Minggu, 27 November 2016

Mendengar Laki-laki, Perempuan yang Menulis dan Menangis Karena Puisi




Dalam kepalanya ia tahu, satu puisi atau bahkan tak terhitung puisi bisa lahir dari kesedihan, kutukan, atau kepuasan, dan pusatnya adalah kesunyian. Bayangkan betapa berharganya kesunyian itu, minimal di kalangan para penulis puisi. Saya tidak akan menjelek-jelekkan manusia-manusia yang membenci ini, mencela mereka yang anti dengan sebutan jomlo atau meludahi wajah orang-orang seperti plato atau aristoreles yang sok bijak itu—sungguh saya tidak pantas melakukan semua itu. Apalagi bagi perempuan seperti saya yang lebih suka mendengar, menyimak dan menatap laki-laki hidup dalam dunia rekaannya sendiri, mengabaikan dunia nyata yang tak pernah lengkap dengan pengalaman cinta. Atau tulisan-tulisan ringan dari laki-laki yang menulis dan membuat diri saya terasa hidup dan dikenal banyak orang, utamanya kepada para pembaca koran sastra yang setia, terima kasih banyak. Kisah ini terjalin tanpa saling mendahului, atau melanggar rambu-rambu yang ditentukan oleh pihak berwajib. Jadi tenang saja, tak ada tilang menilang atau langgar melanggar, saya akan berusaha menjadi tokoh yang baik. Dan tentu saja, dengan semangat cewek yang baru saja menginjakkan kaki di dunia kampus, dan belajar sastra—saya akan menceritakan yang penting-penting saja.

**

Debu beterbangan di jalan-jalan kota, berafiliasi menjadi seperti kabut pekat di kota Riaw. Kota Riaw adalah kota tempat salah satu temanku. Kota yang terkenal dengan kabutnya yang pekat, hingga dapat memudarkan penglihatan orang-orang baik dan jahat ketika berkendara. Asap-asap kendaraan tak lagi nampak, hanya lampu-lampu dan umpatan-umpatan bahasa melayu yang sering terdengar di jalan-jalan kota. Kata temanku, kota itu punya andil besar terhadap bahasa Indonesia. Ketika ia mengatakan itu, saya tertarik ingin belajar ke kota itu. Tapi ketika tayangan berita di TV mengatakan siaga asap, dan kebakaran akibat api yang berkobar seperti semangat pejuang empat lima, ketertarikanku akhirnya longgar, pada akhirnya pudar dan memilih kota Ujungpantang sebagai pilihan yang kesekian. Alasannya cukup sederhana, kota itu menjadi kota terbesar di pulau ini. Begitupun dengan jaraknya yang dekat dengan rumahku, di Rantepao.

Tak seperti Riaw, Ujungpantang cukup terkenal di kalangan mahasiswa di pulau seberang. Kota ini terkenal dengan karakter pemuda, begitupun petuanya yang serba pantang. Pantang mundur sebelum maju, pantang kenyang sebelum bersendawa, pantang jujur sebelum berbohong, pantang tidur sebelum menguap bahkan pantang menyakiti sebelum merasakan. Di kota ini, saya mengenalnya. Laki-laki berambut ikal penyuka susu, kopi dan pembenci rokok. Yang mengajarkan saya banyak hal, ketika awal-awalku pindah di kota ini.

Dia senior yang sempat menampar kedua pipiku dengan sandal gunung sewaktu ospek hanya persoalan sepele. Waktu itu, saya tidak sengaja menumpahkan minuman di almamaternya ketika istirahat, dan saya menerima tamparan itu. Bagi sebagian laki-laki di sini, menyakiti perempuan seperti sama saja membunuh siri’ na pacce di dalam tubuhnya. Saya tidak mengerti apa maksudnya, dan saya juga merasa tidak tersakiti—olehnya ia bukan pembunuh atau apapun itu yang orang-orang istilahkan di sini. Yang penting akibat tamparan sandal gunung itu, hubungan kami dapat terbangun. Kami berpacaran begitu singkat.

Pagi ini, Poki—skuter saya kembali mogok. Suntili’, saya akhirnya dapat berucap kata itu. Di kota ini, istilah itu punya makna dua arah. Jika dikatakan kepada orang yang dekat sekaligus akrap, maknanya akan terasa kita semakin dekat dan sudah masuk fase sayang menyayangi. Apabila sebaliknya, maka tak usah heran jika kata itu berbuah bogem mentah yang lumayan bisa meretakkan kemaluanmu.

Di depan, gerai koran yang menyediakan berbagai jenis bacaan dan juga kopi le’leng baru saja buka. Karena skuterku mogok, dan bengkel di depannya belum buka, saya singgah saja di gerai itu.

“Selamat pagi, pak. Sudah buka?”, helm bogo tanpa kaca kulepas dari kepalaku. “Iya, baru buka. Silahkan masuk”. Buru-buru saya memarkir motor kesayanganku.

Telepon di saku celana jins belelku berdering, sebuah pesan singkat dari si Akademisi, sekaligus penjilat ulung “dosen tidak masuk pagi ini, beliau berhalangan hadir karena sakit”, saya bahagia. Pikirku dari dalam hati yang paling dalam saya mengucap syukur. Dosen bangsat itu akhirnya sakit. Ketiban doaku sepertinya. Iya, doa anak yang teraniya cepat dikabulkan, kata ustad di masjid kampus. Minggu lalu ia sempat mengeluarkanku dari kelas hanya persoalan celanaku robek di bagian lututnya. Katanya, tidak etis seorang perempuan bergaya seperti gayaku. Apa yang salah? Begitu dangkal bukan cara berfikirnya. Setelah membanting pintu dengan lembut, saya spontan berdoa agar dosen itu sakit. Sakit jiwa kalau perlu.

“Kopi ta’ satu, tidak pakai gula”, kuambil satu koran yang selama ini sering kubaca. Di bagian depan koran menyiarkan tiga reportoar di panggung politik. Ketiga hal itu menyangkut persoalan kota dan keindahannya. Di panggung yang berbeda dalam satu bangunan adalah penyajian yang saya maksud mirip dengan novel Milan Kundera. Tetapi cara ini menjelaskan satu persoalan yang sama, ruang kota senantiasa menuntut masyarakat menjadi manusia dinamis yang kehilangan waktu untuk berkontemplasi. Seakan berkatarsis hanya milik kaum agamawan atau bangsawan yang senang merenungkan kehidupan akhirat. Sementara permasalahan banjir, sampah dan juga macet secara nyata kita hadapi tak pernah cukup serius dikalahkan. Kusesap kopi hitamku. Membosankan sekali konten berita pagi ini. Di halaman selanjutnya, saya menemukan hal yang cukup membahagiakan. Di halaman rubrik sastra, puisi yang ditulis oleh laki-laki itu terbit. Judulnya kematian. Pada hari aku mati, tolong bantu aku mengingat ini; ibu berdiri di atas dengkul, kau mendongak tangan Ibu mengangkat pelembab bibir, bibirmu mengerucut monyong mengeriput. Ibu memulas, kini bibirmu seperti embun tapi terus menguncup, sampai Ibu mengecup, barulah bibirmu merekah melambaikan tangan, kau siap ke sekolah. Dingin di luar, tak ada yang mampu menggigilkan Ibu.

Air mataku jatuh mengingat Ibu di kampung. Saya semakin teringat dosa-dosa kecil yang pernah kulakukan, seperti pemerintah yang mendengar rakyatnya menjerit kelaparan. Di halaman ini, saya tidak sanggup lagi menahannya. Tak apa, katanya.

Di halaman selanjutnya, ada berita yang sudah cukup membuat saya semakin menderita. Seorang mahasiswa  mati dibegal dan ditikam di jalan Kerinduan. Ia berlumuran darah, dan meninggal di tempat. Di lokasi kejadian ditemukan sebuah buku puisi milik Robert Frost, beserta potongan koran. Kata koran, salah satu bagiannya memuat sebuah puisi dengan nama yang sama dengan laki-laki yang tengah berlumuran darah itu.(*)

(Makassar 2016) 
(*)
Cat : cerpen ini merupakan respon saya setelah membaca buku kumpulan puisi, Cyntha Hariadi "Ibu Mendulang, Anak Berlari" & puisi berjudul "kematian" adalah salah satu puisi dari buku tersebut.
*Terbit di rubrik budaya Fajar edisi Minggu 27 November 2016

Share: