Kamis, 03 September 2015

'memantankan' hingga 'memakamkanmu', sepiring balada


Adakah yang lebih abadi dari menggalikanmu makam di pelupuk dadaku yang terdalam? barangkali, kita lupa bahwa pernah, tidak semata-mata gagal mempertahankan, kadang pun, tidak selalu menemani tawa-tangis untuk kita rawat sendiri, tanpa suntik dan ruang berwarna putih. mungkin, adakah kau yang selalu berusaha mengingat hal yang berusaha kau lupakan sendiri buat menenangkanku? menjinakkan sebuah khawatir yang masih liar, di sebuah padang yang diapit oleh dua bukit indah tepat di dadamu, berburu cemburu dengan lukanya yang masih berdarah, akibat bekas pelukan oleh kedua lenganku yang masih labil. Pernahkah cemburu menamai dirinya? sebagai mantan, ia bisa saja menjadi judul tentang puisi bernama kekasih yang disalah artikan oleh patah hati. atau seperangkat satir hingga berubah elegi untuk menamainya sebagai kenangan berbungkus duka-cita ditambah lara. dan ia bukan aib atau sesal, mantan adalah upaya untuk menamai setia dan kenangan. Kekasih bisa jadi gundukan tanah merah, lalu menjelma sebagai kamar untuk menikahkan raga yang lupa menemukan mempelai ketika berdiri di atasnya. Tanpa taburan bunga, pernikahan ini pun terjadi di sebuah makam di belakang dua bukit itu, bernisankan kenangan masa lalu yang kedaluwarsa oleh waktu yang memaksa dewasa Jalan menuju ke pemakaman tidak lagi seperti jalan yang tak pernah usai kita lalui. Kau berdalih, sebelum ayunan kaki tertapak, angin menghapusnya, dan aku lupa arah menujunya. Oleh karena sebaik-baiknya harapan, hidup tanpanya adalah mematikan tubuh dan memaksanya mencintai diri sendiri.


Asal kau tahu, aku pernah mengajakmu untuk menyeberang jalan itu, jalan yang pernah membuatmu terluka oleh pejalan kaki yang gagal menemanimu. Aku juga pernah mengajakmu mencintaiku, tanpa meminta cinta itu utuh saat kau berikan. Memakamkanmu adalah mencintaimu dengan keabadian, menjodohkan raga kita tanpa saling memiliki dengan jemari yang masing menggenggam. Rasa saling memiliki bisa menjadi dosa dan penambah rasa sakit paling awet, ketika masing-masing diantara kita merasa kehilangan. Mungkin, kehilangan bagi tubuhku adalah neraka yang paling sunyi, dengan dingin yang menerjang hingga menuntaskan endapan perasaanku pada perasaanmu yang masih diselimuti oleh dosa kebodohan. dan diam ini adalah kau yang mencintaiku tanpa kata Adakah yang lebih pilu dari memutuskan benang yang masih kusut ketika kau hendak memintalnya dengan hati-hati (hati)? Sepiring senyuman di pagi hari, dengan secangkir cinta di sampingnya. Ketika baru saja terbangun, kau menjelma pagi yang beraroma kekasih dalam kelambu keabadian. Kadang kau berwajah Ibu yang menghadirkanku di tempat ini (dunia) yang ikhlas vaginanya kutinggali berbulan-bulan, tanpa bayaran sedikit pun. tapi, kau bukan kekasih yang sebagaimana kau kira. kau lebih dari itu, bahkan lupa kepada cara-cara terbaik untuk segera melamarmu.
Share: