Memulai hidup ibarat menunggu "kendaraan" di sebuah halte bernama
takdir. Sebuah kendaraan yang telah Tuhan antarkan untuk menjemput kesiapan
manusia menghadapi arus lalu lintas dunia, menghantar ke berbagai
terminal-terminal yang hendak ia ingin tujuh. Kehidupan memang layaknya kondisi
di jalan, terkadang ada yang melanggar dan mentaati aturan lalu lintas. Sebuah
awal kehidupan akan selalu menciptakan proses menuju kebahagiaan, ibarat senyum
yang tercipta tanpa alasan, beban serta ikatan. Manusia selalu mencari jalan
cepat untuk menggapai tujuan hidup yang berlabel cita-cita, setelah
itu--hendaklah menunggu kendaraan selanjutnya bernama "mati", tentu
dengan harapan dan cara yang sama ketika terlahir memulai hidup, bahagia.
Dalam bukunya, berjudul "berteman dengan kematian", bagaimana seorang
Sinta Ridwan (karakter utama dalam novel ialah dirinya sendiri) melukis
pengalaman dirinya sendiri ke dalam kanvas berbagai warna yang secara detail
menciptakan sebuah kisah yang sungguh inspiratif dan mengharu biru. Berdasarkan
kisah nyata dari seorang penulis yang bercita-cita membangun museum naskah kuno
nusantara ini, secara bijak menghadapi sebuah kenyataan pahit yang membuat
hari-harinya kian terpuruk, terbayang selalu dibenaknya perihal kematian yang
terus saja tersenyum dan seakan-akan melambaikan tangan di depan yang hendak
menjadi teman selanjutnya, yang menunggu untuk segera memeluk tubuh lupusnya
yang kian pilu. Namun, justru berkat kenyataan itu, kehidupan Sinta yang memang
berasal dari keluarga broken home mampu menemukan dan memberi makna baru yang
lebih pada hidupnya. Ia mengenal berbagai orang yang tulus mengenal dirinya,
termasuk bertemu dengan kekasihnya, menanggung biaya kuliahnya sendiri serta
adik-adiknya, dan memberikan senyum dan semangat terbaik yang ia punya terhadap
orang-orang di sekitarnya, terutama penderita seperti dirinya; bahwa hidup
harus tetap dihidupi, sebab pada akhirnya, menghidupi hidup adalah obat
sesungguhnya dari setiap makhluk hidup di dunia.
Memaknai kehidupan dengan sebuah keyakinan tentang kematian, Sinta, gadis
cantik penderita lupus berjuang terus menerus memaknai hari demi hari menjelang
kematian, justru dengan aneh membuat setiap langkahnya menjadi begitu lebih
berharga; membuatnya merasa lebih mengerti tentang makna dari sebuah keabadian
hidup, indahnya kematian yang justru membuat banyak orang lupa tentang arti
kesementaraan. Sebuah kisah berdasarkan kisah nyata yang dialami langsung oleh
penulisnya, digarap dengan tangan dan cerita halus, namun menyentuh serta
dibingkai dengan bukti-bukti gambar orisinil dari dokumen pribadi penulis
membuat novel ini menjadi begitu memiliki nilai lebih, dan tentu istimewa.
Kisahnya dimulai ketika Sinta hendak beranjak menuju usia ke-25, di salah satu
kaki gunung di Bandung yang sangat dingin, di mana suhu udara sehari sebelum
perayaan api harapan tertiup. Aktifitas alam menjadi salah satu alasan manusia
bertindak atas dirinya, termasuk Sinta yang tidak bernafsu untuk makan
dikarenakan cuaca yang membuat tubuhnya tak lagi memiliki energi cadangan. Lemas
menjadi teman menunggunya saat itu--selain orang-orang yang ia cintai yang ia
harapkan datang dan menjadi "tamu" dengan hadiah dalam genggaman hati
yang sederhana--sebuah ucapan selamat ulangtahun, tentu dengan senyum yang
mengisyaratkan cinta kepada dirinya.
Seorang Sinta menjalani masa-masa kecilnya dengan ketidakbahagiaan. Pun sarat
dengan ketidakpahaman tentang makna kehidupan (menurut saya itu sangat wajar
dikarenakan masih balita). Faktor kedua orangtua menjadi hal utama yang
menciptakan ketidakharmonisan dalam diri Sinta--pekerjaan orangtua serta
aktifitas-aktifitas yang layaknya sebuah keluarga bahagia jauh dari harapan
Sinta. Ibunya merupakan sosok pekerja keras dan penghasil uang ibarat mesin,
dengan kebiasaan "gonta-ganti" pekerjaan. Otak bisnisnya selalu
menapaki jalan, walau itu sesempit vagina perawan, akan dilewati untuk satu
alasan--mendapatkan uang. Sedangkan, sosok ayah Sinta memiliki tipikan pendiam
dan penurut jika istrinya lebih cekatan dan lincah menghasilkan pundi-pundi
rupiah. Kebiasaan Ayahnya yang diam dan banyak memendam ini menimbulkan akibat
fatal beberapa tahun kemudian. Hal yang sekecil biji salak dan setajam batu
kerikil itu menjadi awal mula keretakan hubungan dalam keluarganya.
Berteman dengan kematian Ombak 2011, sebenarnya merupakan segerombolan
catatan-catatan kecil harian di blog pribadi Sinta, katanya seperti
"curhat" (di halaman 358--salam penutup). Lama kelamaan catatan kecil
itu membentuk sebuah kisah yang membuat serius mengabadikannya kedalam sebuah
buku berjudul BDK (singkatan). Pada tahun 2009 menjadi tahun ia mengawali,
merangkai, membuat kerangka dan menuliskannya kedalam sebuah naskah. Setahun
lebih waktu yang ia butuhkan untuk menggabungkan potongan-potongan kecil
menjadi sebuah dunia baru yang layak diketahui dunia ini tahu beserta
manusianya. Empat bulan pun waktu dibutuhkan untuk memolesnya dengan
pijatan-pijatan lembut dari orang-orang terdekatnya; masukan, kritik serta
saran, utamanya dari penerbit yang bersedia melahirkan naskahnya menjadi sebuah
bentuk buku yang menginspirasi banyak orang, termasuk kaum lupus, dan normal
seperti kita. Kematian tidak selalu tentang kesedihan dan kesepian, ia bisa menjadi alasan
perihal mengapa engkau mesti kuabadikan