Jumat, 27 Januari 2017

Di Tanah Merah



 Ia telah menemukan api bagi sebuah simbol perlawanan. Orang-orang percaya kau akan menyesali alasanmu mengamalkan isi buku itu. Kau kehilangan kendali. Ada yang mencuci isi kepalamu. Sejak Bapak meninggal, kau seperti meninggalkan dirimu yang dulu. Ayah dari Mama, hingga Bapak dari Ayah Mama juga akan sedih. Itu pasti mereka akan dicegat oleh Tuhan di atas sana. Seluruh perjuangan yang selama ini mereka bangun akan termakan kesia-siaan. Di surga, mereka akan sedih melihat keturunannya ikut ke dalam komplotan ikat kepala merah. Meneriakkan seruan merdeka! Revolusi! Dan ya, kau seperti memakan mentah-mentah istilah yang sering ditabukan layar-layar hitam putih. Kau komunis! kau ikut membunuh dan menghabisi nyawa orang-orang tak berdosa. Kau menulis banyak sekali. Tulisan-tulisanmu memang kuat, tajam dan keras serupa samurai mengeluarkan isi perut pejabat.

Sadarlah! Kakek pernah mengalami hal serupa, kau tahu itu. Ia hampir mati lantaran ia yakin ada yang salah dengan negara ini. Ada yang tidak benar dengan pemerintahannya, otoritarian. Dan ya, mereka berhasil membuat kita—mayoritas dari kita takut untuk melawan. Takut banyak bicara. Termasuk diriku. Aku malu karena kau lebih baik, dik. Ketakutan berhasil mereka tanam lewat banyak hal, dan yang pasti—kita terlalu banyak diam, menunggu dan sudah itu, kita sadar kita dimakan negara sendiri.

**

“Buka pintunya!”

“Badar!”

“Cepat pergi!”

Perasaanku terhambur. Belum juga kuselesaikan minum dan juga makanku, mereka datang lagi. Mencariku dengan membawa pucuk-pucuk kesalahan yang selalu sama. Orang-orang sewaan itu. Yang sebenarnya diantara mereka adalah bekas perkumpulanku dulu. Mereka telah berkhianat terhadap diri mereka, dengan senjata dan sepatu laras panjangnya, juga kemewahan yang abadi. Entah dari mana Jenderal tahu tempatku. Badar langsung menyuruhku pergi dari rumah. Menyeretku tanpa menghabiskan kopi buatannya.

“Cepat kau pergi!”

“Lewat sini, dan larilah ke tempat yang aman”

“Dila?”

“Biar aku yang urus, cepatlah!”

Tidak! Ia masih tidur. Sebenarnya aku sudah memperkirakan meraka akan datang. Mencariku. Kemungkinan terkecil akan membuangku ke pulau buruh. Bersama tahanan-tahanan lain yang juga rekan seperjuanganku di lembaga kebudayaan. Aku terpaksa melakukannya. Aku tidak ingin ia mati seperti yang perempuan-perempuan yang lain. Aku mencitainya. Perempuan berjilbab itu masih terlelap, menidurkan lelah setelah seharian menemaniku mengambil singkong. Aku mencintainya. Sungguh, aku sangat mencintainya. Semoga ia tak mencemaskanku.

“Istirahatlah, besok kita akan pergi.”

“Mas, juga.”

“Iya sayang”

Sesaat sebelum matanya tertutup, aku mencium keningnya. Ia menyadari itu. Hanya itu yang bisa kuceritakan. Maaf!, sekali lagi maaf. Aku bukan teroris atau buronan yang nekat melarikan diri dari rumah tahanan pemerintah. Aku juga bukan buruan untuk pasar gelap yang dihargai mahal. Aku bukan pemberontak. Aku hanya membangkang. Aku pun bukan orang yang selalu dikejar kreditur Bank akibat pinjaman yang membengkak. Aku hanya masyarakat biasa. Sama seperti kalian. Sama sepertimu. Aku hanya ingin bertemu pak presiden, dan mengatakan langsung di depannya bahwa negara ini kaya. Negara ini punya potensi. Negara ini tak perlu orang asing. Negara ini memiskinkan rakyatnya. Negara ini neraka!

Surat-suratku ditolak, tapi tak berhenti menulis. Koran-koran stensilan satu-satunya tempat untuk kepedulian presiden melihat kami. Aku punya komplotan. Lebih tepatnya organisasi rakyat. Kami punya simbol ikat kepala merah. Kelasnya jauh dari kelas anda yang mulia. Kami berasal dari turunan buruh, juga petani. Bahkan tidak kedua-duanya. Tapi kami bukan pencuri atau pembawa lari uang rakyat. Kami yakin ada yang salah. Kami kelaparan di tanah kami. Bagaimana mungkin kota berbahagia melihat penderitaan kami di sini. Kami senasib untuk membenci pemerintah, juga kacang hijau itu. Mereka orang-orang berotak kapital. Jika kami bersuara, maka pucuk senapan lebih punya muara. Kami harus mati di tangan pemerintah.

“Bakar rumahnya!”

“Anjing!”

“Keluar kau semua! Sialan!”

“Tunduk!”

“Kami bukan penjahat!”

Suara-suara tendangan, pukulan, bahkan cacimaki kami terima. Semua itu masih tersimpan jelas diingatanku. Bagaimana teriakan Mama, juga Ayah yang penuh dengan darah. Adik-adikku mati karena diperkosa dari hidup sampai mati. Kami yang tersisa sulit melupakannya. Pastinya mereka dapat tersenyum melihat perjuanganku memimpin kelompok ini. Dan malam ini, sebelum kami berkumpul—mereka, kacang hijau bersenjata itu mendatangi rumah Badar.

“Mana dia!”

“Ada apa ini? Tak ada siapa-siapa di sini, pak!”

“Geledah! Diam kau.”

“Baik pak!”

“Kau sembunyikan di mana berandal itu, hah!”

Bogem mentah mendarat ke wajah laki-laki sederhana itu. Kopia yang dikenakannya jatuh ke tanah. Tak ada lantai di sana. Ia terlutut. Mengerang. Menahan sesuatu dari mulutnya. Baju kokohnya kusut, kemudian corong pistol menempel di samping keningnya. “Kau sembunyikan di mana dia!?”

“Siapa?” nadanya tercekik

“Jancok!”

“Orang ini” fotonya kelihatan buram

“Tak ada siapa-siapa di sini!!”

Anak buahnya kembali. Wajahnya tegang. Salah satunya menghadap, membawa secarik kertas dan memberikannya ke pimpinan bertato segitiga dengan lingkaran kecil di bagian bawah rahangnya. Ia juga terlihat memegang sendal jepit merah.

“Ada mayat di kamar, pak!”

“Apa kau bilang?”

“Ada orang mati di kamar. Seorang perempuan, berjilbab.”

“Anjing kau, Badar! Pembunuh bayaran!!”

“Dila? Kau apakan dia, hah!”

“Keparat!”

“Antek-antek PKI!”

“Ini pak!”

“Aku ingin jadi peluru. Apa ini?” Kau berkhianat

“Dia ada di sini, ini buktinya.”

“Baru saja ia melarikan diri. Kami yakin orang itu pergi setelah mendengar suara ketukan pintu yang keras. Kami menemukan surat ini di meja kamar itu”. Tunjuk salah satu tentara dengan moncong senapannya. “Kau menyembunyikannya? Bangsat! Berani kau!”

“Bunuh dia!”

“Penghianat!”

Allahuakbar”

Tembakan meleset. Tapi itulah yang tersiar hingga sampai ke telinga banyak orang. Ia mati sebagai pahlawan revolusi. Itulah yang sempat kudengar. Yang diketahui bernama Badar mati lantaran menyembunyikan kakek.

Dan nenek, setelah ia tertidur malam itu—ia tak terbangun lagi. Sedikitpun. Suara pistol tak membangunkannya. Pemberontak melihat perempuan yang tidur dengan sangat lelap. Mereka heran. Tubuhnya dingin. Kenang salah satu teks dalam buku sejarah. Orang-orang percaya Badar mati karena menjadi peluru. “Jika aku menulis dilarang, aku akan menulis dengan tetes darah.”

Darahnya mewakili suara kakek. Suara simbol perlawanan kala itu. Dan tragisnya, orang-orang percaya kakek sengaja membunuh nenek dengan menuangkan racun di gelas air minumnya. Sesaat sebelum ia mencium keningnya dan tidur selamanya.

“Kakek bukan pembunuh!”

Sampai hari ini, kakek hilang. Kabarnya tak jelas. Ia mati tetapi tak punya tanda atau kuburan. Ia seperti ditelan semesta dan tak menyisakan apa-apa. Tuhan sengaja menyembunyikannya. Aku yakin itu. Tuhan mencintai rakyatnya.

“Matilah kata-kata”



(2017)

(*)
dimuat di kolom cerpen Cakrawala, Makassar-Gowa.
Share: