Senin, 21 September 2015

Kupahami Kau Lewat Mayat


/1/

dia menjadi mayat ingatan di liang masa lalu,

dan hanya kebetulan (kau), tak sengaja merampas nyawanya

yang sementara menjilati kebahagiaan. Di tengah hujan, di langit sakit oleh gemuruh sang matahari,

sembab oleh tangisan anak perempuan, juga mereka yang kau pasung dengan janji ber-ego.

Memahamimu adalah kembali menjalani masa lalumu

/2/

kau lapuk, seperti tumpukan buku-buku tak berguna

berjejer diantara penjajah selangkangan di pinggiran jalan, melepaskan kain ketatmu,

berasa sama saat membuka bungkusan plastik bening sebuah buku puisi lama.

Aku bisa membaca sampulnya, namun buta dalamnya.

ketika hendak menuju ranjang kelambu masa depan bernama penyair.

Aku adalah penyair, kau puisi yang hendak kupahami lewat panggung malam pertama.

/3/

kugotong tubuhmu ke pelaminan, ditemani mantan kekasihmu

dengan mata putih, tanpa bola mata hitam. kain putih menghangatkan, kafan kau ganti dengan gaun, bersama kedua lenganku—melingkari tubuhmu

penghulu terbaik adalah nisan yang kau beli dengan tulus menerima

dan kau pun menemu akhir

/4/

kupahami kau bukan karena dirimu berharga

bukan pula aku yang pandai menikmati tubuhmu di sore hari ditemani secangkir kopi sutera agar pahit kita rasakan di awal

ketika kedua tungkaimu terbuka seperti buku puisi lama yang dia tulis tanpa melalui bilik

bilik tempatmu menghempaskan lelahku.

menunggu laki-laki membaca jauh ke dalam perpustakaan yang basah dan penuh belukar

oleh karena mantanmu adalah sejarah yang tak sadar kau tulis sendiri

dengan air mata, mani dan keringat.

menjadi sebuah buku catatan untuk aku baca, sebagai kekasihmu berikutnya.

/5/

tempatkan aku di tempat yang semestinya

di tempat yang rindang oleh kutang penghalang burung yang hendak mencicipi

buah yang sedang tumbuh di lembah dadamu.

tanpa angin berteriak, hingga daun merelakan angin menggugurkan

usianya.

dahan itu adalah kedua lenganmu, tempat yang tepat untuk aku menghangatkan tubuh bodoh yang kupunya

dengan sayap kecil menggenggamku

/6/

maukah jika aku yang memandikanmu, untuk yang terakhir kalinya

walau pertemuan pertama, kita bermandikan air mata

kekecewaan langit pada Tuhan, memisahkan ia dengan bumi, mantan terindahnya.

adakah yang mesti ia tinggalkan, sebelum menjadi mayat?

atau kau, yang dahulu mempertanyakan ini.

jika pertanyaan ini untukku, apakah kita mesti sama-sama mati untuk tidak menjawabnya

atau menjawabnya, lalu meninggalkanmu dengan hidup-hidup.

aku memayatkan perasaanku, tanpa berharap perasaanmu menguburnya

dengan kafan sebagai penggantimu, memelukku.

/7/

ingat kah kau oleh yang sunyi

katanya, kesepianmu adalah mempelaimu yang setia, setiap saat

membungkus ketakutan lewat lekuk dan garis di teras kening,

tempat kita diringkus oleh peri, menutupi gelisah lewat senyuman matamu

biarlah sendiriku dimekarkan oleh siraman yang dingin

membeku, seperti ditelan mimpi saat aku terbangun menemukan

yang bukan diriku lagi, di pagi yang juga bukan kau lagi

“bagaimana cara menyembunyikan diriku dari dirimu?”

lalu, kudengar jiwamu menjatuhkan tangis, menyeruh dari dalam diriku yang paling jauh

dan aku merasa sedang bercinta dengan orang yang kubenci

/8/

kubayangkan kau tidur di gubuk pelupuk mata yang gelap

tapi kau menjelma cahaya setengah telanjang, telentang sebagai guling di sepasang mataku, aku ingin memintamu bangun dan menyuruhmu berhenti diingatanku.

kepalaku sudah berupaya menolak tidurmu. tapi

ia sudah jadi tempat tidurmu jauh sebelum aku membangunnya

dan mengenal dirimu

2015
Share: