Menyadarkan
kenangan itu ibarat kita. Saling mencoba menghidupkan, hingga hidup menemui
mati sebelum berbahagia. Menyadarkan kenangan itu seperti membangunkan kamu
saat bermimpi dengan mantan kekasihmu yang hampir menemukan “indah” di
akhirnya. Lalu, kenangan itu ternyata serpihan-serpihan kecewa yang pernah kau
rajut dalam benangku yang masih kusut.
1
Pernah kucoba meninggalkan mulut bahagia, sebelum terbuka lalu berbicara aku sudah basi dengan alasan yang dikatakan jahat menjawab kata mengapa dari kedua bibirku. Kusematkan berbagai titah buat kau takdirkan. Dariku, tuntunlah bayangmu agar tak selalu merasa menjadi kau.
2
Senyum itu menjadi tidak enak saat dinikmati di waktu yang tidak tepat. Apalagi, bersama orang yang kurang pas, begitu kah menurutmu? Jika iya, mengapa setiap hari-hariku di tempat kita bertemu, engkau selalu memaki, menciduk, melukai, bahkan membunuhku dengan bibir. Semanis dan seindah itukah ketidaktepatan itu.
3
Mau bagaimana lagi. Saya telah mencoba mencintaimu dalam kenangan, pun berusaha melukaimu juga. Hasilnya apa, aku semakin cinta dalam membencimu, dan kau semakin benci dalam mencintai.
2015
1
Pernah kucoba meninggalkan mulut bahagia, sebelum terbuka lalu berbicara aku sudah basi dengan alasan yang dikatakan jahat menjawab kata mengapa dari kedua bibirku. Kusematkan berbagai titah buat kau takdirkan. Dariku, tuntunlah bayangmu agar tak selalu merasa menjadi kau.
2
Senyum itu menjadi tidak enak saat dinikmati di waktu yang tidak tepat. Apalagi, bersama orang yang kurang pas, begitu kah menurutmu? Jika iya, mengapa setiap hari-hariku di tempat kita bertemu, engkau selalu memaki, menciduk, melukai, bahkan membunuhku dengan bibir. Semanis dan seindah itukah ketidaktepatan itu.
3
Mau bagaimana lagi. Saya telah mencoba mencintaimu dalam kenangan, pun berusaha melukaimu juga. Hasilnya apa, aku semakin cinta dalam membencimu, dan kau semakin benci dalam mencintai.
2015