Adakah
usia tertentu untuk jatuh cinta? Kau bertanya dengan serius, dan saya mencoba
menjawabnya dengan hati-hati. Saya pikir tidak ada, sayang, kataku. Saya sangat
yakin kau mencintaiku, meskipun kau tahu ada orang di sisi tubuhku yang lain. Kau
tetap yakin, dan kau salah. Buktinya dia (mungkin) lebih mencintaiku ketimbang
kau dengan segala macam perhatianmu itu—ah sudahlah, kau terlalu serius
memaknai perasaanmu. Sederhananya, aku tidak mencintaimu.
Paragrap
di atas jika dibaca dengan serius cukup menggaggu nalar sebenarnya. Ya, cukup
menggaggu harapan. Kalimat itu mungkin sangat sering muda-mudi temui di akhir
kenyataan yang pahit. Meyakini sepenuh hati, dan diyakini setengah hati—hingga
suatu ketika jadilah hati tak ubahnya seperti pelacur. “Mana yang kau pilih,
pelacur ‘hati’ atau pelacur ‘kelamin’?” Paragrap pembuka di atas sudah tentu
condong ke pilihan yang kedua. Ya, pelacur hati. Seorang laki-laki atau
perempuan yang sebenarnya telah memiliki atau dimiliki seseorang, kemudian
menempatkan diri (tanpa hati) ke hati yang lain bermodal balas budi. Kasihan
sekali yang bernama Budi itu. Dan itu bukan masalah, Budi tak suka membaca. Iya
hanya suka ditanya oleh Ibu Guru di sekolah dasar. Hati bisa dibagi kepada
siapapun—untung rugi punya peran dinamis di sini. Jadilah komersialisasi hati.
Pelacur
yang baik adalah ia yang bekerja tanpa mengedepankan perasaannya. Mungkin
kalimat yang baru saja kita baca sama-sama itu kelihatan atau kedengaran
samar-samar. Saya sepakat. Kau bukan pelacur, atau mucikari yang jahanam. Saya
bukan pelacur, atau penikmat jasa-jasa mereka.
Mari
melupakan potongan perasaan di atas. Terjemahannya masih amburadul. Mari
mengkampanyekan kesetiaan. Jika sepakat, kesetiaan hanya milik mereka yang
membaca dan, tentunya yang berupaya menulis, bukan pelacur. Berbicara pelacur,
saya kemudian ingat kepada salah satu novel yang ditulis oleh Gabriel Garcia
Marquez (Gabo), seorang novelis Kolombia dan peraih nobel sastra tahun 1982. Tak
ada pembaca sastra yang meragukan kemapanan Gabriel Garcia Marquez. Saya
meyakininya seperti Yesus yang tetap setia pada salibnya. Gabriel Garcia
Marquez merupakan seorang literature
master yang dikenal dengan genre magic
realism (realisme magis). Meskipun tak semua karyanya terselimuti genre
tersebut. Akan tetapi dominasi dan kritikus sastra menyatakan dengan khitmat
bahwa beliaulah founding father salah
satu aliran yang lahir pada fase postmodernisme tersebut. Satu aliran dengan Jorge
Luis Borges dan Isabel Allende, Gabo menuliskan karya-karya yang berbenturan
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada abad ke-20, di mana peristiwa yang
sebenarnya imaginatif diceritakan secara realistis, sehingga kesan yang
dihasilkan terasa seperti nyata dan benar-benar ada. Seperti kau dengan gayamu
yang PHP itu. Selain itu, sebagian besar karya Gabo sendiri punya hubungan
kausalitas yang mengenai sisi hidup dari usia lanjut, kematian, cinta, dan
hal-hal tak masuk akal. Sastrawan kolombia ini punya tempat khusus di hati
saya.
Dalam
Novel yang berjumlah 133 halaman ini, Gabo bercerita tentang kehidupan seorang
wartawan senior yang menghabiskan hampir sebagian besar hidupnya berhubungan
seks dengan para pelacur. Pengalaman dengan pelacur pertamanya dimulai saat ia
berumur 12 tahun. Tokoh "aku" ini tidak memiliki obsesi terhadap
cinta dan pernikahan. "Seks adalah pelipur lara untuk orang yang tidak
punya cinta". Narator dalam novel tersebut kemudian menghubungi mucikari langganannya bernama Rosa Cabarcas
untuk disiapkan seorang pelacur usia 14 tahun yang masih perawan. Ia datang
saat pelacur tanpa nama—yang kemudian diberi nama Delgadina oleh tokoh
"aku" yang tengah tertidur. Sang tokoh memperhatikan seluruh detail
dari Delgadina dan jatuh cinta pada sosok yang sedang tertidur itu. Ia pun
datang berkali-kali ke tempat Rosa Cabarcas, menemui Delgadina, dan melewati
malam bersamanya yang sedang tertidur. Salah
satu klimaks disisipkan dalam sebuah kejadian di mana terjadi sebuah pembunuhan
di tempat pelacuran Rosa Cabarcas, kemudian tokoh "aku" sulit
menghubungi Rosa Cabarcas untuk mengetahui kabar Delgadina karena tempat
tersebut ditutup oleh dinas kesehatan. "aku" kemudian mengamati para
perempuan yang lewat di lingkungan tersebut sambil menebak-nebak rupa Delgadina
jika berada di dalam posisi terjaga. Bahkan tokoh "aku" digambarkan
takut jika melihat Delgadina selain dalam keadaan tertidur. Kejeneniusan Gabo
terletak pada letak tokoh dari Delgadina yang ditempatkan pada posisi yang pasif,
namun menggingit. Rasanya seperti jatuh cinta pada imajinasi yang diciptakan
sendiri. Bahkan di awal-awal cerita, tokoh "aku" berkata bahwa
bayangan Delgadina begitu jelas sehingga ia bisa mengubah Delgadina seperti
yang ia mau di dalam pikirannya.
Novel
yang sangat minim dialog. Jika pun ada, ia akan berasosiasi menjadi teks-teks
naratif. Dan itu punya cukup pengaruh terhadap pembaca-pembaca lugu. Seperti
jika membaca kudapan teks yang menutup esai ini. Aku terjaga saat dini hari,
tidak ingat tempatku berada. Kau masih tidur seperti dalam rahim, punggungmu
menghadap ke arahku. Samar-samar kurasakan ia bangkit dari kegelapan dan
mendengar bunyi air yang mengalir ke kamar mandi, tapi mungkin saja itu hanya
mimpi. Ini benar-benar baru bagiku. Aku lugu dalam seni membaca ,merayu dan
selalu memilih pengantin satu malamku dengan acak, lebih dari harga ketimbang pesonanya.
Kami bercinta tanpa cinta.
(Makassar 2017)
(*)
Terbit di harian FAJAR Makassar edisi Minggu, 02 Juli 2017