namanya Marias. Ia bernama lengkap Javier
Marias. Seorang penyuka buku-buku klasik ketimbang kontemporer. Baginya, ia
meyakini dirinya dengan penuh percaya bahwa pertumbuhan bacaannya berasal dari
dirinya sendiri. Tak ada yang mampu membuat penyamarataan, seperti mana yang
terlebih dahulu dibaca. Kafkah atau Marquez, atau Chekov dengan Dostoyevsky? Mm
atau Umberto Uco?
Menjadi
dewasa saya pikir tidak hanya semata berlabel usia. Lebih dari itu, kualitas
bacaan bisa membangun kata “menjadi” berubah “bertindak”. Menjadi dewasa, saya
rasa tak hanya ditentukan oleh bacaan apa yang kita pegang. Akan tetapi,
kemampuan kita untuk memilih diri dan menentukan ke arah mana ingin kita
berkembang. Jika kita tahu ke mana arah itu, secara tidak sadar kita bisa
dengan lihai menentukan tahapan-tahapan perkembangan yang seperti apa cocok
untuk dirinya. Yang artinya, begitu seseorang memasuki masa dewasa, ia pasti
tahu apa yang seharusnya dibaca. Dengan cara seperti itu, manusia bisa terus
menjadi anak-anak dan remaja tanpa cemas berhenti dibacan milik mereka.
(*)
Pernah dimuat di kolom Opini http://estetikapers.com/opini/opini1.html