Sabtu, 13 Agustus 2016

Mengatai Kota dengan Kacamata Kata



Satu

Orang-orang ada untuk keadaan orang lain yang pura-pura, mereka menutup mata dan hanya bermain mata dengan kata-kata buta, tak ada rupa dan lupa bahwa perhatian hanya untuk manusia-manusia yang mendekati sempurna. Tak ada lagi penghargaan sesama, penghargaan hanya sebatas menghargai perbedaan saja, pun secara terpaksa dan dipaksa. Kota ini disulap hingga dipaksa menyamai surga, tapi yang terasa justru sebaliknya. Kejahatan di mana-mana, di setiap sudut jalan ramai hingga legang dengan orang-orangnya berjalan kaki, menikmati udara lembut sapuan pohon-pohon buatan. Manusia-manusia lebih suka bernafas dalam mobil, bepergian ke tempat-tempat hiburan gelap dan melupakan terang. Dunia ini sudah sepantasnya lelah dan meminta ditinggalkan.
Dua
Jalan untuk orang-orang dan kakinya sudah dilupakan. Menikmati hujan tidak lagi dengan payung, namun jas yang menutupi seluruh tubuh, menegaskan bahwa hujan sangatlah berbahaya. Dibanding dengan kata-kata, kejahatan akibat melupakan adalah kesendirian dalam hati dan diri sendiri. Mata untuk menatap hingga menetap jauh dalam mata kekasih hanya sia-sia, di matamu aku pernah melihat seseorang yang lain melihatku menatapnya. Aku tahu, dalam dirimu masih ada diriku. Namun, aku tidak tahu dalam matamu, entah siapa.
Tiga
Kacamata tak lagi memperjalas kota. Ia berubah menjadi katamata, kata dalam mata. Mulut orang saling mengumpat tanpa malu, memakan lidah dan menggigit gigi orang-orang terdekat. Lalu memberi makan orang-orang yang jauh hanya untuk melihat penderitaan terpinggirkan oleh uang dan kedudukan. Sementara, anak-anak lahir dari rahim yang entah dari mana dan milik laki-laki siapa. Selain es krim, kelamin adalah sarana dan wahana bermain untuk lidah dan mulut yang masih kanak-kanak. Kau adalah perempuan dewasa yang meniru anak-anak.
Empat
Di rumah, sekolah, pasar dan kantor polisi adalah penjara akal, kebebasan, kejujuran dan cinta. Orang-orang hidup hanya untuk saling mematikan, menyembuhkan hanya sebatas merawat diri dari kematian yang sebentar lagi memarahiku mengobatimu. Kita hanya gerombolan manusia-manusia dungu pesuruh kebodohan yang mencari kampus untuk sarjana.
2016

(*)
*Pertama kali dimuat di koran Fajar Makassar, edisi Minggu 7 Februari 2016
Share: