Ia telah menemukan api
bagi sebuah simbol perlawanan. Orang-orang percaya kau akan menyesali alasanmu
mengamalkan isi buku itu. Kau kehilangan kendali. Ada yang mencuci isi
kepalamu. Sejak Bapak meninggal, kau seperti meninggalkan dirimu yang dulu. Ayah
dari Mama, hingga Bapak dari Ayah Mama juga akan sedih. Itu pasti mereka akan
dicegat oleh Tuhan di atas sana. Seluruh perjuangan yang selama ini mereka
bangun akan termakan kesia-siaan. Di surga, mereka akan sedih melihat
keturunannya ikut ke dalam komplotan ikat kepala merah. Meneriakkan seruan
merdeka! Revolusi! Dan ya, kau seperti memakan mentah-mentah istilah yang
sering ditabukan layar-layar hitam putih. Kau komunis! kau ikut membunuh dan
menghabisi nyawa orang-orang tak berdosa. Kau menulis banyak sekali.
Tulisan-tulisanmu memang kuat, tajam dan keras serupa samurai mengeluarkan isi
perut pejabat.
Sadarlah! Kakek pernah
mengalami hal serupa, kau tahu itu. Ia hampir mati lantaran ia yakin ada yang
salah dengan negara ini. Ada yang tidak benar dengan pemerintahannya, otoritarian.
Dan ya, mereka berhasil membuat kita—mayoritas dari kita takut untuk melawan.
Takut banyak bicara. Termasuk diriku. Aku malu karena kau lebih baik, dik. Ketakutan
berhasil mereka tanam lewat banyak hal, dan yang pasti—kita terlalu banyak
diam, menunggu dan sudah itu, kita sadar kita dimakan negara sendiri.
**
“Buka pintunya!”
“Badar!”
“Cepat pergi!”
Perasaanku terhambur.
Belum juga kuselesaikan minum dan juga makanku, mereka datang lagi. Mencariku
dengan membawa pucuk-pucuk kesalahan yang selalu sama. Orang-orang sewaan itu.
Yang sebenarnya diantara mereka adalah bekas perkumpulanku dulu. Mereka telah
berkhianat terhadap diri mereka, dengan senjata dan sepatu laras panjangnya, juga
kemewahan yang abadi. Entah dari mana Jenderal tahu tempatku. Badar langsung
menyuruhku pergi dari rumah. Menyeretku tanpa menghabiskan kopi buatannya.
“Cepat kau pergi!”
“Lewat sini, dan larilah ke tempat yang
aman”
“Dila?”
“Biar aku yang urus, cepatlah!”
Tidak! Ia masih tidur.
Sebenarnya aku sudah memperkirakan meraka akan datang. Mencariku. Kemungkinan
terkecil akan membuangku ke pulau buruh. Bersama tahanan-tahanan lain yang juga
rekan seperjuanganku di lembaga kebudayaan. Aku terpaksa melakukannya. Aku
tidak ingin ia mati seperti yang perempuan-perempuan yang lain. Aku
mencitainya. Perempuan berjilbab itu masih terlelap, menidurkan lelah setelah
seharian menemaniku mengambil singkong. Aku mencintainya. Sungguh, aku sangat
mencintainya. Semoga ia tak mencemaskanku.
“Istirahatlah, besok kita akan pergi.”
“Mas, juga.”
“Iya sayang”
Sesaat sebelum matanya
tertutup, aku mencium keningnya. Ia menyadari itu. Hanya itu yang bisa
kuceritakan. Maaf!, sekali lagi maaf. Aku bukan teroris atau buronan yang nekat
melarikan diri dari rumah tahanan pemerintah. Aku juga bukan buruan untuk pasar
gelap yang dihargai mahal. Aku bukan pemberontak. Aku hanya membangkang. Aku
pun bukan orang yang selalu dikejar kreditur Bank akibat pinjaman yang
membengkak. Aku hanya masyarakat biasa. Sama seperti kalian. Sama sepertimu.
Aku hanya ingin bertemu pak presiden, dan mengatakan langsung di depannya bahwa
negara ini kaya. Negara ini punya potensi. Negara ini tak perlu orang asing.
Negara ini memiskinkan rakyatnya. Negara ini neraka!
Surat-suratku ditolak,
tapi tak berhenti menulis. Koran-koran stensilan satu-satunya tempat untuk
kepedulian presiden melihat kami. Aku punya komplotan. Lebih tepatnya
organisasi rakyat. Kami punya simbol ikat kepala merah. Kelasnya jauh dari
kelas anda yang mulia. Kami berasal dari turunan buruh, juga petani. Bahkan
tidak kedua-duanya. Tapi kami bukan pencuri atau pembawa lari uang rakyat. Kami
yakin ada yang salah. Kami kelaparan di tanah kami. Bagaimana mungkin kota
berbahagia melihat penderitaan kami di sini. Kami senasib untuk membenci pemerintah,
juga kacang hijau itu. Mereka orang-orang berotak kapital. Jika kami bersuara,
maka pucuk senapan lebih punya muara. Kami harus mati di tangan pemerintah.
“Bakar rumahnya!”
“Anjing!”
“Keluar kau semua! Sialan!”
“Tunduk!”
“Kami bukan penjahat!”
Suara-suara tendangan,
pukulan, bahkan cacimaki kami terima. Semua itu masih tersimpan jelas
diingatanku. Bagaimana teriakan Mama, juga Ayah yang penuh dengan darah.
Adik-adikku mati karena diperkosa dari hidup sampai mati. Kami yang tersisa
sulit melupakannya. Pastinya mereka dapat tersenyum melihat perjuanganku
memimpin kelompok ini. Dan malam ini, sebelum kami berkumpul—mereka, kacang
hijau bersenjata itu mendatangi rumah Badar.
“Mana dia!”
“Ada apa ini? Tak ada siapa-siapa di
sini, pak!”
“Geledah! Diam kau.”
“Baik pak!”
“Kau sembunyikan di mana berandal itu,
hah!”
Bogem mentah mendarat
ke wajah laki-laki sederhana itu. Kopia yang dikenakannya jatuh ke tanah. Tak
ada lantai di sana. Ia terlutut. Mengerang. Menahan sesuatu dari mulutnya. Baju
kokohnya kusut, kemudian corong pistol menempel di samping keningnya. “Kau sembunyikan
di mana dia!?”
“Siapa?” nadanya tercekik
“Jancok!”
“Orang ini” fotonya kelihatan buram
“Tak ada siapa-siapa di sini!!”
Anak buahnya kembali.
Wajahnya tegang. Salah satunya menghadap, membawa secarik kertas dan
memberikannya ke pimpinan bertato segitiga dengan lingkaran kecil di bagian
bawah rahangnya. Ia juga terlihat memegang sendal jepit merah.
“Ada mayat di kamar, pak!”
“Apa kau bilang?”
“Ada orang mati di kamar. Seorang
perempuan, berjilbab.”
“Anjing kau, Badar! Pembunuh bayaran!!”
“Dila? Kau apakan dia, hah!”
“Keparat!”
“Antek-antek PKI!”
“Ini pak!”
“Aku ingin jadi peluru. Apa ini?” Kau
berkhianat
“Dia ada di sini, ini buktinya.”
“Baru saja ia melarikan diri. Kami yakin
orang itu pergi setelah mendengar suara ketukan pintu yang keras. Kami
menemukan surat ini di meja kamar itu”. Tunjuk salah satu tentara dengan
moncong senapannya. “Kau menyembunyikannya? Bangsat! Berani kau!”
“Bunuh dia!”
“Penghianat!”
“Allahuakbar”
Tembakan meleset. Tapi
itulah yang tersiar hingga sampai ke telinga banyak orang. Ia mati sebagai
pahlawan revolusi. Itulah yang sempat kudengar. Yang diketahui bernama Badar
mati lantaran menyembunyikan kakek.
Dan nenek, setelah ia
tertidur malam itu—ia tak terbangun lagi. Sedikitpun. Suara pistol tak
membangunkannya. Pemberontak melihat perempuan yang tidur dengan sangat lelap.
Mereka heran. Tubuhnya dingin. Kenang salah satu teks dalam buku sejarah. Orang-orang
percaya Badar mati karena menjadi peluru. “Jika aku menulis dilarang, aku akan
menulis dengan tetes darah.”
Darahnya mewakili suara
kakek. Suara simbol perlawanan kala itu. Dan tragisnya, orang-orang percaya
kakek sengaja membunuh nenek dengan menuangkan racun di gelas air minumnya.
Sesaat sebelum ia mencium keningnya dan tidur selamanya.
“Kakek bukan pembunuh!”
Sampai hari ini, kakek
hilang. Kabarnya tak jelas. Ia mati tetapi tak punya tanda atau kuburan. Ia
seperti ditelan semesta dan tak menyisakan apa-apa. Tuhan sengaja
menyembunyikannya. Aku yakin itu. Tuhan mencintai rakyatnya.
“Matilah kata-kata”
(2017)
(*)
dimuat di kolom cerpen Cakrawala, Makassar-Gowa.