Minggu, 02 Juli 2017

Bercinta Tanpa Cinta Bersama Pelacur yang Sendu



Adakah usia tertentu untuk jatuh cinta? Kau bertanya dengan serius, dan saya mencoba menjawabnya dengan hati-hati. Saya pikir tidak ada, sayang, kataku. Saya sangat yakin kau mencintaiku, meskipun kau tahu ada orang di sisi tubuhku yang lain. Kau tetap yakin, dan kau salah. Buktinya dia (mungkin) lebih mencintaiku ketimbang kau dengan segala macam perhatianmu itu—ah sudahlah, kau terlalu serius memaknai perasaanmu. Sederhananya, aku tidak mencintaimu.
Paragrap di atas jika dibaca dengan serius cukup menggaggu nalar sebenarnya. Ya, cukup menggaggu harapan. Kalimat itu mungkin sangat sering muda-mudi temui di akhir kenyataan yang pahit. Meyakini sepenuh hati, dan diyakini setengah hati—hingga suatu ketika jadilah hati tak ubahnya seperti pelacur. “Mana yang kau pilih, pelacur ‘hati’ atau pelacur ‘kelamin’?” Paragrap pembuka di atas sudah tentu condong ke pilihan yang kedua. Ya, pelacur hati. Seorang laki-laki atau perempuan yang sebenarnya telah memiliki atau dimiliki seseorang, kemudian menempatkan diri (tanpa hati) ke hati yang lain bermodal balas budi. Kasihan sekali yang bernama Budi itu. Dan itu bukan masalah, Budi tak suka membaca. Iya hanya suka ditanya oleh Ibu Guru di sekolah dasar. Hati bisa dibagi kepada siapapun—untung rugi punya peran dinamis di sini. Jadilah komersialisasi hati. 
Pelacur yang baik adalah ia yang bekerja tanpa mengedepankan perasaannya. Mungkin kalimat yang baru saja kita baca sama-sama itu kelihatan atau kedengaran samar-samar. Saya sepakat. Kau bukan pelacur, atau mucikari yang jahanam. Saya bukan pelacur, atau penikmat jasa-jasa mereka.
Mari melupakan potongan perasaan di atas. Terjemahannya masih amburadul. Mari mengkampanyekan kesetiaan. Jika sepakat, kesetiaan hanya milik mereka yang membaca dan, tentunya yang berupaya menulis, bukan pelacur. Berbicara pelacur, saya kemudian ingat kepada salah satu novel yang ditulis oleh Gabriel Garcia Marquez (Gabo), seorang novelis Kolombia dan peraih nobel sastra tahun 1982. Tak ada pembaca sastra yang meragukan kemapanan Gabriel Garcia Marquez. Saya meyakininya seperti Yesus yang tetap setia pada salibnya. Gabriel Garcia Marquez merupakan seorang literature master yang dikenal dengan genre magic realism (realisme magis). Meskipun tak semua karyanya terselimuti genre tersebut. Akan tetapi dominasi dan kritikus sastra menyatakan dengan khitmat bahwa beliaulah founding father salah satu aliran yang lahir pada fase postmodernisme tersebut. Satu aliran dengan Jorge Luis Borges dan Isabel Allende, Gabo menuliskan karya-karya yang berbenturan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada abad ke-20, di mana peristiwa yang sebenarnya imaginatif diceritakan secara realistis, sehingga kesan yang dihasilkan terasa seperti nyata dan benar-benar ada. Seperti kau dengan gayamu yang PHP itu. Selain itu, sebagian besar karya Gabo sendiri punya hubungan kausalitas yang mengenai sisi hidup dari usia lanjut, kematian, cinta, dan hal-hal tak masuk akal. Sastrawan kolombia ini punya tempat khusus di hati saya.
Dalam Novel yang berjumlah 133 halaman ini, Gabo bercerita tentang kehidupan seorang wartawan senior yang menghabiskan hampir sebagian besar hidupnya berhubungan seks dengan para pelacur. Pengalaman dengan pelacur pertamanya dimulai saat ia berumur 12 tahun. Tokoh "aku" ini tidak memiliki obsesi terhadap cinta dan pernikahan. "Seks adalah pelipur lara untuk orang yang tidak punya cinta". Narator dalam novel tersebut kemudian menghubungi  mucikari langganannya bernama Rosa Cabarcas untuk disiapkan seorang pelacur usia 14 tahun yang masih perawan. Ia datang saat pelacur tanpa nama—yang kemudian diberi nama Delgadina oleh tokoh "aku" yang tengah tertidur. Sang tokoh memperhatikan seluruh detail dari Delgadina dan jatuh cinta pada sosok yang sedang tertidur itu. Ia pun datang berkali-kali ke tempat Rosa Cabarcas, menemui Delgadina, dan melewati malam bersamanya yang sedang tertidur. Salah satu klimaks disisipkan dalam sebuah kejadian di mana terjadi sebuah pembunuhan di tempat pelacuran Rosa Cabarcas, kemudian tokoh "aku" sulit menghubungi Rosa Cabarcas untuk mengetahui kabar Delgadina karena tempat tersebut ditutup oleh dinas kesehatan. "aku" kemudian mengamati para perempuan yang lewat di lingkungan tersebut sambil menebak-nebak rupa Delgadina jika berada di dalam posisi terjaga. Bahkan tokoh "aku" digambarkan takut jika melihat Delgadina selain dalam keadaan tertidur. Kejeneniusan Gabo terletak pada letak tokoh dari Delgadina yang ditempatkan pada posisi yang pasif, namun menggingit. Rasanya seperti jatuh cinta pada imajinasi yang diciptakan sendiri. Bahkan di awal-awal cerita, tokoh "aku" berkata bahwa bayangan Delgadina begitu jelas sehingga ia bisa mengubah Delgadina seperti yang ia mau di dalam pikirannya.
Novel yang sangat minim dialog. Jika pun ada, ia akan berasosiasi menjadi teks-teks naratif. Dan itu punya cukup pengaruh terhadap pembaca-pembaca lugu. Seperti jika membaca kudapan teks yang menutup esai ini. Aku terjaga saat dini hari, tidak ingat tempatku berada. Kau masih tidur seperti dalam rahim, punggungmu menghadap ke arahku. Samar-samar kurasakan ia bangkit dari kegelapan dan mendengar bunyi air yang mengalir ke kamar mandi, tapi mungkin saja itu hanya mimpi. Ini benar-benar baru bagiku. Aku lugu dalam seni membaca ,merayu dan selalu memilih pengantin satu malamku dengan acak, lebih dari harga ketimbang pesonanya. Kami bercinta tanpa cinta.

(Makassar 2017)


(*)

Terbit di harian FAJAR Makassar edisi Minggu, 02 Juli 2017 


Share: