![]() |
Dalam kepalanya ia tahu,
satu puisi atau bahkan tak terhitung puisi bisa lahir dari kesedihan, kutukan,
atau kepuasan, dan pusatnya adalah kesunyian. Bayangkan betapa berharganya
kesunyian itu, minimal di kalangan para penulis puisi. Saya tidak akan
menjelek-jelekkan manusia-manusia yang membenci ini, mencela mereka yang anti
dengan sebutan jomlo atau meludahi wajah orang-orang seperti plato atau
aristoreles yang sok bijak itu—sungguh saya tidak pantas melakukan semua itu.
Apalagi bagi perempuan seperti saya yang lebih suka mendengar, menyimak dan
menatap laki-laki hidup dalam dunia rekaannya sendiri, mengabaikan dunia nyata
yang tak pernah lengkap dengan pengalaman cinta. Atau tulisan-tulisan ringan
dari laki-laki yang menulis dan membuat diri saya terasa hidup dan dikenal
banyak orang, utamanya kepada para pembaca koran sastra yang setia, terima kasih
banyak. Kisah ini terjalin tanpa saling mendahului, atau melanggar rambu-rambu
yang ditentukan oleh pihak berwajib. Jadi tenang saja, tak ada tilang menilang
atau langgar melanggar, saya akan berusaha menjadi tokoh yang baik. Dan tentu
saja, dengan semangat cewek yang baru saja menginjakkan kaki di dunia kampus,
dan belajar sastra—saya akan menceritakan yang penting-penting saja.
**
Debu beterbangan di
jalan-jalan kota, berafiliasi menjadi seperti kabut pekat di kota Riaw. Kota
Riaw adalah kota tempat salah satu temanku. Kota yang terkenal dengan kabutnya
yang pekat, hingga dapat memudarkan penglihatan orang-orang baik dan jahat
ketika berkendara. Asap-asap kendaraan tak lagi nampak, hanya lampu-lampu dan
umpatan-umpatan bahasa melayu yang sering terdengar di jalan-jalan kota. Kata
temanku, kota itu punya andil besar terhadap bahasa Indonesia. Ketika ia
mengatakan itu, saya tertarik ingin belajar ke kota itu. Tapi ketika tayangan
berita di TV mengatakan siaga asap, dan kebakaran akibat api yang berkobar
seperti semangat pejuang empat lima, ketertarikanku akhirnya longgar, pada
akhirnya pudar dan memilih kota Ujungpantang sebagai pilihan yang kesekian.
Alasannya cukup sederhana, kota itu menjadi kota terbesar di pulau ini.
Begitupun dengan jaraknya yang dekat dengan rumahku, di Rantepao.
Tak seperti Riaw,
Ujungpantang cukup terkenal di kalangan mahasiswa di pulau seberang. Kota ini
terkenal dengan karakter pemuda, begitupun petuanya yang serba pantang. Pantang
mundur sebelum maju, pantang kenyang sebelum bersendawa, pantang jujur sebelum
berbohong, pantang tidur sebelum menguap bahkan pantang menyakiti sebelum
merasakan. Di kota ini, saya mengenalnya. Laki-laki berambut ikal penyuka susu,
kopi dan pembenci rokok. Yang mengajarkan saya banyak hal, ketika awal-awalku
pindah di kota ini.
Dia senior yang sempat
menampar kedua pipiku dengan sandal gunung sewaktu ospek hanya persoalan
sepele. Waktu itu, saya tidak sengaja menumpahkan minuman di almamaternya
ketika istirahat, dan saya menerima tamparan itu. Bagi sebagian laki-laki di
sini, menyakiti perempuan seperti sama saja membunuh siri’ na pacce di dalam tubuhnya. Saya tidak mengerti apa
maksudnya, dan saya juga merasa tidak tersakiti—olehnya ia bukan pembunuh atau
apapun itu yang orang-orang istilahkan di sini. Yang penting akibat tamparan
sandal gunung itu, hubungan kami dapat terbangun. Kami berpacaran begitu
singkat.
Pagi ini, Poki—skuter
saya kembali mogok. Suntili’, saya
akhirnya dapat berucap kata itu. Di kota ini, istilah itu punya makna dua arah.
Jika dikatakan kepada orang yang dekat sekaligus akrap, maknanya akan terasa kita
semakin dekat dan sudah masuk fase sayang menyayangi. Apabila sebaliknya, maka
tak usah heran jika kata itu berbuah bogem mentah yang lumayan bisa meretakkan
kemaluanmu.
Di depan, gerai koran
yang menyediakan berbagai jenis bacaan dan juga kopi le’leng baru saja buka. Karena skuterku mogok, dan bengkel di
depannya belum buka, saya singgah saja di gerai itu.
“Selamat pagi, pak.
Sudah buka?”, helm bogo tanpa kaca kulepas dari kepalaku. “Iya, baru buka.
Silahkan masuk”. Buru-buru saya memarkir motor kesayanganku.
Telepon di saku celana
jins belelku berdering, sebuah pesan singkat dari si Akademisi, sekaligus
penjilat ulung “dosen tidak masuk pagi ini, beliau berhalangan hadir karena
sakit”, saya bahagia. Pikirku dari dalam hati yang paling dalam saya mengucap
syukur. Dosen bangsat itu akhirnya sakit. Ketiban doaku sepertinya. Iya, doa
anak yang teraniya cepat dikabulkan, kata ustad di masjid kampus. Minggu lalu
ia sempat mengeluarkanku dari kelas hanya persoalan celanaku robek di bagian
lututnya. Katanya, tidak etis seorang perempuan bergaya seperti gayaku. Apa
yang salah? Begitu dangkal bukan cara berfikirnya. Setelah membanting pintu
dengan lembut, saya spontan berdoa agar dosen itu sakit. Sakit jiwa kalau
perlu.
“Kopi ta’ satu, tidak pakai gula”, kuambil
satu koran yang selama ini sering kubaca. Di bagian depan koran menyiarkan tiga
reportoar di panggung politik. Ketiga hal itu menyangkut persoalan kota dan
keindahannya. Di panggung
yang berbeda dalam satu bangunan adalah penyajian yang saya maksud mirip dengan
novel Milan Kundera. Tetapi cara ini menjelaskan satu persoalan yang sama,
ruang kota senantiasa menuntut masyarakat menjadi manusia dinamis yang
kehilangan waktu untuk berkontemplasi. Seakan berkatarsis hanya milik kaum
agamawan atau bangsawan yang senang merenungkan kehidupan akhirat. Sementara
permasalahan banjir, sampah dan juga macet secara nyata kita hadapi tak pernah
cukup serius dikalahkan. Kusesap kopi hitamku. Membosankan sekali konten berita
pagi ini. Di halaman selanjutnya, saya menemukan hal yang cukup membahagiakan.
Di halaman rubrik sastra, puisi yang ditulis oleh laki-laki itu terbit.
Judulnya kematian. Pada hari aku mati,
tolong bantu aku mengingat ini; ibu berdiri di atas dengkul, kau mendongak
tangan Ibu mengangkat pelembab bibir, bibirmu mengerucut monyong mengeriput.
Ibu memulas, kini bibirmu seperti embun tapi terus menguncup, sampai Ibu
mengecup, barulah bibirmu merekah melambaikan tangan, kau siap ke sekolah.
Dingin di luar, tak ada yang mampu menggigilkan Ibu.
Air mataku jatuh mengingat Ibu di kampung. Saya semakin
teringat dosa-dosa kecil yang pernah kulakukan, seperti pemerintah yang
mendengar rakyatnya menjerit kelaparan. Di halaman ini, saya tidak sanggup lagi
menahannya. Tak apa, katanya.
Di halaman selanjutnya, ada berita yang sudah cukup membuat
saya semakin menderita. Seorang mahasiswa mati dibegal dan ditikam di jalan Kerinduan.
Ia berlumuran darah, dan meninggal di tempat. Di lokasi kejadian ditemukan
sebuah buku puisi milik Robert Frost, beserta potongan koran. Kata koran, salah
satu bagiannya memuat sebuah puisi dengan nama yang sama dengan laki-laki yang
tengah berlumuran darah itu.(*)
(Makassar 2016)
(*)
Cat : cerpen ini merupakan respon saya setelah membaca buku kumpulan puisi, Cyntha Hariadi "Ibu Mendulang, Anak Berlari" & puisi berjudul "kematian" adalah salah satu puisi dari buku tersebut.
*Terbit di rubrik budaya Fajar edisi Minggu 27 November 2016