Kupahami Kau Lewat Mayat
/1/
dia menjadi mayat ingatan di liang masa lalu,
dan hanya kebetulan (kau), tak sengaja merampas nyawanya
yang sementara menjilati kebahagiaan. Di tengah hujan, di langit sakit oleh gemuruh sang matahari,
sembab oleh tangisan anak perempuan, juga mereka yang kau pasung dengan janji ber-ego.
Memahamimu adalah kembali menjalani masa lalumu
/2/
kau lapuk, seperti tumpukan buku-buku tak berguna
berjejer diantara penjajah selangkangan di pinggiran jalan, melepaskan kain ketatmu,
berasa sama saat membuka bungkusan plastik bening sebuah buku puisi lama.
Aku bisa membaca sampulnya, namun buta dalamnya.
ketika hendak menuju ranjang kelambu masa depan bernama penyair.
Aku adalah penyair, kau puisi yang hendak kupahami lewat panggung malam pertama.
/3/
kugotong tubuhmu ke pelaminan, ditemani mantan kekasihmu
dengan mata putih, tanpa bola mata hitam. kain putih menghangatkan, kafan kau ganti dengan gaun, bersama kedua lenganku—melingkari tubuhmu
penghulu terbaik adalah nisan yang kau beli dengan tulus menerima
dan kau pun menemu akhir
/4/
kupahami kau bukan karena dirimu berharga
bukan pula aku yang pandai menikmati tubuhmu di sore hari ditemani secangkir kopi sutera agar pahit kita rasakan di awal
ketika kedua tungkaimu terbuka seperti buku puisi lama yang dia tulis tanpa melalui bilik
bilik tempatmu menghempaskan lelahku.
menunggu laki-laki membaca jauh ke dalam perpustakaan yang basah dan penuh belukar
oleh karena mantanmu adalah sejarah yang tak sadar kau tulis sendiri
dengan air mata, mani dan keringat.
menjadi sebuah buku catatan untuk aku baca, sebagai kekasihmu berikutnya.
/5/
tempatkan aku di tempat yang semestinya
di tempat yang rindang oleh kutang penghalang burung yang hendak mencicipi
buah yang sedang tumbuh di lembah dadamu.
tanpa angin berteriak, hingga daun merelakan angin menggugurkan
usianya.
dahan itu adalah kedua lenganmu, tempat yang tepat untuk aku menghangatkan tubuh bodoh yang kupunya
dengan sayap kecil menggenggamku
/6/
maukah jika aku yang memandikanmu, untuk yang terakhir kalinya
walau pertemuan pertama, kita bermandikan air mata
kekecewaan langit pada Tuhan, memisahkan ia dengan bumi, mantan terindahnya.
adakah yang mesti ia tinggalkan, sebelum menjadi mayat?
atau kau, yang dahulu mempertanyakan ini.
jika pertanyaan ini untukku, apakah kita mesti sama-sama mati untuk tidak menjawabnya
atau menjawabnya, lalu meninggalkanmu dengan hidup-hidup.
aku memayatkan perasaanku, tanpa berharap perasaanmu menguburnya
dengan kafan sebagai penggantimu, memelukku.
/7/
ingat kah kau oleh yang sunyi
katanya, kesepianmu adalah mempelaimu yang setia, setiap saat
membungkus ketakutan lewat lekuk dan garis di teras kening,
tempat kita diringkus oleh peri, menutupi gelisah lewat senyuman matamu
biarlah sendiriku dimekarkan oleh siraman yang dingin
membeku, seperti ditelan mimpi saat aku terbangun menemukan
yang bukan diriku lagi, di pagi yang juga bukan kau lagi
“bagaimana cara menyembunyikan diriku dari dirimu?”
lalu, kudengar jiwamu menjatuhkan tangis, menyeruh dari dalam diriku yang paling jauh
dan aku merasa sedang bercinta dengan orang yang kubenci
/8/
kubayangkan kau tidur di gubuk pelupuk mata yang gelap
tapi kau menjelma cahaya setengah telanjang, telentang sebagai guling di sepasang mataku, aku ingin memintamu bangun dan menyuruhmu berhenti diingatanku.
kepalaku sudah berupaya menolak tidurmu. tapi
ia sudah jadi tempat tidurmu jauh sebelum aku membangunnya
dan mengenal dirimu
2015