Dua
bulan terakhir ini, saya berbahagia. Selain karena PSM Makassar menang besar
empat nol dengan Bali United akhir pekan kemarin, dan di awal pekan ini, klub
favorit saya sedari tumbuh dan berkembang, Manchester United melibas Burnemouth
dengan skor tiga satu di pekan pertama liga Inggris—hampir sepuluh sajak dan
puisi-puisi saya dimuat di beberapa media nasional. Saya tidak akan
menyebutkannya media apa saja,. Jika kebelet ingin tahu, kata kunci dengan
menggunakan nama saya mungkin bisa diketik di mesin pencarian (Alam) semesta
jika komputermu terhubung dengan internet. Terakhir saya mendapat kabar esai
sederhana yang sempat ditulis menjelang sahur ketika bulan puasa dimuat di
salah satu kolom sastra dan budaya. Kabar yang saya terima saat menonton
langsung di stadion Andi Mattalatta, ketika PSM bersua Persegres Gresik United.
Kesimpulannya, dua bulan terakhir saya ‘lumayan’ senang. Meski tanpa kau yang
sulit tuk dikenang.
Nah,
sebulan yang lalu—kurang lebih seperti itu, salah satu puisi saya terlibat ke
dalam satu buku antologi yang menurut saya unik dan penuh makna. Unik karena
baru pertama kali ini, saya terlibat dalam penulisan buku puisi yang melibatkan
banyak orang. Tak tanggung-tanggung, seribu orang. Buku puisi dengan ketebalan yang mungkin saja
hampir menyamai tetralogi milik Pram. Penuh makna, karena sebuah kebanggaan
dapat terlibat bersama dengan salah satu peraih Khatulistiwa Award, yakni
Gunawan Maryanto. Antologi buku puisi yang ini diberi judul Aquarium dan delusi.
Buku
itu sangat prestisius. Mengapa tidak, baru kali ini, sebuah buku puisi
diterbitkan dengan jumlah kertas sebanyak itu. Selain kabar yang selalu hangat
bahwa Aquarium dan Delusi rencananya akan merengkuh rekor MURI dengan buku dengan
jumlah penulis terbanyak di Indonesia. Sekarang, saya bersama kekasih kawan
saya sedang menunggu distribusi buku tersebut. Kabarnya, di bulan ini—seribu orang
akan menerima paket itu dengan penuh cemas. Semoga tidak meriang.