Saya
amat tidak percaya, demi apapun—bahkan demi cinta yang pernah meyakinkan diri
saya, katanya rindu selalu mampu menciptakan hujan buatan tanpa tanda-tanda
yang meyakinkan. Anggapan seperti langit gelap, gemuruh di atas langit atau
apapun itu, tak perlu meyakinkan perasaan siapapun. Hujan yang diyakini mampu
menggenangi tidak hanya sebuah titik kerendahan, dataran yang paling tinggi pun
seyongyanya tergenangi olehnya, atas kepergian yang nyata dan delusi cinta yang
menciptakan alusi yang berbeda—menunggu ketetapan serta ketepatan waktu untuk
tiba. Ya, selalu saja begitu, kebanyakan dari kita yang pernah merasa ditinggal
pergi oleh yang pernah ada kian memudarkan kedatangannya. Mungkin maksudnya
begini, tak ada yang betul-betul ingin merasakan rindu yang disengaja, tidak
ada perasaan cinta yang benar-benar tahu ke mana arah langkah selanjutnya
ketika kesedihan, kekecewaan, hingga putus asa mulai menandamatai kesedihan.
Atau seperti ini, tak ada yang mungkin tahu seberapa kuat kekuatan rindu yang
dimiliki untuk mengembalikan sesuatu yang pernah merasa saling memiliki.
Padahal, ada satu hal yang secara jelas mengundang semuanya—bahkan kenangan
yang tak pernah diakui oleh pemiliknya. Ya percayalah, bukan sekedar rindu yang
membawa kita pulang, sebab luka juga adalah jalan pulang itu sendiri.
Sebagai
pembaca, awalnya saya mengetahui buku rain
and tears itu dari suara-suara lamban di kampus. Suara-suara yang menolak
untuk kita dengar sebenarnya. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi, misalnya bahwa
buku dan kampus seraya pipi dan lesung pipit—jika tersenyum, wajah yang
ditinggalinya itu seperti ibarat perpustakaan dengan buku-buku bagus dan
pembaca yang menyukainya—serta pelayanannya yang baik, termasuk laki-laki yang
berambut panjang. Tidak ada senyum yang menolak hadirnya lesung pipit, bukan?
Atau seperti senyum dengan gigi yang berginsul, aduh. Apalagi berkuliah di
fakultas sastra, tidak mau ataupun tidak, kata bukulah yang selalu terdengar
dan didengar, setelah diskusi, musik, cinta, kesedihan hingga keresahan.
Sewaktu
masih membaca bukunya, jadi saya mencoba jujur terhadap diri sendiri tentang
cinta, selain buku ini adalah buah kepercayaan, kasarnya sebagai pinjaman dari
seorang teman. Seperti mendengar seorang teman yang curhat, di lembar pertama
novel tersebut sudah jelas, sang penulis mendeklarasikan diri sebagai seorang narrator yang cukup dewasa dengan kisah
percintaannya yang remaja. Saya tidak terlalu paham tentang remaja, walau pada
hakikatnya, sebelum membaca novelnya atau menulis ini, saya mengalami dunia
remaja itu sendiri—dan sepenuhnya, saya tidak menyadarinya dengan jujur. Bahkan
ketika perasaan menyukai telah melepaskan alur-plotnya begitu saja. Tanpa
prolog sama sekali.
Sejak
mulai menyukai buku-buku bernuansa romance
atau yang lebih tepatnya bergenre teenlit
seyongyanya adalah bukti tentang masa yang kembali yang belum menemukan waktu
kapan berhenti—minimal berganti. Tak ada yang betul-betul tahu hal apa yang
pernah kita benar-benar miliki, lalu betul-betul menghilang kemudian kembali
dengan sebutan yang baru. Jelas bahwa orang-orang kita selalu menjahati
kehilangan, paling tidak tak ingin mendapatinya. Mungkin diantara kita, ada
yang berteman dengan kehilangan—mirip seperti judul buku Sinta Ridwan, berteman dengan kematian. Ya, mungkin
saja kedua hal ini sama namun kebanyakan orang menganggapnya cukup berbeda.
Saling bertemu akan berimplikasi kepada kehilangan, entah siapa diantara
masing-masing yang merasakannya. Serta kematian adalah akhir dari kehidupan
yang terlalu nyata. Persamaannya, kematian dan kehilangan menyisakan rindu yang
sama. Hanya jalan menujunya yang sudah tentu berbeda.
Salah
satu kebiasaan saya adalah membicarakan buku, namun dari sisi luarnya.
Istilahnya dalam ilmu sastra disebut ekstrinsik.
Seperti misalnya berbicara tentang latar belakang penciptaannya dan kondisi
sosial pada saat karya itu ditulis. Ini penting, apalah arti dari isi suatu
buku jika unsur-unsur penciptaannya tak pernah ingin kita ketahui, minimal
mengerti. Ini sama seperti rindu dan luka, tetap berbicara perasaan, namun diluar
keduanya, demi menjaga semuanya yang dianggap masih belum dewasa. Tentu ini
adalah bentuk apresiasi yang lebih jauh dan tentu yang terpenting tidak
mempermainkan perasaannya.
Mulanya
membuat saya berpikir bahwa kisah ini diambil dari kisah nyata seorang teman
saya, Faisal Oddang. ditambah nama tokoh utama yang mengingatkan pada nama
penulis sendiri, Bahkan tertulis jelas banyak deskripsi dan narasi yang
menyiratkan serta berkonotasi kepada hal yang berangkat dari alasan pengalaman
pribadi, minat dalam dunia sastra, tokoh panutan yang sesuai dengan biodata
penulis. Dampaknya, di awal hingga pertengahan cerita, saya sempat menemui
musuh bernama dan terasa bosan, karena menganggap kisah ini mirip dari
kebanyakan cerita cinta ala remaja. Tapi kembali lagi ke paragrap sebelumnya,
saya tak terlalu paham dengan remaja. Ini anggapan dan asumsi, anggapan bahwa
ini adalah jalan yang pernah saya gagal buat, dulu. Serta asumsi yang sementara
saya bangun dengan materil yang belum lengkap. Serayanya sama seperti ini—sebelum
menyelesaikan semuanya.
Alur-plot
cerita pun agak lambat bagi saya hingga mulai nampak konflik utama yang
benar-benar menyulut emosi. Namun, penantian saya akhirnya tertebus di bagian
menuju penghujung kisah dan asumsi itu musnah sudah. Di banyak bagian, penulis
memang mengambil karakter pribadinya, namun kisah ini telah dibumbui penyedap
fiksi yang nyata dan akhirnya pun tak terduga. Kembalilah saya mengingat yang
pernah Faisal sampaikan kepada saya sewaktu di sebuah forum diskusi, tentang
usaha untuk menciptakan sebuah twist diakhir
sebuah prosa. Mungkin buku inilah menjadi jawaban dari pertanyaan saya semenjak
diskusi itu berakhir dengan banyak kemacetan dan lampu merah yang tetap
menyala-nyala di kepala saya.
“Aku
selalu ingat kamu mengibaratkan cinta sebagai bunga mawar... Bunga yang tumbuh
di tubuh tangkainya adalah cinta. Ketika hendak kamu petiki ia, itulah nafsu.
Lantas bunga dalam genggammu—dalam genggam nafsu, membiarkan waktu tanggal
begitu cepat. Layulah ia. Layulah cinta... Kamu tidak boleh memetik
bunga. Bunga mawar. Sebab pada waktunya, ia kan gugur juga. Di sanalah cinta
telah berhasil menuntun dirinya. Di waktu nafsu telah sah. Setelah menikah.”
Dan
Saya amat percaya, demi apapun—bahkan demi hujan dan air mata yang tidak lagi
pernah meyakinkan diri saya, tentang filosofis mawar dengan kaitan cinta dari
kedua tokoh utama di dalam buku rain and
tears.
(*)
*Pertama kali dimuat di Fajar Makassar edisi Minggu 10 April 2016