Siapa sangka, dari segelintir nama-nama oke beserta karyanya yang
keren yang sudah bisa dikatakan malang melintang di beberapa media
nasional—yang amat sangat kebetulan sekali sama-sama masuk menjadi nominasi dan
berpeluang memenangkan penghargaan tersebut. Penghargaan yang diberi nama
Anugerah sastra Litera tahun 2017. Penghargaan tersebut dibagi ke dalam dua
kategori yakni penyair dan cerpenis. Saya tak menduga nama saya berada pada
kategori yang pertama. Baiklah, melalui catatan ini saya akan sedikit berbagi
kesenangan dan perasaan bagaimana ketika karya kita menemui tempat yang paling
khikmat dan sentosa untuk kemudian diapresiasi oleh segelintir orang, meskipun
tak banyak.
Semester ini saya harus berjuang lebih progresif ketimbang
semester kemarin. Mengapa tidak, saya sudah harus ikut program kuliah kerja
nyata (KKN) yang didasari oleh janji anak laki-laki kepada mamanya di kampung
halaman. Akan tetapi, terdapat dua biji matakuliah yang harus saya lulusi
disemester yang bersangkutan dengan waktu pengabdian saya kepada dirimu (eh
maksudnya) masyarakat. Bisa dibayangkan bagaimana rumitnya mengatur waktu
antara belajar di kelas dan belajar di masyarakat. Yang pada akhirnya, salah
satu teman saya yang punya jadwal kuliah sama dengan saya lebih memilih total
dalam pengabdian ketimbang setia ikut di kelas salah satu profesor linguistik yang
labil di kampus saya. Mantap bro!
Singkat cerita, saya akhirnya ditempatkan di sebuah lokasi dengan
desa yang cukup ramah dan baik hati, kalau saya tidak salah ukur, jaraknya
sekitar sejam lebih dari kampus. Sejam lebih sedikit dari kontrakan saya. Saya tidak
akan menyebutnya, tenang saja, mungkin itu tak terlalu penting. Saya bersyukur,
setelah empat kali nama saya dioper-oper dari satu kabupaten ke kabupaten yang
tidak pernah saya harap dan mungkin saja juga tidak menginginkan saya. Dari
satu desa ke desa yang lain yang sama sekali tak pernah mengharapkan saya juga.
Di sini saya memamerkan sikap kepasraan saya yang sedikit ta’talekang.
Beberapa hari kemudian, saya baru tahu bahwa nama saya masuk
menjadi salah satu nominasi berkat beberapa puisi saya (Agape, Kopi Philia dan
Motor Tua) yang saya tulis 2016 lalu dari beberapa pemberitaan media nasional,
termasuk portal sastra online yang memuat beberapa karya saya. Berita itu
ditulis dan dipublikasikan bertanggal 31 Maret 2017 dan akan diumumkan pada
puncak acara di Tangerang, pada tanggal yang sangat spesial buat saya, 28 April
2017. Namun apa daya, surel undangan untuk menghadiri acara itu kemudian baru
saya baca pada tanggal 24 April 2017, mines 4 hari dari hari penganugerahan.
Saya mulai berpikir keras juga deras bagaimana bisa agar dapat mendapatkan
sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan saya terbang sendirian tanpa sayap ke
Ibu kota. Mengingat setelah saya membaca dan melihat eflyernya,
saya cukup dibuat takjub oleh orang-orang yang akan bisa saya temui di sana.
Sebut saja Sutardji C Bachri, Maman S Mahayana hingga Hasan Aspahani.
Sampai saya menuliskan catatan ini, keinginan saya untuk hadir
diacara penganugerahan itu kemudian urung saya lakukan. Meskipun sangat ingin.
Bukan karena belum ada uang atau tiket pesawat. Tapi karena Makassar punya
pelukan yang lebih hangat dari satu orang bernama kekasih ketimbang anugerah
sastra yang kadang menyengat dan bisa saja lebih mirip ilusi. Olehnya itu,
melalui catatan ini saya mengucapkan selamat kepada ke 23 nominator (termasuk
diri saya) yang akan menjadi dua pemenang dari masing-masing kategori. Meskipun
pengumuman itu baru bisa kita ketahui sama-sama besok, jumat 28 april 2017
tepat usia saya berjalan selangka menuju angka yang baru. Sekian dan salam dari
kota Daeng.
(*)