Sabtu, 13 Agustus 2016

Taman Bermain Dewasa


















Selama tiga bulan menanti, tentang sebuah event menulis puisi bertajuk ITS Expo 2015  yang dilangsungkan bulan Oktober 2015 di kampus Institute Sepuluh November Negeri Surabaya (ITS). Tidak menyangka, salah satu puisi saya yang berjudul Taman Bermain Dewasa terpilih sebagai pemenang IV Poetry Contest dalam pagelaran tersebut. Mengangkat tema yang paling dekat dengan Indonesia yakni cinta, berbudaya dan nusantara. Puisi tersebut saya tulis beberapa bulan sebelum dilaksanakan lomba menulis puisi tingkat nasional itu. Sebagai bentuk penghargaan, keseluruhan pemenang yang terpilih dari seluruh Indonesia dibukukan ke dalam sebuah antologi puisi dengan judul Cinta Budaya dan Nusantara, selain beberapa hadiah hiburan dari pihak panitia pelaksana.

/1/
segera, sebatang pohon tumbuh di wajahmu
ada sepasang danau yang menolak bersatu
suatu saat, danau itu akan meluap atas dua kata—entah terlalu bahagia
atau terlampau menyedihkan.

sebatang pohon tanpa mama, akal, gaun, langsing dan buah (dada)
atau tak ada nama, akar, daun, ranting, dan buah.
kedua lenganmu adalah dahan, lembah di lehermu
sungguh elok untuk kudaki dengan kekasihku
tanpa mencoba menuju puncakmu bernama cemburu

/2/
pertemuan kita adalah taman bermain dewasa,
kadang berarti surga kecil yang sengaja jatuh ke bumi.
pintunya dijaga oleh malaikat dari lubuk
Adam dan Hawa bertemu karena masing-masing dari kita merasa kesepian.

akankah Tuhan ingkar? ketika ia berjanji,
mengurung iblis itu dari tamparanmu.
menjauhkan ingatannya dari kepalaku,
menolak tamu bernama perasaan sebelum ia mengetuk pintu,
menginjak dadaku dengan kata-kata,
dan mengikat jantungku agar berhenti melangkah
menuju surga di antara kedua lenganmu

/3/
semak dan belukar menutupi liang bibirmu
menghalangi sepasang sungai mengalirkan
duka menuju kerendahan tubuhmu saat pulas.
ada tempat kusebut nusantara; menghamparkan hijau
di kedua matamu, laut yang menolak dangkal, selalu meminta agar ditumbuhi karang.

lalu dihinggapi ikan-ikan bersayap seperti kupu-kupu yang berenang,
yang kupancing dengan kail doa, tepat aku berdiri di salah satu tepian matamu

/4/
suatu sore, dibawah langit yang sedang hujan
meluap dari sepasang danau yang menolak bersatu.
kau adalah ikan hias yang kudoakan tak dapat berenang,
meski aku tahu doa itu tak selalu tentang kebenaran—harapanmu.
kedua danau itu adalah mantan rumahmu, yang selalu kau rindukan.

aku menolak agar kau ke sana,
kupotong ekormu dengan pelukan di tengah dingin.
berbohong kepada matahari pagi,
dan senyumanmu menjelma pagi, saat tidurku
berhenti menjadi mimpi yang setengah nyata.

(*)
Dimuat ke dalam antologi puisi Poetry EXPO ITS 2015 ''Cinta, Budaya dan Nusantara''

Share: